Share

5. Pengakuan Bunga

TRAGEDI CINTA BUNGA

Penulis : David Khanz

Bagian : 5

Episode : Pengakuan Bunga

Juragan Mahmud pulang kembali ke rumah tanpa membawa hasil apa pun. Pertemuannya dengan Abah Targa tadi hanya diisi dengan obrolan-obrolan ringan seputar kejadian sore hari—antara Bunga dan Syaiful—serta sedikit pengingat masa lalu mereka berdua. Niat laki-laki tua itu semula adalah hendak menghabisi pemuda yang telah menodai anak gadisnya, tapi untuk sementara tidak diperkenan oleh Tetua Adat karena yang bersangkutan masih dalam kondisi pengobatan.

“Aku sendiri yang akan memberitahumu nanti, kalau anak muda itu sudah pulih,” ujar Abah Targa di jelang pengujung perbincangan. “Untuk sementara waktu, tenangkanlah terlebih dahulu dirimu, Mahmud. Mudah-mudahan saja dia tidak mati dan kau tidak mendapatkan masalah besar karenanya,” imbuhnya kembali seraya menepuk-nepuk bahu Juragan Mahmud.

Dengan langkah lunglai, ayah Bunga itu keluar dari rumah Abah Targa. Lantas menyusuri jalan setapak, diikuti oleh ketiga anak buahnya; Amrul, Dillah, dan Syahrul serta Dirga yang terlambat tiba di tempat.

“Kalian awasi selalu keberadaan si Syaiful,” titah Juragan Mahmud pada mereka bertiga. “Saya tidak ingin anak muda jahanam itu kabur dari kampung ini.”

Amrul, Dillah, dan Syahrul saling bertatapan, lalu menjawab serempak, “Baik, Juragan!”

Setiba di rumah, laki-laki tua berkumis putih itu segera memeriksa keberadaan Bunga. Begitu pintu kamar dikuak perlahan, tampak gadis cantik tersebut sedang berbaring miring di atas tempat tidur, masih bersama setelan lengkap mukena menutupi sekujur badan. Tadinya Juragan Mahmud bermaksud untuk mengajak dia bicara, tapi urung dilakukan karena merasa kasihan. Kemungkinan besar akan menunggu hingga esok hari, begitu pikirnya.

Namun saat hendak kembali menutup pintu kamar, Bunga terbangun bangkit dari goleknya, seketika itu pula langsung memanggil.

“Ayah ….,” sebut gadis cantik berkulit putih tersebut.

Spontan Juragan Mahmud mendorong kembali daun pintu dan menatap sayu putri semata wayangnya itu.

“Maaf, Ayah tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Ayah pikir … kamu sudah tidur, Bunga,” ujar orang tua itu dengan suara lirih.

Bunga turun dari tempat tidur dan segera menghambur mendekati ayahnya. Dia menarik lebar-lebar daun pintu, lantas mempersilakan Juragan Mahmud untuk masuk ke dalam kamar.

“Sejak Magrib tadi, Bunga menunggu Ayah,” kata gadis itu seraya menarik lengan ayahnya. “Bunga tahu, pasti Ayah akan bicara pada Bunga, bukan? O, iya … Ayah sudah shalat Isya?”

Sebuah pertanyaan bagus, sekaligus pengingat diri dari sang anak akan kewajibannya terhadap sang Khalik. Di dalam hati, Juragan Mahmud mengeluh lirih, jangankan salat Isya, waktu Magrib tadi pun telah dia lewati dengan sengaja. Malah sibuk berbaku hantam, menghajar anak buah Abah Targa yang berusaha menghalang-halangi niatnya  sewaktu hendak menemui sosok Tetua Kampung tersebut.

“Nanti saja Ayah shalat. Sekarang … Ayah ingin berbicara padamu, Bunga,” kata orang orang tua itu menjawab pertanyaan putrinya.

Juragan Mahmud juga sudah mafhum, sikap anaknya tersebut baru saja adalah sebagai bentuk pendekatan diri untuk meluluhkan hati ayahnya dari rasa amarah sejak dari hutan bakau tadi. Berharap kelak, hukuman pun akan diperingan atau sama sekali diurungkan. Itu salah satu kebiasaan Bunga di kala merasa bersalah sedari usia belia dulu.

Mereka duduk di tepian ranjang. Sesekali Bunga melirik ke samping melalui ekor mata,  memperhatikan sebilah golok yang masih tersoren seram di pinggang ayahnya, serta luka lebam pada ruas kepal jemari tua itu. Dari kabar Bi Enok pula, gadis tersebut menduga-duga kemana gerangan sang Ayah pergi semagrib tadi. Lantas berpikir, sesuatu pasti akan terjadi di sana. Terbukti kini dengan melihat kondisi tangan sosok di sisinya itu.

