“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.
“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun.Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.
“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.
“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral.Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini.
Aga masih tetap penasaran dengan rasa tersebut, tetapi tidak mungkin dia mencicipinya di pabrik. Mata-mata mereka pasti akan bertanya-tanya.
“Bagaimana Ga, kamu setuju untuk voting?” tanya Mos dengan dilakukan voting ini.
Lagi-lagi, semua pasang mata melihat ke arah Aga. Sekarang mau tidak mau, Aga harus memberikan pendapatnya.
“Iya setuju,” jawab Aga dengan berat hati.
Aga sudah menebak hasil voting ini akan berakhir di Mos. Salah satunya karena Aga belum menunjukkan kinerjanya, tetapi dia yakin jika rasa baru yang dibanggakan bisa diperbaiki. Kecuali jika tidak bisa memang harus membuat rasa yang baru.
“Silakan dilakukan votingnya,” kata Mos tersneyum melihat Aga karena yakin dengan hasil akhirnya.
Salah satu karyawan membawa kotak transparan, sedangkan mereka menulis nama Mos atau Aga pada selembar kertas kecil.
Aga sendiri tidak bisa menebak siapa saja yang memihak padanya atau setidaknya memandang Papa As untuk memilihnya.
“Semoga saja dengan hasil voting ini bisa mempercepat proses produksi,” kata salah satu anggota direksi yang memihak Mos.
Aga menyadari posisinya di perusahan lebih tepatnya di ruang rapat, posisinya tidak memiliki kekuatan untuk melawan mereka. Apalagi, dia baru saja masuk hari ini ke kantor. Itu pun karena Papa As yang mengajak.
“Tenang saja, Ga. Kamu pasti terpilih kok. Tidak perlu cemas. Aku ikhlas,” kata Mos tersenyum sinis pada Aga.
Aga tidak membalas perkataan Mos karena akan membuang waktu dan justru akan menjadi perdebatan seperti tadi. Dia masih berkutat dengan pikirannya. Dia masih penasaran dengan rasa wine yang baru.
Aga melihat direksi yang memihak Paman Bimo dan Mos pastilah memilih sedangkan yang berpihak pada Papa As mau tidak mau memilih Aga walaupun mereka tahu hasil akhirnya.
“Waktunya menghitung hasilnya,” kata salah satu anggota direksi yang netral.
Aga merasa jantungnya berdegub sangat kencang walaupun bisa menebak hasil akhirnya. Dia juga tidak tahu yang dirasakannya. Papa As menatapnya seolah membutuhkan bantuan. Bantuan seperti apa, Aga juga tidak bisa menolongnya.
Aga menyentuh layar ponsel yang diletakkan di meja. Dia melihat jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Dia tahu jika adiknya tidak mungkin untuk makan siang dengannya.
“Hasil voting,” kata salah satu anggota direksi yang netral.
Semua pasang mata melihat ke arah papan yang tertulis hasil akhir. Beberapa dari mereka tersenyum karena hasilnya sesuai dengan yang mereka harapkan.
“Hasil voting. Moscarosa Brawijaya dengan jumlah yang terbanyak.”
Suara tepuk tangan memenuhi ruang rapat, tetapi beberapa yang memilih Aga banyak yang menggerutu. Mereka ke luar dari ruang rapat karena kesal dengan hasil akhirnya.
Di ruang rapat masih terdapat direksi yang memihak salah satu dari Papa As dan Paman Bimo.
“Aga,” panggil Mos yang membuat Aga mampu menatap matanya.
Aga tidak menjawab panggilan Mos.
“Maaf, mereka banyak memilihku. Nilaiku terbanyak,” kata Mos denagn tersenyum sinis dan terlihat kebahagiaan di wajahnya.
“Pak Bimo dan Mos, kita perlu mengadakan acara makan untuk mengucapkan selamat,” kata salah satu anggota direksi yang memihak mereka.“Iya, kita akan lakukan. Pesanlah tempat dengan makanan yang mahal,” kata Paman Bimo menatap tajam pada Papa As.“Maaf, Ga,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu harus banyak belajar dahulu. Pelajari dahulu tentang perusahan yang sudah dibesarkan oleh Kakek Aga. Nama kalian berdua sama bukan berarti rezeki sama. Berbeda,” kata Mos menekan kata berbeda.“Hari ini beruntungnya diriku. Dewi fortuna berada dipihakku,” kata Mos tidak henti-hentinya merendahkan Aga.Aga hanya diam tanpa membalas apa pun. Sikapnya inilah yang mudah direndahkan oleh orang lain termasuk sepupunya sehingga Mos berhasi menjatuhkan Aga dengan sekali tepukkan.
