Share

1. Ayah Meninggal

Walaupun raga telah terpisahkan oleh kematian, namun cinta sejati tetap akan tersimpan secara abadi di relung hati. (Bacharuddin Jusuf Habibie)

Chapter 1

*****

Satu bulan sebelumnya.

Delina Cantika terlahir sebagai anak tunggal di keluarga kecilnya. Ibunya bernama  Susi Manissa, wanita berusia 45 tahun yang juga seorang anak tunggal. Begitu juga dengan sang ayah, Hadi Purnomo yang juga anak tunggal.

Hadi bekerja di sebuah perusahaan otomotif di bawah naungan WE Corporation, perusahaan terbesar nomor tiga di Kota Mekarsari.  Mereka sangat bersyukur karena selalu merasa hidup dengan cukup. Keluarga itu tak memiliki harta berlebih tetapi mereka juga tak pernah merasa  kekurangan.

Hari itu saat di acara wisuda, ayahnya mengeluh sakit sehingga hanya punya waktu sebentar untuk hadir di acara wisuda Delina. Namun, kedua orang tuanya memastikan kalau sebaiknya dia ikut saja pesta di pantai bersama para sahabatnya.

Gadis itu mengantar kedua orang tuanya menuju tempat parkir. Rasanya ia ingin sekali ikut pulang, tetapi sang ayah melarang.

"Ya sudah kalau begitu, aku pergi ke pantai, ya."

Hadi menganggukkan kepala begitu juga dengan Susi. Akan tetapi, langkah gadis itu terhenti. Ia menoleh ke belakang dan menatap wajah ayahnya kembali. Entah kenapa ia merasa ingin memeluk sang ayah. Gadis itu berlari kecil lalu memeluk ayahnya.

"Ada apa ini? Tumben banget kamu peluk Papa?" tanya Susi.

"Aku hanya ingin peluk Papa, dan aku mau bilang kalau aku sayang Papa," ucap Delina.

"Ha-ha-ha biasanya kalau seperti ini pasti ada maunya."

"Tidak, Pa, aku beneran sayang sama Papa."

"Kalau sama Mama?" tanya wanita yang mengenakan kebaya brokat warna biru menunjuk dirinya sendiri.

"Sayang, dong!" Delina memeluk ibunya kemudian.

"Aku masuk ke dalam lagi ya, acaranya belum selesai."

Namun, siapa sangka kalau pelukan hari itu adalah pelukan terakhirnya pada sang ayah

 

***

Percikan air laut asin menerpa ke wajah gadis berlesung pipi yang bernama Delina Cantika. Ia langsung menjerit kala menerimanya. Gadis 22 tahun ini baru saja menjalani wisuda dari universitas negeri dengan predikat cum laude. 

 

"Lin, Ayo kita berenang!" ajak Jane yang sudah berada di atas pelampung bebeknya.

"Tak mau, ah! Aku tak bawa baju ganti!"

Tiga gadis itu merayakan kelulusan mereka di pantai pasir putih bersama kawan lainnya. Pesta barbeque pun diselenggarakan. Beberapa di antaranya bermain voli pantai dan juga bermain gitar.

"Lin, bagaimana soal niat kita meraih S2 ke Jerman, kamu jadi kan mencari beasiswa ke sana?" tanya Meri.

"Jadi, dong! Kita kan tiga sahabat yang akan selalu bersama." Gadis itu merangkul bahu Meri.

"Jane, makan dulu, yuk! Nanti kamu terbawa ombak, loh!" seru Meri memanggil gadis tambun yang masih asik berada di atas pelampung.

"Ombaknya tak akan sanggup bawa aku pergi, malu dia sama berat badanku ha-ha-ha!" sahut Jane.

"Beneran nih ya, daging steaknya aku makan," ucap Delina menggoda Jane.

"Yah, jangan dong! Tunggu aku, aku akan ke sana."

Jane berusaha untuk turun dari pelampung besar itu, akan tetapi ia malah hilang keseimbangan dan jatuh terbalik masuk ke air laut. Tawa Delina dan Meri langsung pecah melihat Jane yang berusaha berenang ke tepi setelah jatuh tadi.

"Kau kenapa, sepertinya cemas sekali?" tanya Meri.

"Memangnya sangat terlihat, ya? Perasaanku tak enak, sepertinya aku akan merasakan kesedihan, tapi aku tak tau sedih kenapa," jawabnya.