“Ayah … Bunga minta maaf atas kejadian tadi sore,” ucap Bunga dengan posisi kepala tertunduk dalam-dalam. “Awalnya, Bunga dan Kang Syaiful hanya bermain-main bersama di tepian pantai. Sampai kemudian, turun hujan lebat dan kami terpaksa berteduh di dalam saung itu.”

Juragan Mahmud berusaha untuk tetap tenang. Jika mengingat akan sosok lelaki muda yang bersama putrinya tadi sore, ingin sekali menghardik dengan sejumlah kalimat-kalimat kotor memarahi detik itu juga. Namun lagi-lagi harus memperkaya kesabaran diri, tidak mungkin hal itu dilakukan di saat—kemungkinan—perasaan Bunga tengah dilanda lara. Terlebih lagi, di hutan bakau itu pula, dia telah tega berlaku kasar menyakiti sang buah hati tercinta. Akibatnya, luka leban di bibir Bunga masih tertampak samar membias bersama putih kulit wajahnya.

Untuk meminta maaf atas tindak menyakitkan tadi, tentu saja Juragan Mahmud enggan melakukannya. Hal itu hanya akan memberatkan posisi dia sebagai penghakim tunggal atas kesalahan yang telah diperbuat oleh anak gadisnya tersebut.

“Apa laki-laki itu telah melakukan sesuatu padamu, Bunga?” tanya orang tua itu berhati-hati dalam memilih kata untuk mengajukan pertanyaan berat. Deret kalimat itu pula yang sedari tadi dia susun di sepanjang perjalanan, agar tidak sampai menyakiti Bunga untuk kali kedua.

Gadis itu tidak langsung menjawab. Kepalanya kian menunduk dan sebentar kemudian isak tangis pun mengiringi kepiluan di hati.

“Maafkan Bunga Ayah ….” Kalimat tersebut yang malah terjawab dari getar bibir putri semata wayang sosok pesohor Kampung Sarawu itu. “Bunga nyuhunkeun dihampunten ….”

Perasaan Juragan Mahmud kian tidak menentu. Bisik hati semakin menguatkan, jika perkataan Syaiful sewaktu di hutan bakau itu, kini sebegitu mendekati kenyataan. Hingga kepal tangan tuanya pun seketika turut membatu menahan gelegak bara amarah.

“Ayah bertanya, Bunga! Anak muda itu telah melakukan sesuatu padamu, ‘kan?” Juragan Mahmud mengulang pertanyaannya tadi dengan nada suara meninggi.

Sontak tangis gadis itu pun bertambah lengking, diikuti penjatuhan diri pada pangkuan ayahnya sembari memohon lirih pengampunan.

“Jawab pertanyaan Ayah!” Benteng kesabaran orang tua tersebut mulai meretak. “Kalian berdua pasti sudah—”

“Kang Syaiful hanya menyentuh Bunga, Ayaahhh,” jawab Bunga menukas ucapan ayahnya. 

Juragan Mahmud terhenyak hebat. Kemudian lekas berdiri, hendak menjauhkan kepala putrinya dari pangkuan. Hampir saja gadis itu terjerembap menghantam lantai kayu. Persis sebagaimana yang terjadi sewaktu berada di hutan bakau tadi.

“Apa?! Kamu bilang … ‘hanya’, Bunga?” Sorot mata lelaki itu mendelik seram. “Ayah benar-benar tidak menyangka, Bunga. Sama sekali Ayah tidak menduga-duga sebelumya! Kamu dan dia … ‘hanya’ … aaahhh! Astaghfirullahal’adziim.”

“Ayah … Ayah … maafkan Bunga, Ayah. Ini sama sekali bukan seperti yang Ayah duga.” Dia mencoba menjelaskan, sambil merangkak mengikuti gerak langkah ayahnya yang tersurut menjauh. “Bunga dan Kang Syaiful sama sekali tidak—”

“Tidak, Bunga! Cukup! Ayah tidak ingin mendengar apa pun dari kamu!” bentak Juragan Mahmud disertai gelengan kepala. Bagi dia, pengakuan dari putrinya tadi sudah dirasa cukup. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan maupun ditambahkan. Karena semua telah sesuai dengan ucapan anak muda bernama Syaiful tersebut.

Kemudian lelaki tua itu pun berbalik badan, bergegas keluar dari dalam kamar anaknya dengan derap langkah mengentak lantai. Seisi rumah pun laksana bergetar hebat, berdebum di tengah kesunyian alam di pengujung petang. 

“Ayaahhh … tunggu! Bunga belum selesai bicara, Ayaahhh! Ayaaahhh!” teriak Bunga diiringi raungan membahana memenuhi kamar tidurnya.

Mendengar lengkingan gadis tersebut, sekonyong-konyong Bi Enok muncul dari ruangan lain. Sosok perempuan tua itu terkejut dan langsung menghampiri Bunga.

“A-ada apa, Neng? A-ada apa ini?” tanya Bi Enok tergagap-gagap. Dia membantu Bunga bangkit dari lantai dan menuntunnya hingga duduk di tepian tempat tidur.