“Ga, katakan sesuatu sebagai kalimat terakhir. Ups, saya lupa kamu masih mau berada di perusahaan ini. Mungkin ada jabatan yang tepat untukmu,” sindir Mos.
Aga melihat Papa As ke luar dari ruang rapat. Dia tahu jika tidak dapat membantu Papanya dan hanya memberikan beban pada beliau. Namun, dia diminta pulang juga karena beliau yang memintanya.
Aga mengingat setiap perkataan Mos. Bahkan satu kata pun tidak akan dia lupa, tetapi hati kecilnya mengatakan untuk tidak membalas. Jika suatu saat, Aga membalas tidak ada bedanya dengan Mos. Justru akan memperburuk keadaan.
“Terserah apa yang mau katakan, Mos,” kata Aga yang akhirnya mau bicara.
“Ups, kamu berbicara denganku. Aku pikir kamu hanya berbicara omong kosong saja. Jangan anggap aku ini santai. Memang kita sepupu dan kamu adalah kakak sepupu, tetapi ini perusahaan, Ga. Kamu tidak bisa seenaknya dan santai denganku.”“Apa kamu memperingatkanku?” tanya Aga yang membuat Mos mengepal tangannya.“Iya anggap saja. Aku tidak mau kamu masuk perusahaan. Alasannya? Karena kamu baru anak kemarin sore. Saya tidak mau rencana yang sudah saya bangun menjadi rusak gara-gara kamu yang tidak tahu apa-apa. Ke luar saja, Om As sudah ke luar dari ruang ini.”“Kalau aku tidak akan ke luar. Kamu saja yang ke luar.”Aga tidak akan sama dengan Mos. Dia berpikir jika dia ke luar ruang rapat, dia tidak bedanya dengan Mos. Dia harus bertahan di ruang rapat sampai Mos dan pengikutnya ke luar.
Aga melihat Mos tersenyum.
“Apa kamu bisa Ga kerja di perusahaan. Kehidupan di luar rumah lebih nyaman untuk apa kamu pulang. Tidak ada gunanya, Ga. Dahulu juga aku memberitahumu, kamu ini tidak bisa apa-apa tanpa bantuan Om As. Kamu untuk apa pulang. Yang pasti jangan bersikap santai denganku. Di sini.”
Aga mengepal tangannya dan wajahnya memerah seperti memakai perona pipi. Dia merasa harga dirinya jatuh.
“Kita ke luar saja, Mos,” ajak salah satu anggota direksi.
“Iya, Pak. Kita makan-makan untuk merayakan keberhasilan ini. Besok kita kerja keras lagi. Nanti orang yang di sana akan menganggap kita santai.” Mos menunjuk Aga.Aga memilih diam lagi, tetapi diam bukan berarti takut lebih tepatnya dia mengalah. Bagaimanapun juga Mos masih sepupu dekatnya.
Aga melihat Mos dengan pengikutnya berjalan ke luar dari ruang rapat dan Paman Bimo mengikuti berjalan di belakang mereka.
“Lihat saja. Aku pasti akan membalas. Aku ingat setiap perkataanmu,” kata Aga mengepal tangannya.
Aga berpikir keras untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Dia ingin mengambil semua yang menjadi miliknya. Dia akan berusaha lebih keras lagi.
