Aga berjalan mengikuti Cakra yang membawa kopernya. Dia mengikuti dengan langkahnya yang berat walaupun kesempatan baginya untuk lepas dari ketiga rekannya. Namun, rasanya ada yang hilang. Kesempatan dia untuk melakukan passionnya.
“Terima kasih, Mas Aga,” kata Cakra membukakan pintu mobil.
“Untuk apa?”“Untuk pulang ke rumah.”“O itu. Aku hanya tidak nyaman saja dengan perkataan dan permohonan papa.”“Silakan masuk.”“Iya.”Mereka; ketiga rekan kerja Aga terkejut ketika masuk ke mobil mewah tersebut. Aga menyadari pasti akan terjadi seperti ini. Mereka tahu jika Aga bukanlah orang biasa atau mereka berpikir jika Aga banyak utang.
Sepanjang perjalanan, Aga hanya diam dan menatap ke luar. Cakra yang melihatnya merasa bersalah, tetapi ini pekerjaannya. Cakra kembali fokus dengan kemudi mobil. Lagi pula, Cakra mengenal Aga lebih lama dan mengetahui kebiasaannya.
“Mas Aga, mau mampir ke mana dahulu tidak?” tanya Cakra melihat dari spion mobil.
“Enggak Pulang saja. Itu yang diinginkan papa,” jawab Aga masih menatap ke luar.“Baik, Mas Aga.”Aga teringat jika ponselnya hilang. Dia membutuhkan benda kecil tersebut yang bisa membantu dalam berkomunikasi.
“Pak Cakra, kita pergi ke mal. Aku mau membeli ponsel.”
“Iya, Mas Aga.”Kebetulan jalan ke rumah melewati sebuah mal yang terbilang cukup besar.
“Tunggu di sini saja,” pinta Aga.
“Tunggu, Mas Aga. Saya ikut.”“Tidak perlu. Aku tidak akan kabur lagi. Aku hanya mau beli ponsel. Percaya padaku,” pintanya lagi.“Baik, Mas Aga. Uangnya ada?”“Ada. Tenang saja ini bukan uang dari papa. Semau fasilitas dari papa sudah diminta dua tahun yang lalu.”Aga tidak melanjutkan perkataannya dan Cakra diam.
Aga masuk ke mal dan melihat jejeran etalase berjejer dengan isi yang berbeda. Aga berjalan ke toko yang menjual jual ponsel dan melihat ponsel yang menarik baginya.
“Yang ini.” Aga menunjuk ponsel yang dimau.
“Iya.” Pemilik toko mengambil dan membuka kardus ponsel untuk memastikan dalam keadaan yang baik.Aga membayar dengan sejumlah uang sesuai dengan harga yang tertera.
“Terima kasih,” ucap Aga.
“Sama-sama.”Aga berjalan ke luar dari mal dan mendapati Cakra berdiri di depan mobil. Aga tersenyum dari jauh melihat sekretaris papanya khawatir dengannya. Padahal tidak ada hubungan darah di antara mereka.
“Ayo, masuk,” ajak Aga.
“Iya, Mas Aga.”“Tidak perlu khawatir. Aku pasti akan kembali ke mobil lagi.”“Iya, Mas Aga.”Sepanjang perjalanan, Aga memegang ponsel dan memasukkan nomor ponsel yang dia ingat.
“Nomor saya jangan lupa, Mas Aga,” kata Cakra melihat dari spion.
“Iya, Pak. Aku tidak akan lupa,” kata Aga tersenyum.Aga membayangkan sampai di rumah akan disambut dengan masakan Mama Lud yang enak dan pelukan hangat dari adiknya – Alex.
“Mereka menunggu Mas Aga,” kata Cakra.
“E, mereka?”“Iya. Tuan, Nyonya, dan Alex.”“O, iya.”“Banyak yang sayang sama Mas Aga.”“Semoga begitu, Pak.”“Sabar Mas Aga walaupun berat rasanya.”“Bisa saja Pak Cakra mengatakan seperti itu.” Aga sedikit tersenyum dengan perkataan yang sederhana.“Nyaman Mas di restoran?” tanya Cakra antara penasaran atau ingin tahu.“Restoran?”“Iya. Restoran tempat Mas Aga bekerja.”“O. Itu. Nyaman kok.”“Semoga situasi di rumah juga nyaman, Mas Aga.”“Iya, Pak. Semoga.”“Jangan ragu kalau minta bantuan saya.”“Iya, Pak.”“Ya saya pikir akan canggung karena dua tahun tidak bertemu.”“Tidaklah, Pak. Mau bagaimanapun juga Pak Cakra, salah satu orang yang berjasa dalam hidupku.”“Terima kasih, Mas Aga. Sepuluh menit lagi, kita sampai di rumah.”“Iya, Pak.”Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di rumah. Aga meminta Pak Cakra untuk menepikan mobil dekat dengan pintu utama.
