“Lihat apa yang terjadi,” kata Reno menunjuk Aga yang membawa dua kantong sampah.
“Mana?” tanya Risky mengucek mata karena baru bangun tidur.“Itu Aga dengan siapa? Serius sekali kelihatannya,” kata Rafa.“Coba lihat mereka mengendarai mobil mewah dan itu keluaran terbaru,” seru Reno.“Jangan-jangan selama ini Aga bekerja dengan yang lain,” seru Rafa.“Bisa begitu,” ucap Risky.“Tunggu dahulu. Kenapa Aga diam saja?” tanya Reno membaca situasi.Aga berdiri terpaku dan diam, tanpa ada satu kata pun ke luar dari mulutnya. Dia mencari cara bagaimana ke luar dari situasi yang membuatnya sulit. Lari? Mungkin pilihan yang baik.
Di sisi lain, Aga melihat ketiga temannya sudah bangun tidur
“Sial. Seharusnya mereka belum bangun di jam ini,” gerutu Aga.
“Apa yang harus saya lakukan selain melarikan diri dari sini?” gumam Aga.Aga melihat mereka bertiga diam-diam membicarakannya. Hal biasa bagi Aga karena sudah menjadi sarapan pagi hari, setiap mereka bertiga membicarakannya.
“Mas Aga, mari pulang bersama saya,” pinta Cakra. Cakra adalah sekretaris Papanya. Dia bekerja semenjak Aga lahir sehingga tahu benar sikap dan sifat Aga. Belum lagi Cakra adalah pengganti Papa dan Mamanya setiap kali pergi keluar negeri.
“Maaf, Pak Cakra. Aku tidak bisa. Lalu untuk apa aku pulang?”“Tuan membutuhkanmu.”“Membutuhkan saya? Lalu ketika aku pergi Papa diam saja.”“Iya begitulah, Sekarang Tuan membutuhkan Mas Aga.”“Okelah aku pulang ke rumah. Selanjutnya, aku akan dijodohkan?” tanya Aga masih penasaran dengan perjodohannya.“Tidak, Mas Aga. Tuan tidak membicarakan tentang hal itu.”“Oke Papa tidak mengatakannya, tetapi Kakek.”“Ini tidak ada hubungannya dengan Tuan besar.”“Sial.”Aga berpikir bisa bernegosiasi dengan Cakra. Ternyata sulit sekali, belum lagi empat orang di belakangnya terus menatap Aga seolah ingin menangkapnya.
Aga mendengar suara ketika temannya. Mereka menggosipkannya dengan bahasa yang sedikit kasar. Dia mencoba menahan amarahnya karena bukan saat yang tepat.
“Coba lihat nomor plat mobil itu.” Rafa menunjuknya.
“Ada apa?”“Nomor itu hanya dibuat dan mobil hanya dipakai oleh Keluarga Brawijaya Group.”“Apa maksudmu Brawijaya Group?” tanya Risky penasaran.“Perusahaan wine terbesar dan terkenal di dunia. Tidak hanya itu saja. Ada rumah sakit, restoran, hotel, dan masih banyak lagi usaha yang didirikan Brawijaya Group.” Rafa menjelaskan.“Apa benar?”“Coba saja cari di internet.”Aga menahan amarahnya mendengar pembicaraan mereka bertiga termasuk menatap Cakra seolah mau menangkap dan mengikatnya.
“Kita buat kesepakatan saja, Mas Aga,” kata Cakra mencoba membujuk.
“Apakah kamu membujukku dengan membuat kesepakatan?”“Iya, Mas Aga.”“Jujur sekali kamu. Aku tidak mau membuat kesepakatan denganmu.”“Cakra bisa jamin jika Tuan tidak akan menjodohkan Mas Aga.”“Wah, wah. Aku tidak ada di rumah. Kamu sudah bisa menjamin kehidupan masa depanku.”“Sepertinya Mas Aga salah paham.”“Di bagian mana aku salah paham?”Aga melihat Cakra sulit untuk menjawabnya.
“Sudahlah. Aku tidak mau pulang dengan alasan apa pun. Jangan mencoba membujuk saya dengan alasan Mama atau Alex.” Aga mencoba memberikan peringatan.
“Cakra tidak akan membujuk dengan nama Nyonya dan Alex.”“Bagus kalau begitu. Pergilah. Aku tidak mau mereka yang ada di dalam terus melihat ke arah sini. Aku tidak nyaman.”“Baik, Mas Aga. Kami akan mundur.”Aga tidak menyangka jika Cakra semudah ini dan mudah menyerah.
“Tetapi maaf, Mas Aga. Kami tidak bisa mundur,” kata Cakra berjalan mendekati Aga.
“Wo, wo, stop.” Aga berjalan mundur dengan dua kantong sampah di kedua sisinya.“Kami tidak bisa berhenti. Kecuali Mas Aga mau ikut dengan kami.”"Tidak akan.”Trap, trap, trap.
