"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin ... "
~ Ara ~
.
.
- THE WEDDING -
Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk.
"Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!"
"Thank you"
Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain.
"Bagaimana rasanya jadi mempelai?"
"Nervous, I guess?"
"Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik"
"Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!"
"Umh, I'm so happy for you too"
Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku.
"Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini"
Kami menghapusnya.
"U
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
“...cinta bisa menjadi sesuatu yang lembut dan menyentuh, tapi kadang juga bisa menyakitkan dan mencekik tanpa rasa ampun...” ~ ARU ~ Aku menangkap gelap dari sebuah pesan yang dikirim untuk Ara. Aroma pesan itu berbau busuk, walaupun aku tak menciumnya secara nyata. Hanya saja peka rasa yang menerbitkan intuisi bernada beda. Aku curiga. Kusapu juga ponselnya yang berada di meja dalam genggaman ku. Bunyi seperti tetes air yang jatuh terdengar saat aku mengusap layarnya. Ku ketikkan angka-angka sandi &
"...cinta ini terlihat kerdil dalam ketidak pastiannya..."~ ARA ~Aku bercermin menatap bayangan diriku. Ada seraut bahagia yang terpancarkan dari bayangan itu, entah itu karena hari ini Aru akan mengajak jalan atau karena sesuatu yang lain. Yang jelas aku sangat senang. Kami rencananya akan menghabiskan Minggu ini bersama, setelah dua kali Minggu terlewati terpisah.Sekali lagi ku pastikan penampilanku di cermin. Karena merasa kurang 'pede' aku lantas menambah lagi garis ketebalan lipstikku, dan bertanya pada sahabatku, Tasya, yang sedang sibuk memperhatikan ku dari tempatnya duduk."How do I look?" tanyaku pada sahabatku.“You look good as always” jawabnya, “Jadi, kau benar-benar tidak akan mengajakku serta?” keluhnya, a
"...Menyenangkan jika kebahagiaan kita hanya di isi dengan cerita tentang kita, tanpa harus membawa penyusup..." ~ Aru ~ Setelah mengirim pesan pada Tasya, aku lantas melajukan motor ku melewati jalanan kota Singapura pergi menuju tempat sahabatku, Zein. Biasanya dia selalu ada di kursi nyamannya untuk bermain game seharian dan hanya bersantai-santai di hari Minggu. Jadi aku tidak memberitahukannya jika akan datang. Aku memarkir motorku. Bergegas menekan tombol lift dan menuju nomer apartemennya. Belum juga ku tekan bell, pintu sudah terbuka dengan sendirinya. "Yoo Bro!" serunya kaget. Wajah Zein terlihat. Pakaiannya rapi, wajahnya bersih segar, rambut tertata dan tersisir halus. Dan... tumben dia wangi. Seperti akan pergi berkencan saja. Beruntungnya aku datang tepat waktu, sebelum dia pergi. "Tumben ngak ngabarin klo mau kesini? Ehh bukanya kau bilang
"...Dia guru terbaik dalam mengecap rasa dan belajar bahasa..." ~ Ara ~ Aku berhenti menangis, tapi belum berhenti bersedih. Kepala ku mulai terasa pening karna banyak menangis, tapi Aru masih belum menghubungi ku, walaupun aku sudah mengirim beberapa pesan text untuknya. Dia bahkan belum membacanya. "Mungkin Aru memang butuh waktu menyendiri dulu, Ra" ujar Tasya menanggapi pikiranku yang ternyata ikut keluar dari mulutku tanpa ku sadari, "Kau tenang saja. Aku yakin setelah dia merasa lebih baik. Pikirannya lebih terang menerima, dan emosinya lebih stabil dia akan menghubungi mu. Kau tahukan, dia pandai berbenah! Dia akan menghubungi mu saat dia telah membaik" imbuh teman ku berpendapat. "Aku hanya takut jika saja kali ini dia tidak bisa lagi menerimaku ataupun memaafkanku, Sya. Karena nyatanya ini bukan hal baru untuknya. Aku sudah b
"...Benang tipis diantara bodoh dan gila ialah cinta... " ~ Aru ~ Berbulan-bulan berlalu dan kita hanya menikmati rasa rindu ini dalam ruang kita yang berbeda. Mengumpulkan setiap hitungan demi hitungan, hingga menjadi deret hitung selanjutnya. Menyilang saat lima dan menulis lagi jadi satu. Menyilang lagi saat lima dan menghitung ulang mulai dari satu. Begitu terus dan berlanjut hingga hitungan itu genap terkumpul sampai hari ini. Hari dimana aku akan membawakan oleh-oleh rindu yang Ara minta dan ku janjikan, iya. "Landing safe in SG" Telah menjadi status di f******k dan juga sosial media ku yang lainnya. Lalu Ara dengan cepat bereaksi meminta temu disiang hari itu juga, segera sesaat setelah aku mendarat. Tapi aku berencana menemuinya sore hari, karena merasa masih letih dan perlu mengumpulkan energi agar bisa menemuinya d