“Terima kasih, Pak.”
“Mas Aga tidak papa masuk sendiri?” tanya Pak Cakra cemas.“Tidak papa, Pak. Aku baik-baik saja.”Crekkk.
Aga membuka sendiri pintu utama karena tidak ada satu pun yang menyambutnya.
“Aga,” panggil Papa As berdiri di tangga.
“Papa,” sapa Aga melihat Papa As sudah banyak berubah.“Apa kabarmu?” tanya Papa As berjalan menuruni tangga.“Baik, Pa. Papa sendiri apa kabar?”“Baik, Ga.”“Om As kedatangan tamu,” kata Mos melihat mereka bernostalgia.“Ups. Salah. Ternyata kamu, Ga. Apa kabar, Ga?” tanya Mos yang sudah pasti tidak dibalas oleh Aga.“Ngomong-ngomong untuk apa pulang, Ga? Bukankah kehidupanmu di laur rumah sudah nyaman? Untuk apa pulang? Pulang juga tidak ada keuntungan untukmu,” sindir Mos.Lagi-lagi, Aga tidak membalas perkataan Mos. Dia menyadari jika membalas perkataan Mos akan jadi perdebatan dan dia tidak mau itu terjadi. Kedatangannya tidak sesuai dengan mimpinya justru disambut dengan sindiran dari Mos.
“Om, Aga tidak biasanya pulang. Apa om yang minta untuk pulang?” tanya Mos pada Papa As berharap mendapatkan jawaban dari salah satunya.
Aga melihat Papa As juga tidak memberi jawaban pada pertanyaan Mos. Kalau Aga jadi Mos pasti akan kesal karena keduanya tidak memberikan jawaban yang menenangkan hatinya.
Aga berjalan mendekati Papa As dan melihat Mos mengepal tangannya. Dia dapat merasakan jika Mos naik pitam.
“Kenapa pulang Ga? Tidak nyaman di rumah. Nyaman dengan kehidupanmu di luar rumah saja,” sindir Mos.
Aga tidak peduli walaupun mendengarkan perkataan Mos, lebih ke sindiran. Dia berjalan mengikuti Papa As. Beliau berjalan menuju ruang kerjanya.
Crekkk.
“Masuk, Ga,” kata Papa As.
“Iya, Pa.”“Duduk, Ga,” pinta Papa As.“Iya, Pa.”Aga yakin jika Papa As akan mengatakan permohonannya lagi. Dia yakin itu dan juga dia sudah memberikan jawabannya di panggilan telefon.
“Ga,” panggil Papa As.
“Aga sudah menjawab di panggilan telefon, Pa. Aga akan membantu Papa untuk mengelola perusahaan. Jika apa yang dikatakan Papa benar. Perusahaan dalam keadaan terombang-ambing.”“Terima kasih, Ga.”“Sama-sama, Pa. Lagi pula perusahaan ini adalah perusahaan keluarga walaupun tidak tahu akan berakhir di siapa nantinya.”“Papa harap kakek memilihmu sebagai penerusnya. Itulah salah satu alasan mengapa Papa memanggilmu untuk pulang.”“Iya. Aga tahu, Pa.”Aga memikirkan perkataan Papa As. Kalau beliau hanya membutuhkan pewaris bukan untuk bersaing dengan Mos. Namun pasti dia akan menjalaninya.
“Istirahat saja dahulu, Ga,” saran Papa As.
“Iya, Pa. Aga permisi ke luar.”“Silakan.”Sekarang hanya kata iya dan menjadi penurut untuk setiap perkataan Papa As. Aga ingin menemui Mama Lud dan Alex
“Aga,” panggil seorang wanita yang dikenali suaranya.