Aga berlari dengan membawa dua kantong sampah yang dipegangnya.
“Sial, berat. Kenapa juga aku membawanya? Sebaiknya aku lemparkan pada mereka saja memperlambat mereka.” Napasnya terengah-engah.
Aga melempar dua kantong sampah ke arah mereka.
Bap.
Bap.
Brukkk.
Brukkk.
Brukkk.
Brukkk.
Dua kantong sampah membuat empat pria yang memakai pakaian hitam terjatuh.
“Aduh,” teriak salah satu dari pria yang mengejar Aga.
“Berhasil,” kata Aga tersenyum dan berlari menjauh dari mereka.Sambil berlari, Aga berpikir bagaimana cara bersembunyi dari mereka. Untung saja matahari sudah terbit, setidaknya ada rumah penduduk yang sudah dibuka pintunya.
“Semoga saja menemukan rumah dengan pintu terbuka,” gumam Aga.
“Aaa, mereka masih mengejarku,” kata Aga dengan napas terengah-engah karena jarang berolahraga. Waktunya dihabiskan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya walaupun hanya untuk makan tiga kali sehari.Aga melihat dari jauh jika salah satu rumah pelanggannya, pintu rumahnya terbuka dan lampu di depan rumahnya sudah dimatikan.
“A, di sana,” kata Aga menunjuk rumah pelanggannya.
Aga mengatur napas dan berjalan mendekati rumah tersebut, rumah yang diyakini adalah pelanggannya.
“Permisi,” sapa Aga.
“Permisi,” sapanya lagi.“Iya,” jawab pemilik rumah.Crekkk.
“O, Mas Aga. Masuk, masuk. Terima kasih pagi-pagi sekali mau ke sini.”
“Iya, Bu. Boleh aku minta segelas air putih?”“Boleh, saya ambilkan. Segelas saja?”“Iya, Bu. Segelas saja sudah cukup.”“Tidak biasanya mau ke sini. Apakah olahraga?”“I, iya, Bu. Lupa membawa air minum.”“Ini, Mas Aga. Saya buatkan jus jeruk?”“Tidak perlu, Bu. Hanya membutuhkan air putih.”“Mumpung Mas Aga ada di sini. Ibu mau tanya untuk makan pagi ini.”“Untuk sarapan pagi ini usahakan jangan makan berat. Maksudku makan ringan bukan berarti asal makan. Makanan seperti roti dengan madu bisa menjadi pilihan untuk sarapan.”“Rotinya gandum tidak papa?”"Tidak papa, Bu. Jika ada pantangan dari dokter, baru Ibu bisa mencari pilihan makanan yang lain.”“Sangat membantu sekali. Mas Aga datang ke sini.”“Iya, Bu. Sekalian sedang olahraga.”Aga mengambil gelas yang berisi air putih dan memastikan jika tidak ada suara teriakan dari luar. Bisa dipastikan jika Cakra sudah pergi dari daerah ini. Aga hanya tidak mau jika keadaannya sekarang membuat orang lain tidak nyaman. Termasuk ketiga temannya yang pasti berpikiran macam-macam tentangnya.
“Bu, permisi. Masih ada pekerjaan yang menantiku di dapur,” pamitnya.
“Terima kasih, Mas Aga.”“Sama-sama, Bu."Aga berjalan mengendap-endap. Dia hanya tidak ingin tertangkap basah. Sepertinya dia harus ke luar dari restoran dan mencari tempat yang baru.
Tempat dia dapat hidup dengan tenang tanpa ada gangguan dari Papanya. Dia berpikir jika Cakra dan keempat pria yang lain mungkin melapor pada Papanya.
Aga berjalan menuju tempat tinggal sekaligus restoran karena berada dalam satu bangunan. Dia mendapati ketiga temannya berdiri di depan restoran karena belum jam buka.
“Pangeran kita sudah pulang,” kata Rafa menyindir Aga.
“Pangeran? Mana pangerannya? Pangeran berkuda putih,” kata Risky tertawa.“Aga, kamu tidak memberitahu kami kalau kamu seorang pangeran,” kata Reno yang tertuju pada Aga.Aga diam dan berjalan ke kamarnya.
Tiba-tiba pemilik restoran menunggunya di tangga.
“Maaf Bos. Saya belum menyiapkan bahan-bahannya,” kata Aga meminta maaf.
