Flashback on
Malam itu setelah Ananditha masuk ke dalam kamarnya, Ranty meminta Hasto menelpon Ratna, adiknya.Ranty meminta Ratna menjelaskan segalanya, demi jaminan keselamatan Ananditha, putri semata wayangnya.
"Aman Ty, Anan akan baik-baik saja di sini ... majikanku baik banget, dan jarang di rumah, pekerjaannya juga gak berat," terang Ratna dari sebrang sambungan telepon itu.
"Kamu tahu Teh, Anan belum pernah pergi jauh dariku, siapa di sana yang akan menjaganya?" tanya Ranty masih ragu.
"Anan tidak bekerja sendiri Ty, di sini ada banyak pekerja ... dan mereka semua adalah teman yang baik untuk Anan,"
"Majikanmu, laki-laki, atau perempuan? Sudah berkeluarga atau belum?"
"Laki-laki muda Ty, dia pengusaha sukses, bisnisnya di mana-mana ... sering keluar negeri, jarang ada di rumah."
"Baiklah, aku percaya ... akan aku bicarakan dangan Hasto lagi," pungkas Ranty memutuskan sambungan teleponnya.
"Aku akan menjaga bibi, bila Anandita pergi," tutur Hasto, turut meyakinkan Ranty agar mengizinkan Ananditha.
Flashback off
*****
Sepanjang malam, Ananditha tak dapat memejamkan matanya ... pikirannya melayang jauh pada rencana masa depan yang akan dimulai esok hari.Bayangan kota yang indah, seolah dekat dengan pelupuk matanya, menjanjikan keberhasilan sempurna seperti apa yang di dambanya selama ini.
Ananditha yang polos, menganggap kota adalah surga dunia yang harus ia dapatkan, yang harus ia taklukkan. Pikiran naifnya membuat segala kemungkinan buruk yang mungkin saja menghampirinya tidak masuk dalam daftar antisipasinya ... seperti menyiapkan kantung kecewa dalam jumlah yang besar misalnya.
Ketika malam beranjak pagi, entah baru beberapa jam saja rasanya Ananditha tertidur dengan penuh rasa bahagia yang membucah, hingga terdengar suara sang ibu yang sudah duduk di samping tempat tidurnya, memanggil namanya dengan suara yang begitu lembut.
"Nan ... bangun Nan, udah siang ..." ujar Ranty sembari mengguncang pelan tubuh Ananditha.
"Hooaaam ...," Ananditha menguap, badannya mulai terlihat menggeliat. Namun matanya tak kunjung terbuka.
"Nan ... Anan ... Ananditha, ayoo bangun," sekali lagi Ranty mengguncang-guncang tubuh Anandita.
"Lima menit lagi ya Bu ...," rengek Anandita seraya kembali menutup wajahnya dengan bantal.
"Gimana mau kerja di kota?"
Ananditha bergegas bangkit dari tidurnya, duduk di depan ibunya, dengan berusaha keras membuka matanya selebar mungkin, meski terlihat jelas mata itu masih menahan kantuk yang sangat, namun sepertinya kata kota membuatnya melupakan segala hal lain. Hanya kota yang ada dalam angannya kini.
"Mandi, biar segar ... dan segeralah bersiap, sebentar lagi Kang Hasto datang," ujar Ranty mengingatkan.
Ananditha menganggung kencang, sebagai tanda bahwa ia paham atas apa yang menjadi perintah sang ibu, sekaligus mengusir rasa kantuk, berharap dengan mengangguk kencang aliran darah di kepalanya, akan ikut berjalan sempurna mengusir kantuknya.
***** Tepat pukul delapan pagi waktu Indonesia bagian barat, Ananditha sudah siap dengan segala barang bawaannya, menanti kehadiran sang sepupu yang akan mengantarkannya ke kota, tempat di mana Ananditha akan bekerja menggantikan sang bibi yang sakit."Mengapa Kang Hasto, lama sekali ya Bu?" tanya Anan jenuh sekaligus khawatir.
"Bersabarlah Nan ... mungkin Hasto kesiangan bangun," Ranty mencoba menenangkan Ananditha yang mulai mengeluh tidak sabar.
Anan masih terus bergelayut manja dangan sang ibu yang sebentar lagi akan di tinggalkannya dalam waktu yang lama ... tidak kurang dari satu tahun atau bahkan lebih. Tergantung bagaimana nanti majikannya akan membuat peraturan.
