Ajeng mendongakkan kepala. Memandang gedung Kralligimiz yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menghilangkan rasa gugup yang menderanya begitu saja. Ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan besar itu. Dan Ajeng sejujurnya tidak terlalu percaya diri. Bukan tidak percaya diri karena dia tidak mampu bekerja keras. Oh dia sangat yakin akan hal itu. Namun ia tidak percaya diri akan tugas lain, tujuan lain, yang membawanya sampai sejauh ini. Pertanyaan-pertanyaan pesimis muncul di benaknya. Bagaimana jika prediksi Oma Ana salah dan Ilker tidak pernah mau kembali ke Kralligimiz? Bukankah ada terlalu banyak kenangan antara Ilker, Syahinaz dan Kralligimiz? Syahinaz memang bukan artis Kralligimiz. Namun dulu, sebelum akhirnya Ilker mengajak Syahinaz menikah, Ilker sempat mengejar Syahinaz untuk menjadikan mendiang istrinya itu sebagai artis. Menurut cerita yang ia dengar dari Oma Ana. Syahinaz memiliki suara yang sangat me
Hari Rabu. Sesuai dengan perjanjian yang sudah Ajeng dan Oma Ana sepakati. Ajeng masih menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengurus penthouse Ilker. Semalam, saat hendak tidur, Ajeng diberhentikan oleh Oma Ana, dan beliau mengatakan kepada Ajeng untuk mengatakan kepada Ilker kalau Ajeng bekerja di Kralligimiz semisal nanti Ilker bertanya pada Ajeng. Ajeng tidak tahu kenapa ia harus berkata demikian, seolah Ilker juga akan penasaran dengan pekerjaan Ajeng. Ya, sekalipun Oma Ana sekarang menempatkan Ajeng di Kralligimiz dengan perkiraan Ilker akan kembali bekerja dan dirinya akan menjadi jembatan penghubung antara Ilsya dan Ilker, ia tidak pernah berpikir kalau Ilker akan kepo dengan urusannya. Oma Ana juga kembali mengatakan kepada Ajeng supaya Ajeng tidak membersihkan penthouse Ilker sendirian dan cukup menjadi pengawas saja, namun Ajeng kembali menolak karena menurutnya bekerja membersihkan kediaman Ilker sudah menjadi salah satu kebiasaannya dan ia juga mengatakan kalau i
"Kapan kamu akan membersihkan tempat ini lagi?" Ajeng memaku di tempatnya, memandang Ilker dengan tatapan bingung. "Sabtu?" Ia bertanya dengan ragu. Jadwalnya untuk membersihkan penthouse Ilker memang pada hari Sabtu, namun ia tidak yakin apakah ia akan datang pagi atau sore hari karena akhir pekan dia ada jadwal kuliah dan juga Ilsya libur sekolah sehingga biasanya pada pagi hari Ajeng akan menemaninya bermain. "Ada yang Anda perlukan?" Tanya Ajeng ingin tahu. Mungkin Ilker menanyakan itu karena pria itu butuh bantuannya. "Anda bisa meminta bantuan saya kapanpun, Sir. Tidak perlu menunggu saya datang hari Sabtu nanti." Ucapnya lagi memberitahu. Suka atau tidak, sudah tugasnya untuk melayani Ilker karena memang dia ada disana untuk itu, meskipun sampai saat ini Ilker mungkin belum tahu itu. Ajeng masih memandang Ilker, menunggu jawaban. Sementara pria itu terdiam di tempatnya dan terlihat bingung sendiri. "Kalau memang Anda perlu sesuatu, nomor kantor ada di meja kerja. Disana A
Beberapa saat sebelum Ajeng tiba Ilker melangkah keluar kamar saat mendengar suara bel penthousenya. Yakin kalau orang yang datang itu Ajeng, Ilker membuka pintu tanpa mengecek siapa tamu yang datang. Dahinya langsung mengernyit saat melihat sosok wanita muda tak dikenalnya berdiri dan tersenyum manis ke arahnya. "Maaf, siapa?" Tanya Ilker pada sosok gadis yang masih tersenyum di hadapannya itu. Mata gadis itu terbelalak, memandang Ilker tak percaya sebelum berdecak kesal. "Kau tidak mengenaliku?" Tanyanya pada Ilker sambil mencebik seolah kesal. Ilker masih mencoba mengingat. Dalam pikirannya, mungkin sosok yang ada di depannya itu adalah sosok yang pernah dia kenal di masa lalu. Dia mencoba menggali dalam ingatannya namun tak juga menemukan siapa sosok tersebut. "Ini aku, Ayeleen!" Ucap gadis itu dengan nada sedikit tinggi dan terlihat kesal. "Aku, adik mendiang kak Syahinaz." Lanjutnya lagi saat Ilker masih tampak kebingungan. Deg! Jantung Ilker mendadak berdenyut nyeri. Nam