“Tidak papa, Ga. Apa yang membuatmu tidak nyaman? Apakah mereka bertiga?” tanya pemilik restoran.“Tidak, Pak. Mereka baik-baik.” Aga berusaha menutupi apa yang sudah mereka lakukan.“Tidak usah menutupi, Ga. Saya sudah tahu apa yang mereka lakukan dan katakan padamu.”“A, aku tidak keberatan dengan mereka. Bapak juga tidak perlu khawatir.”“Saya akan tetap khawatir denganmu.”“Pak, boleh aku mengatakan sesuatu?”“Silakan, katakan saja.”“Aku mau pamit, Pak. Aku tidak bisa bekerja di sini lagi.”“Apa karena mereka bertiga?”“Bukan karena mereka,” kata Aga mencoba lagi menutupinya walaupun mereka bertiga adalah salah satu alasan.“Kamu mau pergi ke mana?”“Tidak tahu, Pak. Aku akan mencari tempat tinggal yang nyaman dan aman.”“Bapak ada teman yang membutuhkan karyawan. Apakah kamu mau bekerja di sana?”“Tidak perlu sejauh ini, Pak. Bapak banyak membantu. Aku berterima kasih.”“Bapak juga berterima kasih, Ga, semenjak ada kamu. Restoran jadi ramai. Tidak tahu nanti ketika kamu tidak ada.”“Maaf, Pak. Aku harus pergi. Aku mau mengemasi pakaian dahulu.”“Silakan. Bapak tunggu di bawah.”Aga berjalan menaiki tangga karena kamarnya berada di lantai atas sama dengan ketiga temannya. Hanya saja kamar Aga terdapat di ujung.
Aga turun dengan membawa koper. Dia berjalan menemui pemilik restoran untuk berpamitan lagi.
“Mau ke mana kamu, Aga?” tanya Rafa sinis dengan melirik Aga.
“Aku mau pergi dari sini supaya kalian nyaman bekerja tanpaku,” jawab Aga untuk terakhir kalinya.“Hei, ditanya baik-baik jawabnya ketus,” kata Rafa membalas.Aga berjalan lima langkah menemui pemilik restoran.
“Pak, aku pamit.”
“Ini, untukmu.”“Pak, tidak perlu. Bapak sudah memberikan banyak sekali.”“Tidak, tolong diterima. Hubungi Bapak jika kamu mengalami kesulitan. Bapak akan membantumu lagi.”"Aku terima ya, Pak.”“Hati-hati, Ga.”Aga ke luar dari restoran dengan langkah yang berat dan wajah yang pucat. Dia berharap bisa menemukan tempat tinggal. Tidak mungkin untuk menginap di hotel untuk saat ini.
Pluk.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Aga tidak berani menoleh.
Aga perlahan menggerakkan lehernya. Dia berusaha menoleh dan mendapati Cakra berdiri di hadapannya.“Selamat pagi, Mas Aga.”“Hai, Pak. Kita bertemu lagi,” sapa Aga tersenyum menahan kesal.“Mari kita pulang, Mas Aga.”“Pulang? Sekarang?” tanya Aga berpura-pura polos.“Iya sekarang. Tuan sudah menunggu untuk mengajak sarapan.”“Papa bisa sarapan sendiri atau dengan Mama dan Alex. Selama ini juga tanpa ada aku,” jawab Aga membela diri.“Pagi ini Tuan ingin sarapan dengan Mas Aga.”“Aku tidak mau.” Aga terang-terangan menolak. Aga mencoba mengulur waktu untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak ada jalan ke luar yang terlihat. Dia senyum-senyum melihat Cakra, tetapi Cakra tahu apa yang dipikirkan Aga.“Ikut saja, Mas Aga. Tidak ada jalan ke luar di sini.”“Kata siapa tidak ada jalan ke luar. Pasti ada kok. Jalan tersembunyi.” Aga mengatakannya untuk mengalihkan perhatian.“Percaya saja padaku, Mas A
Aga berjalan mengikuti Cakra yang membawa kopernya. Dia mengikuti dengan langkahnya yang berat walaupun kesempatan baginya untuk lepas dari ketiga rekannya. Namun, rasanya ada yang hilang. Kesempatan dia untuk melakukan passionnya.“Terima kasih, Mas Aga,” kata Cakra membukakan pintu mobil.“Untuk apa?”“Untuk pulang ke rumah.”“O itu. Aku hanya tidak nyaman saja dengan perkataan dan permohonan papa.”“Silakan masuk.”“Iya.” Mereka; ketiga rekan kerja Aga terkejut ketika masuk ke mobil mewah tersebut. Aga menyadari pasti akan terjadi seperti ini. Mereka tahu jika Aga bukanlah orang biasa atau mereka berpikir jika Aga banyak utang. Sepanjang perjalanan, Aga hanya diam dan menatap ke luar. Cakra yang melihatnya merasa bersalah, tetapi ini pekerjaannya. Cakra kembali fokus dengan kemudi mobil. Lagi pula, Cakra mengenal Aga lebih lama dan mengetahui kebiasaannya.“Mas Aga, mau mampir k
Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur. Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga. Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex. Crekkk.“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya. Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.“Mama,” panggil
“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat