Share

Belanja (Kendy POV)

Ini sudah jam setengah dua belas malam. Bagaimana bisa mereka menyuruhku membeli susu dan popok bayi? Coba saja aku tidak merasa bersalah karena sudah menonjok wajah Abi, tak sudi rasanya di perbudak mereka seperti ini. Huh, dasar kedua manusia laknat! Tapi, bayi siapakah yang mereka bawa? Awas saja nanti mereka membuat kekacauan dengan membawa bayi itu! Awal kedatangannya saja membuat seisi rumah bau tayi, bagaimana nanti jika bayi itu tinggal bersama kami?

Aku terus melajukan motorku, menuju Moonmart perumahan. Setelah sampai aku langsung mencari popok dan susu formula. Kulihat jejeran popok dengan berbagai ukuran. Tentu saja aku kebingungan, ukuran berapakah yang harus dibeli? Dan merek apa? Jika orang melihatku mungkin aku sudah seperti suami idaman karena bersedia membelikan kebutuhan bayi ditengah malam seperti ini muehehehe, aku terkekeh dalam hati. Biasalah jiwa narsisku ini memang terlatih dari aku masih kecil. Keluarga ku itu  memang keluarga sultan. Tapi aku sungguh tidak suka dengan mereka. 

"Ah, terserah aja kali ya?" Gumamku.

"Eh, mas kend cari apa?" 

Aku terkejut lantaran mendengar seseorang yang kukenal bertanya padaku. Aku menoleh dan mendapati Mila tersenyum.

"Eh Mila, kamu ngapain disini?" Tanyaku.

"Kerja lah mas, nih liat seragamku!" Mila menarik bagian logo seragamnya. Betapa bodohnya aku bertanya padahal jawabannya ada didepan mata.

"Mas, mau beli popok? Buat siapa?" Tanyanya, ckckck...memang Mila itu sangat cerdas. Ia tahu kami tidak mempunyai bayi, tapi kenapa malah membeli popok bayi? Mungkin itu pertanyaan yang ada dibenaknya, batinku.

"Tau tu si Abi, pulang-pulang bawa bayi. Entah dia nemu dimana. Sekarang gue bingung nyari popok ukuran apa, plus susu formula jenis apa..." Keluhku, membuat Mila tersenyum kecil.

"Hmm... Kalo begitu tak bantuin deh mas nyarinya..." Ujarnya membuat hatiku bersorak gembira, berdendang bagai suara gendang. 

"Makasih banget loh Mil!! Lo memang penolong gue." Ucapku tak tahu lagi bagaimana wajah girangku saat ini. Hmm...tebakku pasti sangat tamvan.

"Mas umur bayinya berapa?" Tanyanya boro-boro tau melihat saja cuma sekilas.

"Gak tau Mil beneran deh." Mila mengernyit mungkin dia heran?

"Hmm...kira kira bayinya itu ukurannya kayak gimana?"

"Dia kecil banget Mil mungil, dan...dia sepertinya sudah bisa tersenyum." Yap, tadi aku mengingat bayi itu tersenyum padaku ketika Abi menyuruhku membeli popok. Sepertinya dia mulai bisa mengejekku. Sial, kita lihat saja nanti.

"Emm.... Bisa tersenyum?" gumam Mila.

"Mungkin dua bulan kali yah." Tebaknya. Ah, memang gue pikirin.

"Mungkin, kali Mil." 

"Ya udah berarti yang ini." Ia mengambil salah satu bungkus popok bayi merek pretty.

Kami berjalan lagi menuju rak susu disana berderet rapi kotak dan kaleng susu. Wah...ini benar-benar pengalaman pertamaku membeli susu. Aku terdiam tiba-tiba saja aku mengingat kedua orang tuaku dan seketika aku langsung menepis kenangan itu.

"Mas mau merek yang paling mahal atau yang paling murah?" Heh, Mila banyak bertanya saja batinku, dalam hati. Pastilah yang paling mahal, percuma dong jadi sultan. Begitulah aku, narsisku ini memang bawaan sedari lahir. Kedua orang tuaku yang sangat kaya mengajari aku hidup seperti itu.

"Hmm... yang terbaik deh Mil. Gue takut tu bayi mencret." Mila menaikkan satu alisnya.

"Yang paling mahal berarti, ini." Tunjuknya.

"Oke." Jawabku.

"Ada lagi mas?" Mila menatap kearahku.

Tiba-tiba saja aku memikirkan bayi itu. Apakah ia perlu bedak? Tisu basah? Sabun? Telon? Eh, kenapa aku jadi perhatian seperti ini sih?!!

"Mil, gue awam banget tentang keperluan bayi tolong dong ambilkan keperluan pokok bayi." Ucapku.

Mila mengangguk dan mulai berjalan menuju, beberapa tempat keperluan bayi. Seperti sabun, telon, bedak, makanan bayi, eh padahal belom cukup umurkan? Mungkin bisa disimpan untuk nanti.

