AJENG MERINTIH PELAN. Ia merasa sekujur tubuhnya terasa ngilu. Ia ingin bangun tapi rasa ngilu di tubuhnya malah membuatnya ingin meringkuk lebih lama.
Matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah jendela kaca lebar dengan tampilan sinar-sinar kecil yang indah.
Apa diluar sedang ada pesta kembang api? Tanyanya pada diri sendiri. Tapi sinar-sinar itu tidak bergerak layaknya kembang api pada umumnya.
Ajeng semakin mengetatkan selimutnya dan memilih untuk melihat pemandangan itu lebih lama.
"Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lirih rendah itu membuat Ajeng sadar kalau dia tidak sendirian. Seketika ingatannya kembali masuk. Adegan demi adegan yang ia lakukan beberapa jam sebelumnya membuat Ajeng membelalakkan mata.
Ia menoleh, dan melihat Ilker sedang duduk di belakangnya. Pria itu tengah menunduk dan memandang ke arahnya. Tangannya yang besar terulur perlahan dan menyibak rambut Ajeng.
"Sudah baikan?" Tanyanya lagi seraya menyent
"TA-TAPI MAS.." Ajeng mendesis lirih saat merasakan kecupan Ilker di lehernya."Hmm?" Tanya Ilker tanpa menjauhkan bibirnya dari leher Ajeng, mengendusnya seolah sedang membaui tubuh wanita itu."Sampai kapan kita akan disini?" Tanya Ajeng gugup. Sisa kewarasannya mulai membuatnya takut akan anggapan orang-orang terhadap hubungan mereka nantinya. Ia sangat tidak suka jika orang berdesas-desus tentang dirinya.Ya, mereka memang sudah menikah. Meskipun surat-surat resmi mereka belum keluar, tapi tetap saja mereka sudah halal untuk selalu bersama kapanpun dan dimanapun.Meski demikian, Ajeng masih belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang melihatnya nanti.Bayangkan saja, apa yang akan dipikirkan oleh resepsionis Ilker, atau sekretaris pria itu besok saat melihat Ajeng keluar dari kantor Ilker di pagi atau siang atau mungkin sore hari tanpa pernah melihatnya masuk?Atau bertanya-tanya dimana keberadaannya dan apa yang dil
"Menikahlah denganku." Seorang pria yang menekuk sebelah lutut di atas lantai dengan tangan memegang sebuah kotak beludru berisi cincin bertahtakan berlian dan kepala mendongak pada sosok gadis cantik berkulit putih berambut hitam yang kini balik memandangnya dengan tatapan tak percaya namun penuh haru mengundang perhatian banyak orang."Seni çok seviyorum, Syahinaz. Benimle evlenir misin? Hayatının geri kalanını benimle mi yaşayacaksın?" (Aku sangat mencintaimu, Syahinaz. Maukah kau menikah denganku? Menghabiskan sisa hidupmu denganku?)Sang gadis menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. Dengan keyakinan penuh, ia lantas menganggukkan kepala."Evet. Evet, Ilker!" (Ya. Ya, Ilker!) Ucapnya dengan seruan lantang yang membuat semua orang yang menyaksikan pemandangan itu ikut bersorak.Ilker tersenyum lebar. Bangkit dari posisinya dan berdiri di hadapan wanita pujaannya. Rona bahagia tercermin di wajahnya saat jemari tangannya mengeluarkan cincin bermata berlian itu dari kotaknya d
Lorong rumah sakit tampak sepi. Beberapa lorong hanya menyalakan lampu seadanya karena para pasien sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Sementara di lorong yang lain, lampu masih menyala terang benderang dan beberapa orang sedang berkumpul dengan perasaan kalut dan takut.Ilker, seorang pria berusia tiga puluh satu tahun kini berjalan mondar-mandir di luar ruang operasi dimana sang istri sedang melakukan proses persalinan. Sesekali pria itu mengusap wajahnya dan juga meremas rambutnya kasar karena frustasi.Dokter melarangnya untuk masuk dan menemani sang istri di operasi dan hal itu membuat Ilker sangat emosi. Ia ingin mengumpat. Ia ingin menyumpahi seseorang. Namun ia tahu kalau semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan orangtuanya, paman bibi dan juga sepupu-sepupunya yang mencoba menenangkannya tak ia gubris.Ilker tidak peduli apakah bayi itu akan keluar dengan selamat atau tidak. Tidak! Dia tidak memedulikan itu. Yang dia pedulikan justru apakah istrinya akan selamat
"Syahinaz berpulang." Ucapan lirih itu membuat Ajeng mendongakkan kepala.Syahinaz. Dia tahu nama itu. Syahinaz adalah istri dari saudara sepupu Akara, suami kakak angkat Ajeng.Serentak kalimat "Innalilahi wa innailaihi raji'un." mendengung."Bagaimana dengan Bang Il?" Tanya Rianna dengan sorot sedih."Dia pasti sangat bersedih. Tidak ada hal yang dia cintai di dunia ini selain Syahinaz." Jawab Akara dengan lirih.Semua orang mengenal Akara sebagai sosok yang dingin dan tanpa ekspresi, namun kali ini, Ajeng bisa melihat sorot sedih dan linangan airmata yang Ajeng tahu coba disembunyikan oleh pria itu. Akara dan Ilker tumbuh besar bersama, ikatan persaudaraan mereka jauh lebih erat dari sekedar sepupu. Mereka sahabat baik yang sudah mengalami susah senang bersama. Jadi wajar jika kini Akara merasakan kesedihan yang Ilker rasakan."Aa akan pergi ke rumah sakit dan melihat kondisinya. Kalian langsung saja pergi ke rumah Uncle Adskhan." Ucapnya yang dijawab anggukan oleh Rianna dan Ajeng