"Hmmm... mungkin hanya perasaan kamu saja."

"Iya sih, perasaan aku saja. Iyalah perasaan aku, masa perasaan kamu, huh!"

"Kita foto foto, yuk! Kita abadikan momen kebersamaan kita ini!" ajak Meri.

"Yuk!"

"Woi! Kalian tunggu aku, dong! Aku 'kan juga mau ikutan," seru Jane.

"Duh, aku takut tak muat Jane, soalnya kamu terlalu besar, ha-ha-ha," sahut Meri.

"Mer, itu body shaming lho, jangan seperti itu, kasian tau si Jane kamu goda terus!" Delina mencubit pipi sahabatnya itu.

"Aduh! Sakit tau! Iya deh maafkan aku." Meri menepis tangan gadis itu.

Suara ponsel di dalam tas Delina berbunyi.

"Lin, hape kamu bunyi, nih!" seru Sandi yang duduk dekat dengan para tas gadis itu.

"Oke, sebentar aku ke sana!" 

Delina segera melangkah menuju tas miliknya. Gadis berkulit kuning langsat itu menepis rambut hitam panjangnya yang terkena embusan angin sampai menutupi wajahnya. Ia berlari sampai tiba di atas tikar plastik itu.

"Halo, ada apa, Ma?"

Suara wanita paruh baya itu terdengar dari seberang sana sambil menangis. Tak lama kemudian, gadis itu jatuh tak sadarkan diri.

"Delina bangun! Bangun!" Sandi yang berada di dekat gadis itu berusaha menepuk pipi Delina agar siuman.

Meri dan Jane langsung bergegas menghampiri sahabatnya itu.

"Dia kenapa?" tanya Jane.

"Setelah dia menerima telepon, terus dia pingsan," jawab Sandi.

"Ambil minyak kayu putih, Mer!"

Meri membawakan minyak kayu putih untuk menyadarkan Delina. Tak lama kemudian ia terbangun dan menangis.

"Kamu kenapa, Lina?" tanya Jane.

"Papa aku." Delina menjawab dengan terisak.

"Papa kamu kenapa?" tanya Meri.

"Papa aku meninggal."

Awan mendung perlahan datang menyelimuti sekitar langit pantai itu. Seolah cuaca sekitar ikut sedih mendengar berita duka milik Delina.

***

Delina segera memesan ojek online untuk pergi ke rumah sakit agar tiba lebih cepat. Sepanjang perjalanan tak henti-henti ia menguraikan air mata karena tak ingin kehilangan ayahnya. Sang pengemudi ojek online itu sampai ikut merasa sedih ketika gadis di belakangnya tak henti-hentinya menangis.

"Yang sabar ya, Non." Pria itu berusaha menghibur Delina, kan tetapi gadis itu masih saja menangis menumpahkan kesedihannya.

Sesampainya di rumah sakit, Delina langsung di sambut oleh ibunya yang sudah menangis sedari tadi. Sang ayah sudah lama mengalami kebocoran jantung dan kerap sekali bolak - balik ke rumah sakit itu untuk berobat.

“Maafin aku Pa, maafin aku." Delina memeluk jasad pria yang sudah tertutup seluruh tubuhnya dengan kain putih itu seraya menangis tersedu-sedu.

“Sudah Lin, ikhlaskan papa kamu," pinta Susi berusaha menenangkan putrinya.

"Aku tuh jahat banget ya, Ma, sampai papa tak mau menungguku, kenapa sih Mama tak pernah cerita tentang penyakit papa?"

"Maafin Mama, Nak, Mama hanya menjalankan keinginan papa kamu," ucapnya seraya terisak.

"Tapi kenapa, kenapa harus bohong kalau papa itu sehat?" seru gadis itu penuh amarah dan kesedihan  yang menyatu.

"Karena papa tak mau kalau kamu jadi ikut memikirkan tentang penyakitnya, papa mau kamu kuliah dengan rajin dan berprestasi."

Delina benar-benar merasa hancur. Pria panutan di hidupnya itu harus pergi menghadap sang ilahi meninggalkan dia dan ibunya.

"Lina."

Gadis itu menoleh kala melihat sosok hantu yang menyerupai sang ayah hadir di ruangan itu.

*****

To be continue...

Rate five star dan ditunggu komentar kritik sarannya ya, terima kasih.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
lah, horor juga ini si Lina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status