AJENG BERDIRI tepat di depan gedung Kralligimiz. Kepalanya mendongak memandang bangunan tinggi itu. Entah sudah keberapa kali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Sekarang, saat ia berada di depan gedung, kakinya terasa sangat berat untuk melangkah.
Ini bukan hal yang benar. Gumamnya pada diri sendiri seraya memutar badan, hendak berjalan menuju gerbang.
Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi dia bisa bicara pada Ilker? Tanyanya lagi dan kembali memutar badan menghadap depan gedung.
Ini terlalu impulsif. Lanjutnya lagi seraya menggelengkan kepala kembali memutar tubuhnya.
Tapi ia sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk sampai di kantor ini, tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa bicara dengan Ilker.
Mereka harus menyelesaikan masalah 'Istri Papa' ini dan membuat Ilsya tenang. Jika tidak, llsya bisa benar-benar tidak mau pulang. Terlebih keinginan bocah kecil itu sangat didukung oleh kakak Ajeng, Rianna.
"
“MAKSUDNYA?" Tanya Ajeng bingung.Ilker duduk di tepian tempat tidur dan tersenyum. "Maksudnya, serahkan dirimu padaku. Disini, saat ini juga. Aku tidak akan mengambil keperawananmu, Ajeng. Kamu yang harus menyerahkannya padaku." Ucapnya masih dengan senyum nakalnya yang membuat Ajeng bukan hanya terbelalak tapi terpaksa menelan ludah dengan susah payah."Me-menyerahkan keperawanan?" Tanya Ajeng bingung.Ilker mengangguk pelan. "Aku tidak akan menyentuhmu, tapi kamu yang akan menyentuhku." Ucapnya dengan senyum miring di wajahnya. "Lupakan cara konvensional dimana suami yang selalunya mengambil keperawanan istri. Kali ini, aku ingin kamu memerawani dirimu sendiri, denganku." Ucap Ilker lagi."Ta-tapi bagaimana?" Tanya Ajeng bingung."Bercintalah denganku, dengan caramu." Lanjut Ilker lirih.Mendengar kata bercinta membuat kewanitaan Ajeng berdenyut dan memanas. Ia sudah membayangkan bagaimana rasanya bercinta sejak dimalam pertama Ilke
AJENG MERINTIH PELAN. Ia merasa sekujur tubuhnya terasa ngilu. Ia ingin bangun tapi rasa ngilu di tubuhnya malah membuatnya ingin meringkuk lebih lama.Matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah jendela kaca lebar dengan tampilan sinar-sinar kecil yang indah.Apa diluar sedang ada pesta kembang api? Tanyanya pada diri sendiri. Tapi sinar-sinar itu tidak bergerak layaknya kembang api pada umumnya.Ajeng semakin mengetatkan selimutnya dan memilih untuk melihat pemandangan itu lebih lama."Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lirih rendah itu membuat Ajeng sadar kalau dia tidak sendirian. Seketika ingatannya kembali masuk. Adegan demi adegan yang ia lakukan beberapa jam sebelumnya membuat Ajeng membelalakkan mata.Ia menoleh, dan melihat Ilker sedang duduk di belakangnya. Pria itu tengah menunduk dan memandang ke arahnya. Tangannya yang besar terulur perlahan dan menyibak rambut Ajeng."Sudah baikan?" Tanyanya lagi seraya menyent
"TA-TAPI MAS.." Ajeng mendesis lirih saat merasakan kecupan Ilker di lehernya."Hmm?" Tanya Ilker tanpa menjauhkan bibirnya dari leher Ajeng, mengendusnya seolah sedang membaui tubuh wanita itu."Sampai kapan kita akan disini?" Tanya Ajeng gugup. Sisa kewarasannya mulai membuatnya takut akan anggapan orang-orang terhadap hubungan mereka nantinya. Ia sangat tidak suka jika orang berdesas-desus tentang dirinya.Ya, mereka memang sudah menikah. Meskipun surat-surat resmi mereka belum keluar, tapi tetap saja mereka sudah halal untuk selalu bersama kapanpun dan dimanapun.Meski demikian, Ajeng masih belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang melihatnya nanti.Bayangkan saja, apa yang akan dipikirkan oleh resepsionis Ilker, atau sekretaris pria itu besok saat melihat Ajeng keluar dari kantor Ilker di pagi atau siang atau mungkin sore hari tanpa pernah melihatnya masuk?Atau bertanya-tanya dimana keberadaannya dan apa yang dil
"Menikahlah denganku." Seorang pria yang menekuk sebelah lutut di atas lantai dengan tangan memegang sebuah kotak beludru berisi cincin bertahtakan berlian dan kepala mendongak pada sosok gadis cantik berkulit putih berambut hitam yang kini balik memandangnya dengan tatapan tak percaya namun penuh haru mengundang perhatian banyak orang."Seni çok seviyorum, Syahinaz. Benimle evlenir misin? Hayatının geri kalanını benimle mi yaşayacaksın?" (Aku sangat mencintaimu, Syahinaz. Maukah kau menikah denganku? Menghabiskan sisa hidupmu denganku?)Sang gadis menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. Dengan keyakinan penuh, ia lantas menganggukkan kepala."Evet. Evet, Ilker!" (Ya. Ya, Ilker!) Ucapnya dengan seruan lantang yang membuat semua orang yang menyaksikan pemandangan itu ikut bersorak.Ilker tersenyum lebar. Bangkit dari posisinya dan berdiri di hadapan wanita pujaannya. Rona bahagia tercermin di wajahnya saat jemari tangannya mengeluarkan cincin bermata berlian itu dari kotaknya d