Setelah selesai kami langsung menuju meja kasir dan mulai menghitung belanjaan. Ini sudah tengah malam jadi, wajar saja tak ada pelanggan. 

"Lo juga sekalian mau balik kan Mil?" Tanyaku, mengingat ini sudah tengah malam. Tak baik bagi gadis seperti Mila pulang sendirian.

"Hehehe sebenarnya dari tadi sih mas, tapi pas liat wajah mas gusar gitu pas dateng kesini, ya udah gak jadi pulang dan nutup ini deh." Jelasnya membuat ku tak enak. Mila memang sangat baik sekali. Berbudi luhur dan sopan, hanya saja ia sedikit culun. Andai saja ia tipeku sudah aku jadikan dia kekasihku. Tapi, bukan karena itu juga aku tidak mau menjadi kekasihnya tapi dia terlalu baik untukku. Aku 'kan sang pematah hati wanita. Jadi siapapun yang jadi kekasihku pasti cepat atau lambat keremukkan hatinya. Kecuali aku langsung melamar itu berarti aku sungguh-sungguh.

"Gue tungguin lo deh, gue anterin sekalian. sorry yah." Ucapku.

"Eh, gak papa mas." Jawabnya ia tersenyum manis, sampai lesung pipinya terlihat. 

Aku menunggu dia berkemas, menutup Moonmart ini. Memang Moonmart buka sampai tengah malam. Sehingga penghuni perumahan merasa nyaman, jika kehabisan sesuatu ditengah malam.

Mila keluar dari Moon Mart dan langsung menghampiriku. Ia tersenyum kaku.

"Ayok naik?" Ia mengamati motorku. Entah apa yang dipikirkan gadis itu.

"Mas gimana nih aku duduk?" Mila menyentuh jok belakang motorku.

"Duduk biasa, kayak orang naik motor." Jawabku.

"Hmm... Kalo bonceng kesamping bikin aku takut. Kalo ngangkang aku malu sama mas." Jelasnya, ouh dia kan wanita baik-baik mungkin jarang dia berboncengan dengan laki-laki.

"Gak papa kan terdesak, Mil. Gue udah ngantuk nih dan gue pastikan lo juga ngantuk 'kan?" Tanyaku.

"Iya." Sudah kuduga tetanggaku ini pasti sangat lelah. Dilihat dari wajahnya saja nampak sangat kelelahan. Mila adalah seorang anak yatim. Dan saat ini ia menjadi tulang punggung keluarnya menghidupi ibu dan satu adiknya. Aku kasihan melihat dia, tapi memang tak ada yang bisa kulakukan bukan? Aku hanya tetangganya, jadi aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai tetangga yang bertanggung jawab.

"Ya udah ayok naik." Ucapku lembut pada perempuan hebat ini. Ia mendekat, pelan-pelan ia naik kurasakan badannya tak banyak bergerak, sangat kaku sekali. 

"Mil, kalo jalan sama gue santai aja. Oke? Pegang sini!" Aku membawa tangannya untuk memeluk pinggangku. Kurasakan tangganya begitu dingin. Ada apakah dengan Mila? Tanyaku dalam hati. Setelah mengatur posisi aku pun langsung melajukan motor kasayanganku ini.

Kami membelah gelapnya malam, menyusuri jalanan yang mulai sunyi. Kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Aku yang memikirkan keadaan dirumah dan dia...hmm, entahlah. 

.

.

.

.

Bersambung

bonceng kesamping bikin aku takut. Kalo ngangkang aku malu sama mas." Jelasnya, ouh dia kan wanita baik-baik mungkin jarang dia berboncengan dengan laki-laki.

"Gak papa kan terdesak, Mil. Gue udah ngantuk nih dan gue pastikan lo juga ngantuk 'kan?" Tanyaku.

"Iya." Sudah kuduga tetanggaku ini pasti sangat lelah. Dilihat dari wajahnya saja nampak sangat kelelahan. Mila adalah seorang anak yatim. Dan saat ini ia menjadi tulang punggung keluarnya menghidupi ibu dan satu adiknya. Aku kasihan melihat dia, tapi memang tak ada yang bisa kulakukan bukan? Aku hanya tetangganya, jadi aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai tetangga yang bertanggung jawab.

"Ya udah ayok naik." Ucapku lembut pada perempuan hebat ini. Ia mendekat, pelan-pelan ia naik kurasakan badannya tak banyak bergerak, sangat kaku sekali. 

"Mil, kalo jalan sama gue santai aja. Oke? Pegang sini!" Aku membawa tangannya untuk memeluk pinggangku. Kurasakan tangganya begitu dingin. Ada apakah dengan Mila? Tanyaku dalam hati. Setelah mengatur posisi aku pun langsung melajukan motor kasayanganku ini.

Kami membelah gelapnya malam, menyusuri jalanan yang mulai sunyi. Kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Aku yang memikirkan keadaan dirumah dan dia...hmm, entahlah. 

.

.

.

.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status