Sebuah mobil berjenis mini bus berwarna hitam dengan kapasitas penumpang dewasa kurang lebih enam belas orang masuk ke halaman rumah Ananditha, yang sontak mengundang binar bahagia di bola mata coklat nan indah miliknya itu.
"Bu ... Kang Hasto!" seru Ananditha bangkit dan melonjak-lonjak kegirangan.
"Ibu pikir, kamu sudah dewasa seutuhnya ... tapi melihat tingkahmu yang masih seperti ini, ibu kembali ragu melepaskan kepergianmu ...." ujar Ranty memindai Ananditha dengan sendu.
Mendengar ibunya bertutur seolah ingin membatalkan niatnya untuk pergi, Ananditha mendadak hening tak bergeming. Mimik wajahnya serta merta berubah pias.
Hasto yang melihat interaksi ibu dan anak sejak tadi dari kejauhan, hanya tersenyum. Sungguh, bibinya begitu menjaga gadis cantik nan lugu seperti Ananditha itu layaknya emas.
"Maafkan abdi, Bi." ujar Hasto menghampiri kedua wanita itu memecah keheningan diantaranya. "Tadi kesiangan supir travelnya ... bannya sempat bocor," terangnya lagi.
Ranty mengangguk, "Gak apa-apa Has, ini loh adikmu yang sudah takut kamu batal mengantarkannya ke kota ... merengek terus," cibir Ranty seraya melirik sang putri yang sudah menyembunyikan wajahnya di balik pilar rumah kayu mereka itu.
Hasto kembali tersenyum, melihat Ananditha muncul kembali dari balik pilar dengan pipi bersemburat merah muda, tanda menahan malu.
"Sudah, nanti keburu siang ... dan ibu berubah pikiran, berangkat sana." Ranty memerintahkan Anan dan Hasto untuk segera beranjak.
Hasto membantu membawakan tas bawaan Anan yang tak cukup besar untuk ukuran orang yang akan bekerja di kota. Sepertinya Anan hanya mempersiapkan barang-barang sekadarnya saja.
Ananditha berpamitan menyalami, memeluk, dan mencium sang ibu dengan penuh sayang, dan kerinduan. Meski belum benar-benar pergi, Ananditha merasa hatinya sudah merindukan sang ibu.
"Anan pergi ya Bu," pamit Anan dengan pelupuk maa yang sudah di genangi buliran hangat penuh yang sudah mendesak keluar. "Anan mohon, jaga diri Ibu baik-baik, selama Anan tidak ada, jangan bekerja terlalu keras, Anan akan mengirimkan biaya hidup Ibu nanti." Cicitnya lagi.
Ranty mengulas senyum tipis, anak semata wayang yang selama ini ia besarkan dengan kasih utuh yang dimilikinya, kini harus ia relakan pergi, seperti kehendaknya. "Anan sudah besar, dan dia memiliki mimpinya sendiri," batin Ranty.
"Kamu juga berhati-hatilah di sana, ibu akan selalu mendoakan kebaikan untukmu ya ...." ujar Ranty, seraya membelai sayang wajah Ananditha, serta menghapus jejak airmatanya.
"Kami berangkat ya Bi. Assalamu'alaikum ...." pamit Hasto, mengakhiri adegan berpamitan antara ibu dan anak gadis itu.
Ranty mengangguk, air mata yang sedari tadi coba di tahannya kini merembes membersamai langkah Anan yang semakin menjauh.
Bohong bila dirinya tak sedih ... bohong bila ia tak kehilangan, Anan adalah buah hati satu-satunya yang suaminya tinggalkan. Itu pula yang menjadi sebab mengapa selama ini Ranty tak pernah membiarkan Anan pergi jauh dari sisinya. Rasa sayang dan memiliki yang begitu besar, membuat Ranty, tak ingin Anan meninggalkannya walau sekejap saja.
Hamparan luas kebun teh nan hijau menyejukkan mata adalah pemandangan yang kelak akan Anan rindukan, bersama semilir angin lembut yang mengalun menyapa indera perabanya, Anan dengan hati yang penuh kebahagian menikmati perjalanannya kali ini dengan tidak sabar.
"Berapa lama perjalanan kita Kang?" tanya Anan tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.