Lorong rumah sakit tampak sepi. Beberapa lorong hanya menyalakan lampu seadanya karena para pasien sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Sementara di lorong yang lain, lampu masih menyala terang benderang dan beberapa orang sedang berkumpul dengan perasaan kalut dan takut.Ilker, seorang pria berusia tiga puluh satu tahun kini berjalan mondar-mandir di luar ruang operasi dimana sang istri sedang melakukan proses persalinan. Sesekali pria itu mengusap wajahnya dan juga meremas rambutnya kasar karena frustasi.Dokter melarangnya untuk masuk dan menemani sang istri di operasi dan hal itu membuat Ilker sangat emosi. Ia ingin mengumpat. Ia ingin menyumpahi seseorang. Namun ia tahu kalau semua itu tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan orangtuanya, paman bibi dan juga sepupu-sepupunya yang mencoba menenangkannya tak ia gubris.Ilker tidak peduli apakah bayi itu akan keluar dengan selamat atau tidak. Tidak! Dia tidak memedulikan itu. Yang dia pedulikan justru apakah istrinya akan selamat
"Syahinaz berpulang." Ucapan lirih itu membuat Ajeng mendongakkan kepala.Syahinaz. Dia tahu nama itu. Syahinaz adalah istri dari saudara sepupu Akara, suami kakak angkat Ajeng.Serentak kalimat "Innalilahi wa innailaihi raji'un." mendengung."Bagaimana dengan Bang Il?" Tanya Rianna dengan sorot sedih."Dia pasti sangat bersedih. Tidak ada hal yang dia cintai di dunia ini selain Syahinaz." Jawab Akara dengan lirih.Semua orang mengenal Akara sebagai sosok yang dingin dan tanpa ekspresi, namun kali ini, Ajeng bisa melihat sorot sedih dan linangan airmata yang Ajeng tahu coba disembunyikan oleh pria itu. Akara dan Ilker tumbuh besar bersama, ikatan persaudaraan mereka jauh lebih erat dari sekedar sepupu. Mereka sahabat baik yang sudah mengalami susah senang bersama. Jadi wajar jika kini Akara merasakan kesedihan yang Ilker rasakan."Aa akan pergi ke rumah sakit dan melihat kondisinya. Kalian langsung saja pergi ke rumah Uncle Adskhan." Ucapnya yang dijawab anggukan oleh Rianna dan Ajeng
"Abang!" Pekikan Nyonya Caliana menghentikkan langkah Ilker yang lebar.Ilker hanya mematung sejenak, mencengkeram tali tas di lengannya dengan erat. Ia tampak tidak ingin membalikkan tubuhnya sama sekali. Memilih untuk mengeraskan hatinya dan menulikan telinganya meskipun ia tahu di belakang punggungnya sang ibu bersedih dengan pilihan yang dibuatnya."Abang mau pergi kemana?" Tanya ibunya dengan nada tercekat. Ilker masih tidak menjawabnya. "Apa Abang gak kasihan sama Ilsya? Dia masih bayi, Bang. Dia baru saja kehilangan ibunya, masa dia harus kehilangan ayahnya juga?" Rintih Nyonya Caliana sedih."Maafin Ilker, Ma." Ucapnya dengan lirih namun masih bisa terdengar oleh orang-orang yang berada di belakangnya. "Tapi Ilker gak mampu jaga anak itu. Hati Ilker sakit, dan Ilker gak mau membenci dia dan menyalahkan dia atas perginya Syahinaz."Kalau Mama memang sayang abang. Biarkan abang pergi. Abang percaya kalau Mama bisa jaga dia. Abang yakin kalau bersama kalian dia akan lebih bahagia
"Uncle sakit, Il." Pemberitahuan bernada lirih itu membuat jantung Ilker berdenyut nyeri. Itu adalah rekaman suara sepupunya, Akara, yang tersimpan dalam rekaman suara di ponselnya. "Beberapa waktu yang lalu beliau sempat dirawat karena jantung. Stres berlebih jadi penyebabnya." Lanjut sepupunya itu lagi.Akara jelas lebih tahu kondisi ayah Ilker karena satu, pria itu tinggal di kota yang sama dengan keluarga Ilker. Dan kedua, Akara adalah seorang spesialis jantung. Jadi dia tahu seluk beluk serta efek dari kondisi ayahnya."Uncle berusaha untuk tegar. Tapi sekuat apapun dia, terlalu banyak pikiran jelas bukan hal yang bisa dengan mudah dia tanggung, Al."Pulanglah. Selain demi Uncle, lakukan demi adik-adikmu dan..." Ucapan Akara tak berlanjut sebab Ilker sudah mematikan rekaman itu.Ilker duduk di kursi portabel nya. Mendongakkan kepala dan memandang langit yang berbintang di kegelapan malam.Lima tahun.Lima tahun sudah ia berlari dari kehidupan nyata. Mencoba menghindari hiruk piku