“Tolong, Bi. Sampaikan … pada siapa pun adanya. A-ayah … A-ayah pergi lagi ke luar,” ujar gadis itu didera risau dan duka. “A-aku takut, s-sesuatu yang buruk akan terjadi pada Kang Syaiful. T-tolong, Bi! Cepatlah!”

Sesaat Bi Enok berpikir, pada siapa dia hendak menyampaikan titah Bunga.

“Cepatlah, Bi! Cari Dirga, Amrul atau siapa pun yang ada di rumah ini! Segera temui Abah Targa!” Gadis itu semakin panik. Ruang pikirnya seakan-akan mendadak sempit. Hanya satu hal yang dia ingat-ingat, yakni mengkhawatirkan akan keselamatan Syaiful lelaki terkasih.

“A-ah … b-baiklah, Neng, baik. S-saya mau mencari Dirga dulu kalau begitu,” timpal Bi Enok kemudian.

Dengan kondisi badan yang membungkuk renta, perempuan tua berusia 65 tahun itu pun tersaruk-saruk meninggalkan kamar Bunga. Maksud hati hendak mencari Dirga, malah sosok Dillah yang muncul secara tiba-tiba. Kepadanyalah pula, Bi Enok menyampaikan perintah dari Bunga baru saja dan langsung diangguki lelaki tersebut dengan sigap.

“Baik, Bi. Saya akan segera mencari Juragan sekarang juga,” ujar Dillah dan langsung menghambur keluar rumah hendak menyusul kepergian Juragan Mahmud.

‘Gusti Nu Agung … entah ada masalah apalagi sekarang? Mengapa kejadian demi kejadian datang silih berganti, semenjak Juragan Sumiarti meninggal dulu?’ membatin lirih orang tua tersebut sambil mengusap dada. ‘Seakan-akan … ini adalah sebuah pertanda bahwa sesuatu akan terjadi lagi di dalam keluarga ini. Aku sendiri tidak tahu apa itu.’

Setelah itu, Bi Enok kembali menuju kamar Bunga untuk menenangkan sosok gadis tersebut.

Lantas, benarkah Juragan Mahmud pergi untuk menemui Abah Targa? Ternyata tidak. Dengan perasaan sedih dan hati hancur tidak terkira, lelaki tua berusia 50 tahun itu malah berlari sendirian di kepekatan malam menuju suatu tempat. Beberapa kali jejak kakinya terpeleset, akibat kondisi tanah basah usai diguyur hujan sesore tadi. Jatuh-bangkit disertai rasa nyeri menghujam persendian tulang, sama sekali tidak dipedulikan. Pikirnya hanya satu, yakni ingin segera tiba di tempat tujuan, lantas melabuhkan diri bersama tangis kepiluan.

Ke manakah Juragan Mahmud melajukan ayunan kaki? Sebuah area luas di alam terbuka dan gelap gulita, dipagari pepohonan liar tinggi menjulang di seputar mata memandang. Bagi sebagian orang biasa, tentu butuh keberanian besar untuk mau berada di sana. Namun lelaki tua tersebut malah seperti tengah merindukan setengah jiwa.

“Sumiarsih … Sumiarsih ….,” ucap Juragan Mahmud menyebut nama mendiang istrinya yang sudah lama wafat. Setelah yakin telah berada di tempat yang tepat, dia pun langsung menjatuhkan diri ke tanah. Pada sebuah gundukkan memanjang hingga seukuran tinggi manusia. Di kedua ujung batas menggunung, terpancang dua kayu penanda berukir di sepanjang sisi-sisinya.

“Sumi … maafkan aku, Sumi,” imbuh kembali lelaki berkumis putih tersebut dalam posisi menelungkup, memeluk sejangkauan tangan pada gundukkan tanah basah tersebut. “Anak kita telah melakukan kesalahan besar dan berat, Sumi. Aku telah gagal mendidik dia, mengantarkan dia pada kehidupan indah seperti yang pernah kau impikan dulu, Sumi.”

Ucapan Juragan Mahmud sejenak terhenti, karena harus berbagi dengan entak tangis yang ingin diungkapkan dalam irama lirih.

“Aku merasa berdosa padamu, Sumi. Aku menyesal.” Kembali lelaki tua itu mencurahkan perasaan, berbantalkan tanah basah menghampar di pipi. “Kalau memang ini terjadi karena karma darimu, mengapa bukan atas aku saja yang seharusnya menerima semua ini. Jangan pada Bunga, Sumi. Jangan pada anak kitaaa ….”

Juragan Mahmud meraung-raung sendiri di tengah kegelapan malam. Sunyi, sepi, dan dingin mencucuk hingga tulang. Seperti halnya yang sudah sekian lama terjadi pada sosok yang berada di dalam bawah gundukkan tanah itu. Sumiarsih, mendiang istrinya sendiri.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status