"Abang!" Pekikan Nyonya Caliana menghentikkan langkah Ilker yang lebar.Ilker hanya mematung sejenak, mencengkeram tali tas di lengannya dengan erat. Ia tampak tidak ingin membalikkan tubuhnya sama sekali. Memilih untuk mengeraskan hatinya dan menulikan telinganya meskipun ia tahu di belakang punggungnya sang ibu bersedih dengan pilihan yang dibuatnya."Abang mau pergi kemana?" Tanya ibunya dengan nada tercekat. Ilker masih tidak menjawabnya. "Apa Abang gak kasihan sama Ilsya? Dia masih bayi, Bang. Dia baru saja kehilangan ibunya, masa dia harus kehilangan ayahnya juga?" Rintih Nyonya Caliana sedih."Maafin Ilker, Ma." Ucapnya dengan lirih namun masih bisa terdengar oleh orang-orang yang berada di belakangnya. "Tapi Ilker gak mampu jaga anak itu. Hati Ilker sakit, dan Ilker gak mau membenci dia dan menyalahkan dia atas perginya Syahinaz."Kalau Mama memang sayang abang. Biarkan abang pergi. Abang percaya kalau Mama bisa jaga dia. Abang yakin kalau bersama kalian dia akan lebih bahagia
"Uncle sakit, Il." Pemberitahuan bernada lirih itu membuat jantung Ilker berdenyut nyeri. Itu adalah rekaman suara sepupunya, Akara, yang tersimpan dalam rekaman suara di ponselnya. "Beberapa waktu yang lalu beliau sempat dirawat karena jantung. Stres berlebih jadi penyebabnya." Lanjut sepupunya itu lagi.Akara jelas lebih tahu kondisi ayah Ilker karena satu, pria itu tinggal di kota yang sama dengan keluarga Ilker. Dan kedua, Akara adalah seorang spesialis jantung. Jadi dia tahu seluk beluk serta efek dari kondisi ayahnya."Uncle berusaha untuk tegar. Tapi sekuat apapun dia, terlalu banyak pikiran jelas bukan hal yang bisa dengan mudah dia tanggung, Al."Pulanglah. Selain demi Uncle, lakukan demi adik-adikmu dan..." Ucapan Akara tak berlanjut sebab Ilker sudah mematikan rekaman itu.Ilker duduk di kursi portabel nya. Mendongakkan kepala dan memandang langit yang berbintang di kegelapan malam.Lima tahun.Lima tahun sudah ia berlari dari kehidupan nyata. Mencoba menghindari hiruk piku
ALARM BERBUNYI. Dengan mata mengantuk, Ajeng meraba-raba bawah bantal, mencari ponselnya untuk mematikan alarmnya.Ia berbaring beberapa saat untuk menghilangkan kantuk sambil menggeliat untuk meregangkan otot tubuhnya sebelum duduk di atas tempat tidur.Pukul lima pagi dan di luar jendela kamarnya sudah tampak orang-orang berlalu lalang memulai aktifitas. Ajeng turun dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi yang ada di bagian dalam kamarnya.Tempat tinggalnya itu bisa disebut sebagai apartemen studio. Berukuran empat kali enam meter dimana di dalamnya terdapat kamar mandi dan juga dapur kecil seluas dua kali satu meter setengah. Tapi ia tidak berada di gedung apartemen, ataupun lingkungan kos-kosan, melainkan di komplek tempat tinggal karyawan yang dibangun di bagian belakang rumah keluarga Levent. Keluarga blasteran Turki-Indonesia. Tempat dimana Ajeng bekerja.Terhitung sudah lima tahun Ajeng bekerja di keluarga Adskhan-Caliana. Jabatannya? Entahlah, Ajeng sendiri tidak b
Can I call you baby? Can you be my friend Senandung samar dari luar kamar membuat Ilker membuka mata. 'Siapa yang menyalakan musik?' Tanya Ilker dengan mata mengantuk. Can you be my lover up until the very end? Siapa itu? Hanya lagu, tanpa musik. Ini jelas seseorang yang sedang bersenandung. Batin Ilker dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Let me show you love, oh, I don’t pretend Stick by my side even when the world is givin’ in, yeah Suara yang merdu dan lirih itu membuat Ilker akhirnya bangkit dari baringannya dan fokus mendengarkan. Oh, oh, oh, don’t Don,t you worry I’ll be there, whenever you want me Ilker menurunkan kakinya dan meraih jubah kamar mandi berwarna hitam yang semalam digunakannya. Berjalan menjauhi tempat tidur seraya mengikat tali jubahnya. Semakin dekat dengan pintu, semakin jelas suara itu terdengar. I need somebody who can love me at my worst No, I’m not perfect, but I hope you see my worth ‘Cause it’s only you, nobody new, I put you first