Setelah dipikir-pikir lagi, Lidia sebenarnya resah. Selain karena merasa ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya saat ini, ia juga bingung bagaimana cara agar ketakutannya bisa segera menghilang. Karena perasaannya ini sangat terasa tidak biasa serta tidak masuk akal sama sekali. Dan penjahat itu bisa mendatanginya lagi kapan saja.
Lidia tiba di kantornya tanpa memakan banyak waktu. Sepertinya ia akan lebih sering naik bus nanti. Selain karena cepat, di dalam bus ini juga ramai. Halte pun hanya berjarak beberapa langkah saja dari gedung apartemennya dan juga kantor. Ia merasa lebih nyaman seperti ini.
“Selamat pagi, Kira!”
Lidia berjalan masuk ke dalam ruangannya sambil menyapa Kira yang memang selalu telah berada di sana sebelum dirinya. Karena terus-menerus berusaha menyembunyikan wajah, Lidia selalu memandang ke arah lain, agar Kira tidak menyadari kondisi terkini penampakan wajahnya saat ini.
“Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak Bu C
Tapi, ia berusaha mengabaikannya untuk sekarang ini. Ia harus pergi ke toilet secepatnya terlebih dahulu. Dengan berjalan cepat dan mata yang was-was serta penuh waspada seperti itu, akhirnya Lidia sampai di toilet. Tempat yang sangat ingin ia tuju sedari tadi.Tidak memakan waktu yang lama, Lidia telah selesai dengan urusannya di toilet. Setelah mencuci tangannya di wastafel, perasaannya saat ini perlahan sudah mulai tenang. Mungkin yang ia rasakan tadi hanya perasaan negatifnya saja.Setelah mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer yang terpasang di dinding dekat kaca wastafel itu, Lidia berjalan keluar untuk segera pergi mencari makan. Perutnya sudah benar-benar keroncongan saat ini. Hari sudah semakin siang, dan perut Lidia masih belum terisi apapun sedari pagi.Saat baru saja keluar dari pintu toilet, tiba-tiba saja Lidia melihat ada beberapa orang yang berjalan menuju ke arahnya melalui ujung matanya. Meskipun tidak melihatnya dengan jelas ka
Lidia, sedari kecil yang hidupnya selalu dikelilingi banyak harta dan juga orang-orang yang ia sayangi, tiba-tiba saja kehilangan sebagian hidupnya dan dipaksa untuk bertahan sendirian. Saat baru saja masuk ke jenjang SMA, ia kehilangan kedua orangtuanya karena kecelakaan yang mereka alami saat pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis. Lidia remaja yang mau tidak mau harus menjalani kejamnya kehidupan itu berusaha dengan begitu keras, ia juga harus kehilangan masa remaja dan masa mudanya untuk mewujudkan perintah dan wasiat-wasiat dari orangtuanya sebelum mereka meninggal.Orangtua Lidia sadar, bahwa pekerjaan mereka yang sering kali keluar negeri dan juga memiliki banyak pesaing bisnis, bisa saja beresiko tinggi bagi nyawa mereka di saat yang sama sekali tidak terduga. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengurus semua surat-surat wasiat dan juga semua yang harus ditanggung oleh Lidia jika saja orangtua Lidia tiba-tiba telah tiada.Di saat hari di mana Lidia kehilan
Lidia pun perlahan berdiri sendiri lalu menatap Gio tajam. Ia langsung pergi meninggalkan lapangan menuju ke UKS untuk mengobati semua lukanya. Namun sialnya, saat berjalan melewati lorong hidungnya mulai menguarkan darah. Ia benar-benar kelelahan saat ini. Ia terus menutupi lubang hidungnya untuk menghalangi jalan agar darahnya tidak terus menerus keluar, lalu bernapas melalui mulutnya. Lidia melihat sekitar, ia berharap setidaknya ada satu orang yang lewat dan membawa tissue atau semacamnya untuk menyumpal hidungnya. Namun sayangnya, nihil.Ia pun memutuskan untuk bergegas menuju UKS saja. Lidia yakin sekali, bahwa di UKS pasti ada tissue. Namun, saat ia berbelok di koridor panjang penghubung antara kantin dan perpustakaan sekolah, ia menemukan ada seorang laki-laki yang sepertinya baru saja sampai di sekolah berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengannya. Ia berniat untuk meminta tissue kepadanya saja untuk sementara, karena UKS masih terbilang cukup j