"Kalau tidak macet, kurang lebih empat jam."
"Empat jam, waktu yang tidak begitu lama ...," gumam Anan penuh harap.
"Tidurlah, bila kamu lelah ... nanti Akang bangunkan bila sudah tiba."
"Hehe ... aku tak mungkin bisa tidur Kang, ini perjalanan pertamaku keluar kampung," ujar Anan bersemangat.
Hasto hanya tersenyum melihat tingkah Anan, "Hmm ... baiklah, kalau begitu ... biar akang saja yang tidur," tutur Hasto, menyandarkan kepalanya dan terpejam, meninggalkan Ananditha dan kekagumannya.
Empat jam perjalanan ... tidak membuat seorang Ananditha terlihat kelelahan, masih dengan penuh semangat gadis belia tersebut melangkah, memasuki pintu gerbang yang berukuran sangat besar itu, tingginya mungkin lima kali dari tinggi badannya."Ini rumahnya Kang?" tanya Anan kagum. Pasalnya, di kampung tempat Anan tinggal tidak ada satupun yang memiliki rumah sebesar ini, meskioun dia seorang juragan kebun teh. Hasto mengangguk, "Iya, ini rumah majikan Ambu.""Lebih mirip istana, daripada rumah." "Berdoa, siapa tahu kamu besok punya rumah seperti ini Nan," ucap Hasto menggoda sepupunya itu"Mimpi!" seru Ananditha, mengundang gelak tawa Hasto dan dirinya bersamaan. Seorang berseragam security terlihat bersiaga tepat di dekat pos penjagaannya. "Pak Wardi!" panggil Hasto yang sepertinya sudah mengenal pria bertubuh tinggi dan gagah dengan kumis tebal. Seseorang bernama W
Malam kian larut, di sudut rumah besar tersebut terdapat sebuah jam besar berdiri kokoh, dengan suara dentangan yang membahana di seluruh ruangan pada waktu-waktu tertentu, seperti beberapa menit yang lalu. Ananditha masih terjaga, majikan tampan tempatnya akan mengabdi sejak hari ini belum juga terlihat batang hidung bangirnya yang sempat menggoda iman Ananditha siang tadi. Sedangkan, jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:10 waktu Indonesia bagian barat. Sebuah novel romance menjadi teman Anan, menanti kepulangan seorang Xavier malam ini. Seperti pesan bi Ratna sebelum kembali ke kampung halamannya bersama Hasto sore tadi. Anan harus berjaga hingga sang majikan masuk ke dalam kamarnya dan memastikan segala kebutuhannya telah terpenuhi, tanpa ada kurang. Sebab, ini adalah hari pertamanya bekerja di sini. Sebuah derap langkah sepatu yang bertumburan dengan lantai marmer samar-samar mulai mendekat, bersamaan dengan lampu ruang tamy
"Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya. Anan kembali membalikkan tubuhnya, mengangguk, seraya memegangi jantungnya yang nyaris terlepas dari tempatnya, sebab keterkejutan yang di dapati dari suara bariton yang tanoa aba-aba tersebut. "Baik Tuan, saya pamit." balas Anan sopan. Sesampainya di dalam kamar Ananditha tak dapat tidur, padahal kasur di sini lebih bagus dan empuk di bandingkan dengan tempat tidur yang biasa ia tempati sebagai peraduan mimpi di rumahnya. Kata-kata "besok aku akan aku akan berkenalan lebuh lanjut" yang Xavier ucapkan tadi, menjadi momok tersendiri baginya. Dalam bayangannya entah apa yang akan dilakukan oleh Tuan muda itu esok padanya. Kembali Anan merindukan sang ibu, malam ini meruoakan malam oertama baginya t
"Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan. Ananditha patuh, dengan penuh kehati-hatian dirinya duduk di sebuah sofa berwarna maroon berbahan bludru yang begitu lembut, empuk dan sangat nyaman. Dengan penuh perhatian Xavier memindai pelayan pribadinya ini. Sangat berbeda dengan sang bibi ya yang telah berusia lanjut, Xavier justru merasa kedepannya, bukan Anan yang akan melayaninya, melainkan Xavierlah yang akan melayani Anan. "Cantik!" batin Xavier dalam hati. Sebuah senyum smirk tercetak sempurna di bibir Xavier, melihat betapa kikuknya Anan yang seperti di penjara berada dalam ruangan kerja mewah tersebut. "Salam kenal, nona Ananditha," sapa Derryl ramah, penuh senyum. "Saya Derryl Antoni, sekretaris pribadi, Tuan muda Xavier," terang Derryl masih dengan senyum menawan. Ananditha menyambut uluran t