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat
Aga membiarkan Ben merapikan kembali meja walaupun tidak seharusnya dilakukan.“Tidak perlu dirapikan, Ben,” kata Aga mencegahnya.“Tidak papa, Mas Aga.”“Ingat ya Ben. Jangan katakan apa pun.”“Siap, Mas Aga. Aku akan mengingat semua perkataan Mas Aga. Aku juga sudah mencatat data-data apa saja yang diperlukan.”“Kamu harus setia mau mengantarku pulang. Mobilnya bawa saja.”“Iya, Mas Aga. Terima kasih. Apa boleh aku bawa mobilku sendiri?”“Tidak perlu. Pakai saja mobil milikku. Papa akan curiga.”“Iya, Mas Aga.”“Kita selesaikan kegiatan kita di sini. Aku penasaran merasakan wine yang dibanggakan Ben.”“Rasanya seperti itu.”“Nah itu dia, aku penasaran.”“Sabar, Mas Aga.”“Iya, Ben. Aku tahu itu. Aku sudah melatih kesabaranku dua tahun yang lalu.”“Mas Aga, apa yang bisa aku kerjakan sekarang?”“Tidak perlu, Ben. Kamu mau pesen minuman yang kamu suka?”“Tidak, Mas Aga.”“O, iya udah.”Mereka berduas asy
“Lex, Kakak mandi dahulu. Kakak akan ke ruang makan setelah itu,” kata Aga membuka pintu tanpa menyadari siapa yang ada di depannya. Crekkk.“O, Papa, ada apa?” tanya Aga memasang kembali kancing kemejanya.“Boleh Papa masuk?”“Silakan.” Aga melihat Papa As melihat sekeliling dalam kamarnya. Setidaknya kamarnya rapi terhindar dari sampah dari bungkus makanan yang biasa dia buang di kotak sampah. Aga membiarkan pandangan Papa As menyebar ke seluruh pojok kamarnya.“Pa,” panggil Aga membuat Papa As menyadari jika berada di kamar Aga.“Iya.”“Duduk, Pa.” Aga membiarkan Papa As mengambil posisi duduk lebih dahulu. Baru Aga mengambil posisi duduk di pinggir tempat tidur.“Kamu mau mandi?” tanya Papa As melihat jas yang dilempar sembarang.“Iya, Pa.”“Papa mau mengobrol sebentar. Sebelum makan malam dan kamu akan segera pergi tidur.”“Iya, Pa. Silakan.”“Kamu dari mana?” ta
“Akh segarnya,” kata Aga mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Makan malam ya?” tanya pada dirinya seolah enggan untuk makan malam bersama. Aga mau tidak mau harus melakukannya. Jika tidak dia akan dicoret namanya dalam deretan nama pewaris. Ya walaupun hanya ada Aga dan Mos.“Makan malam saja walaupun suasana hati sedang tidak ingin makan,” ucapnya meletakkan handuk di kamar mandi. Crekkk. Aga berjalan menuju ruang makan. Dia yakin semua sudah berkumpul di ruang makan.“Se-lamat malam,” sapa Aga terkejut karena melihat Kakek Aga tidak ada di kursinya.“Ada apa Ga?” tanya Mama Lud.“Kakek ke mana?”“Kakek ke rumah Paman Bimo.”“O.” Hidangan makan malam tersedia di meja makan, tentu Mama Lud yang memasaknya. Aga menyukai masakan dan apa saja yang dibuat oleh beliau. Ruang makan dengan 10 kursi dengan meja panjang menjadi saksi kesunyian pada makan
Aga menyadari jika Papa As menatapnya.“Tidak papa, Pa. Aku baik-baik saja,” kata Aga mencoba menenangkan Papa As.“Terima kasih, Ga. Kamu berusaha menenangkan Papa.”“Tenang saja. Semua akan baik-baik saja. Papa hanya cukup percaya pada Aga akan melakukan yang terbaik.”“Iya, Papa percaya denganmu. Habiskan makananmu.”“Pa, Aga sudah kenyang menghabiskan segelas jus.” Aga melihat Papa As terheran.“Kakak ini doyan apa lapar?” tanya Alex memecah keheningan dengan leluconnya.“Dua-duanya.” Aga menjawab menahan tawa.“Papa sudah selesai makannya.” Papa As memberitahu. Aga melihat Papa As berdiri dan menggeser kursi. Dia melihat papanya berjalan ke luar dari ruang makan. Setelah itu tidak bisa melihat lagi bayangannya. Entah pergi ke ruang kerja atau ke kamar beliau.“Terima kasih, Ga. Kamu buat Papamu senang.” Mama Lud mengucapkan terima kasih lagi.“Iya, Ma. Aga akan melakuk