Sehari setelah kelulusannya, Lidia langsung mengemasi semua barang-barangnya dan bersiap untuk kembali ke rumah. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Karena selama empat tahun ini, ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk pulang. Terbesit dalam hati kecilnya, ia sangat merindukan tanah kelahirannya.Setelah bisa melewati semuanya sampai saat ini, Lidia sangat bersyukur, bahwa jiwa dan raganya tidak mendadak sakit tiba-tiba. Sehingga ia dapat menyelesaikan sebagian besar perintah dan wasiat kedua orangtuanya denga sangat lancar.Jika berbalik melihat dirinya sendiri di waktu sebelumnya, bahkan dirinya yang berhasil kini akan tetap merasa ragu. Dia tersnyum dan bertanya pada dirinya sendiri, “Wah.. bagaimana semua itu bisa terjadi?”Setelah semua persiapan kepulangannya selesai, Lidia bergegas menuju bandara. Karena ia tidak menyukai hal-hal yang terlalu sia-sia, jadi Lidia menaiki pesawat kelas ekonomi seperti biasa meskipun sebenarnya ia san
Hingga tak lama sekretaris tersebut tumbang, lawannya pun segera melumpuhkannya dengan menyuntikkan sesuatu pada tubuh lawannya. Lidia yang sangat kaget itu pun hanya bisa membelalakkan mata dan tanpa sadar berdiri sambil menutup mulutnya.Lidia terus menatap kejadian di depannya dengan raut tak percaya, tubuhnya kaku. Ia tak pernah melihat pembunuhan secara langsung tepat di depan matanya. Setelah perbuatannya selesai, pembunuh tersebut menekan earpeace yang terpasang di telinganya.“Tugas selesai. Ruang rapat nomor 199,” ucap pria tersebut kepada orang di sebrang sana. Setelah itu ia menekan kembali earpiece yang dipakainya untuk memutuskan sambungan.Setelah beberapa saat, pembunuh tersebut pun kaget, menyadari bahwa di ruangan tesebut ternyata masih ada orang selain dirinya. Dengan refleks, ia menarik tangan Lidia untuk segera keluar dari ruangan tersebut menuju sebuah kamar yang sepertinya telah disiapkan oleh pembunuh tersebut
“Jika rahasia, mengapa kau menceitakan semua ini padaku?” tanya Lidia dengan nada bingung setelah menelaah dan memahami semua penjelasan dari Ken barusan.Ken menatap mata Lidia dengan raut yang sangat sulit untuk diartikan. Lidia yang menyadari hal tersebut pun hanya membalas tatapan pria di sampingnya ini, masih dengan tatapan bingungnya.“Karena aku mempercayaimu,” ungkap Ken dengan nada lembut, namun bagi Lidia kalimat Ken barusan malah terdengar sangat menghanyutkan.“Aku kan sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa sepertinya aku bisa mempercayaimu. Aku juga yakin bisa mempercayaimu sepenuhnya,” jelas Ken.“A-ah.. begitu rupanya,”jawab Lidia sedikit ragu.Setelah percakapan terakhir, entah mengapa suasana menjadi sedikit canggung. Hanya hening yang menyerang selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya, Ken mulai memecah keheningan tersebut.“Kau sendiri, kenapa bi
Setelah keluar dari kamar tersebut, Lidia langsung berusaha mencari keberadaan sekretarisnya, Kira. Ia khawatir, karena Kira tadi telah masuk lebih dulu ke dalam ruang meeting itu sendirian. Setelah memeriksa ruang rapat yang tadinya akan mereka gunakan untuk meeting bersama, Lidia tidak menemukan apapun kecuali barang-barang di sana yang kini telah berantakan.Sepertinya memang benar tentang apa yang Ken jelaskan padanya tadi. Polisi meringkus CEO yang terlibat dalam penjualan narkoba tersebut, dan mungkin saja semua orang yang tadinya ada di ruangan itu diamankan ke suatu tempat. Atau bisa jadi diarahkan untuk membubarkan diri.Lidia berjalan menuju ke arah luar dari hotel tersebut dengan perasaan gusar. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Kira. Di mana sebenarnya dia sekarang?“Permisi, orang-orang yang tadi berada di ruang rapat nomor 180 ke mana, ya?” tanya Lidia pada seorang officer penunggu lobi tersebut.&
Hari ini, semua urusan kantor telah selesai. Lidia menghembuskan napas leganya setelah sampai di apartemen dan membersihkan diri. Kini, ia duduk di meja kerjanya dan membaca kembali berkas-berkas lama milik perusahaannya saat ini.Setelah sekitar tiga jam lebih ia mempelajari semuanya, Lidia pun mengeluarkan kotak kecil berharga miliknya yang telah lama sekali ia simpan. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya. Ia mengeluarkan sapu tangan hitam tersebut dari kotak khusus yang dibelinya saat di Amerika tiga tahun lalu di acara bazar kampus. Hari ini, setelah sekian lama, akhirnya ia melihat wajah hangat itu lagi. Sang pemilik sapu tangan yang selama bertahun-tahun ini ia rawat. Entah mengapa, Lidia melakukan hal seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal isa-sia semacam itu. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.Lidia menaruh sapu tangan itu ke atas mejanya dengan hati-hati. Diusapnya perlahan, sapu tangan itu tetap lembut meski tela