“Mama,” panggilnya berlari kecil memeluk Mama Lud.“Maaf, Ma. Aga baru bisa pulang.”“Tidak papa. Mama sangat merindukanmu.”“Alex mana, Ma?”“Kamu tidak merindukan Mamamu?”“Tentu Aga juga merindukan Mama, tetapi juga merindukan Alex.”“Iya, Mama tahu. Alex ada di kamarnya.”“Apakah ada pria yang mendekatinya?” tanya Aga penasaran.“Belum ada. Coba tanyakan padanya.”“Iya. Aga pergi ke kamar Alex.”Aga berjalan menaiki tangga menuju kamar adiknya. Selama dua tahun dia tidak bertemu dengan adik kesayangannya. Kamar Alex berhadapan dengan kamarnya.
Aga mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawaban dari si pemilik kamar.
“Lex, Alex,” panggil Aga.
Crekkk.
“Kakak,” panggil Alex semangat karena tidak mengetahui jika kakaknya akan pulang.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu membawa pria masuk ke kamarmu? tanya Aga menggoda adiknya.“Apa sih kak. Alex sedang belajar dan setelah ini ada les piano.”“Kamu masih melakukannya?”“Iya, Kak. Papa juga sudah menyukai dengan pilihan Alex.”“Bagus kalau begitu. Usahamu tidak sia-sia.”“Kakak kapan datang? Maaf tidak ada penyambutan untuk kakak karena tidak tahu kalau pulang hari ini.”“Iya tidak papa. Sekitar satu jam yang lalu. Mau makan dengan kakak? Kakak lapar.”“Setelah les piano?”“Iya sudah. Kita makan di luar rumah saja. Kakak yang traktir.”“Oke.”Suara ketukan pintu kamar Alex.
“Siapa Kak?”
“Buka saja. Mungkin Mama.”Crekkk.
“Papa.”
“Ada kakakmu?”“Ada apa, Pa?”“Papa hanya mengatakan persiapkan dirimu untuk besok. Papa akan mengajakmu ke suatu tempat.”“Iya, Pa. Setelah Alex selesai les piano. Aga mau mengajaknya makan di luar.”“Iya,” jawab Papa singkat.Aga sudah menduga Papa As akan mengajaknya ke tempat menurut dugaan Aga.
Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur. Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga. Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex. Crekkk.“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya. Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.“Mama,” panggil
“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat
Aga membiarkan Ben merapikan kembali meja walaupun tidak seharusnya dilakukan.“Tidak perlu dirapikan, Ben,” kata Aga mencegahnya.“Tidak papa, Mas Aga.”“Ingat ya Ben. Jangan katakan apa pun.”“Siap, Mas Aga. Aku akan mengingat semua perkataan Mas Aga. Aku juga sudah mencatat data-data apa saja yang diperlukan.”“Kamu harus setia mau mengantarku pulang. Mobilnya bawa saja.”“Iya, Mas Aga. Terima kasih. Apa boleh aku bawa mobilku sendiri?”“Tidak perlu. Pakai saja mobil milikku. Papa akan curiga.”“Iya, Mas Aga.”“Kita selesaikan kegiatan kita di sini. Aku penasaran merasakan wine yang dibanggakan Ben.”“Rasanya seperti itu.”“Nah itu dia, aku penasaran.”“Sabar, Mas Aga.”“Iya, Ben. Aku tahu itu. Aku sudah melatih kesabaranku dua tahun yang lalu.”“Mas Aga, apa yang bisa aku kerjakan sekarang?”“Tidak perlu, Ben. Kamu mau pesen minuman yang kamu suka?”“Tidak, Mas Aga.”“O, iya udah.”Mereka berduas asy
“Lex, Kakak mandi dahulu. Kakak akan ke ruang makan setelah itu,” kata Aga membuka pintu tanpa menyadari siapa yang ada di depannya. Crekkk.“O, Papa, ada apa?” tanya Aga memasang kembali kancing kemejanya.“Boleh Papa masuk?”“Silakan.” Aga melihat Papa As melihat sekeliling dalam kamarnya. Setidaknya kamarnya rapi terhindar dari sampah dari bungkus makanan yang biasa dia buang di kotak sampah. Aga membiarkan pandangan Papa As menyebar ke seluruh pojok kamarnya.“Pa,” panggil Aga membuat Papa As menyadari jika berada di kamar Aga.“Iya.”“Duduk, Pa.” Aga membiarkan Papa As mengambil posisi duduk lebih dahulu. Baru Aga mengambil posisi duduk di pinggir tempat tidur.“Kamu mau mandi?” tanya Papa As melihat jas yang dilempar sembarang.“Iya, Pa.”“Papa mau mengobrol sebentar. Sebelum makan malam dan kamu akan segera pergi tidur.”“Iya, Pa. Silakan.”“Kamu dari mana?” ta