Suara itu, lembut, lirih dan manja. Masuk ke telinga Ilker, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya begitu saja sehingga entah bagaimana jantung Ilker terasa berpacu semakin cepat dan matanya tiba-tiba memanas seketika. Ilker mengalihkan tatapannya. Mencoba menyembunyikan rasa haru dan bersalah yang tiba-tiba ia rasakan begitu saja. Dulu, saat ia meninggalkannya, sosok bocah itu masih berupa bayi merah nan kecil. Kepalanya bahkan tak lebih besar dari telapak tangan Ilker dan yang bisa dilakukan bocah itu hanya berteriak kencang dan menangis. Bahkan sangat jelas sekali kenangan di kepala Ilker saat ia mendengar tangisan samar bayi itu saat ia meninggalkannya tanpa perasaan lima tahun yang lalu. "Maaf, Sir. Saya harus bawa Ilsya ke kamar mandi." Ucap Ajeng meminta ijin seraya membawa Ilsya masuk dengan cepat ke dalam penthouse, melewati Ilker yang masih berdiri di tempatnya begitu saja. Ilker memaku sejenak kala mencium aroma wangi khas anak-anak bercampur samar parfum Ajeng s
Selama beberapa saat mereka berdiri dalam keadaan masih berpelukan. Kedua tangan Ilker masih berada di pinggang Ajeng sementara tangan Ajeng masih bersandar di dada bidang pria itu. Ilker bisa merasakan kehangatan tubuh Ajeng di telapak tangannya dan Ajeng bisa merasakan kokohnya dada Ilker di tangannya. Mereka saling bertatapan selama beberapa detik. Dalam jarak sedekat ini, Ajeng bisa melihat bola mata Ilker yang berwarna cokelat pekat, nyaris hitam. Hidung pria itu kecil dan mancung. Bibirnya, yang tersembunyi oleh kumis dan jambangnya berwarna merah muda, menandakan bahwa dia bukan perokok. Bagian atasnya tipis sementara bagian bawahnya lebih tebal. Bulu mata pria itu juga panjang, lebat dan lentik. Matanya seperti kacang almond, tidak bulat, tidak juga sipit dan diperindah dengan alis yang tebal dan melengkung alami, seperti ukiran. Ajeng berusha menelan ludah dengan susah payah memandangi sosok tampan di hadapannya. Sementara di waktu bersamaan, Ilker juga memperhatikan Aje
"Ilsya.. sayang." Ilker kembali memanggil nama putrinya lirih. Bibirnya selama ini selalu tertutup, tak berani mengucap nama itu. Namun sekarang, nama itu berulang kali ia sebut seolah itu adalah mantra yang harus dia hafal. "Maafin Papa, Sayang. Maafin Papa." Ucap Ilker dengan bahu bergetar dan airmata yang terus turun. Ilsya menatap Ajeng dengan sorot bingung khas seorang anak, Ajeng menjawab tanya di mata itu dengan senyuman. Tangan Ajeng terangkat dengan gerakan seolah sedang balas memeluk dan mengusap serta menepuk sesuatu. Ilsya hanya mengangguk dan balas memeluk Ilker. Meletakkan dagu kecilnya di bahu lebar ayahnya seraya menepuk punggung Ilker dengan pelan seolah menenangkan. "Ilsya maafin Papa kok." Ucap Ilsya dengan nada datarnya. "Makanya, Papa jangan sakit lagi, biar gak ninggalin Ilsya lagi." Keluh bocah itu yang membuat Ajeng yang awalnya terharu jadi terkekeh sendiri. Ilker pun tampaknya demikian. Bahu pria itu terlihat bergetar dan Ajeng mendengar kekehan lirih dari
Ilker terbangun dengan disorientasi waktu. Sejenak ia menduga bahwa saat ini ia sedang berada dalam mimpi. Bagaimana bisa dia berada di kamar yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan? Tapi kemudian ia ingat bahwa semalam, tanpa paksaan dan dalam kondisi pikiran yang jernih, ia menawarkan diri untuk mengantarkan Ajeng dan Ilsya kembali ke kediaman kedua orangtuanya. Ilker mengerang. Kenapa ia melakukan tindakan impulsif seperti ini? Kenapa ia tidak memikirkan konsekuensi dari apa yang dia lakukan? Sekarang ia harus bagaimana? Ia berlari selama lima tahun terakhir ini. Dan alih-alih kembali untuk memohon maaf kepada kedua orangtuanya, ia malah memilih untuk bersembunyi. Lalu karena sebuah dorongan tak jelas, entah itu karena Ilsya atau Ajeng, ia kembali ke rumah kedua orangtuanya. Apa yang harus dilakukannya jika ia bertemu dengan kedua orangtuanya nanti? Penjelasan apa yang bisa dijabarkannya pada mereka? Apa yang harus ia katakan pada mereka? Bisakah ia menghadapi kedua oran