Hari ini tidak ada agenda Xavier makan siang di rumah seperti kemarin, bahkan menurut jadwal yang sekretaris Derryl sampaikan, Xavier akan kembali setelah makan malam. Sekitar pukul sepuluh malam. Dengan santai, Ananditha melakukan aktivitas membersihkan kamar Xavier, tanpa merubah tata letak barang-barang yang ada di sana. Hanya sekedar menjauhkan debu dan merapikan. Tanpa membuang selembarpun kertas yang ada di sana. Begitu pesannya. Sambil sesekali mengambil foto dengan beraneka gaya di beberapa sudut kamar Xavier. Ananditha begitu polos, tanpa menyadari CCTV yang terpasang di dalam kamar tersebut. Ananditha bersenandung dan menari gembira, gadis belia yang pada dasarnya memiliki sifat periang, ceria dan manja ini, begitu menikmati tugasnya hari ini, tanpa merasa terintimidasi oleh tatapan sang bos yang seringkali membuat bulu halus di tengkuknya meremang, ngeri. Di lain tempat, Xavier dengan senyu
"Apa? ... ti-tidur di sini?" beo Anan tidak menyangka Xavier akan memberikan perintah seperti itu. Xavier mengangguk dan tidak mengulang perintahnya, seraya berbalik arah kembali pada tujuan awalnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat peluh. Sementara itu Anan yang di tinggalkan Xavier begitu saja, merasa kikuk, bingung ... "Perintah macam apa ini?" batin Anan Butuh waktu sekian menit untuk Anan kembali pada kesadarannya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur menyampaikan pesan Tuan muda-nya. Setelahnya Anan tidak langsung kembali ke kamar Xavier seperti yang diperintahkansang majikn tersebut. Anan justru kembali ke kamarnya, berdiam di atas kasurnya. Memganggap perintah bos-nya kali ini hanyalah gurauan. Hingga tak selang beberapa menit kemudian ponsel Anan berdering, sebuah nama yang tidak asing muncul di layar bemda pipih tersebut dan memacu detak jantungngya hingga berdebar
"Anan, apa kau sudah tidur?" tanya Xavier yang telah keluar dari toilet. "Belum Tuan," jawab Anan yang masih berusaha menghitung domba untuk kembali terlelap. "Aku mendadak ingin makan mie instan," ujar Xavier santai. "Haiss ...sudah jam berapa ini?" batin Anan kesal. "Apa kau keberatan untuk menolongku membuatkannya?" tanya Xavier lagi dengan tatapan memelas. Anan beranjak malas dari posisi tidurnya, "Tidak Tuan, baiklah ... akan aku buatkan." Anan hendak melangkah keluar dari kamar Xavier, ketika tanpa dinduga Xavier juga ikut bangkit dari kasurnya ... berjalan mengikuti langkah kecil Anan di depannya. "Tuan, Anda mau kemana?" tanya Anan bingung. "Ingin melihatmu memasak mie instan." "Tuan, aku bisa melakukannya ... percayalah." Xavier tidak menghiraukan perkataan Anan, langkahnya tetap menyamai langkah Anan, hingga
"Kau berat sekali," keluh Xavier menyadarkan Anan dari posisinya yang sungguh memalukan. Anan terlonjak beberapa langkah ke belakang, "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud kurang ajar," ujar Anan takut sekaligus malu. Bahkan bila saja lampu ruangan itu terang benderang pastilah dapat melihat wajah Anan yang kini telah merona dengan semburat merah muda yang menggoda. Xavier tidak menghiraukan permohonan maaf Anan. "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier datar, seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. "Sudah pukul lima lebih empat puluh dua menit, Tuan." Tanpa basa-basi lagi, Xavier langsung beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan Anan yang masih diam mematung di sisi tempat tidur tersebut. "Turunlah, dan siapkan sarapanku," perintah Xavier dengan suara bariton yang mampu membuat kembali menarik kesadarannya, untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Anan dengan tergesa mengangguk, dan pergi