Malam kian larut, di sudut rumah besar tersebut terdapat sebuah jam besar berdiri kokoh, dengan suara dentangan yang membahana di seluruh ruangan pada waktu-waktu tertentu, seperti beberapa menit yang lalu.
Ananditha masih terjaga, majikan tampan tempatnya akan mengabdi sejak hari ini belum juga terlihat batang hidung bangirnya yang sempat menggoda iman Ananditha siang tadi. Sedangkan, jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:10 waktu Indonesia bagian barat.
Sebuah novel romance menjadi teman Anan, menanti kepulangan seorang Xavier malam ini. Seperti pesan bi Ratna sebelum kembali ke kampung halamannya bersama Hasto sore tadi. Anan harus berjaga hingga sang majikan masuk ke dalam kamarnya dan memastikan segala kebutuhannya telah terpenuhi, tanpa ada kurang. Sebab, ini adalah hari pertamanya bekerja di sini.
Sebuah derap langkah sepatu yang bertumburan dengan lantai marmer samar-samar mulai mendekat, bersamaan dengan lampu ruang tamy yang mendadak menyala terang-benderang, memperlihatkan setiap bagian dari sudut rumah besar ini.
Seorang pria yang sejak tadi Anan nantikan kehadirannya muncul dengan pakaian yang sudah berantakan dan wajah yang tak kalah kusut, bersama dengan seorang pria yang juga tampan, berparas khas pria Eropa dan wanita cantik, anggun nan sexy seperti keturunan Tionghoa, mengiringi langkahnya.
Sebuah lampu berwarna merah, mendadak menyala dengan suara layaknya bel yang menandakan seseorang ingin masuk ke dalam rumah. Bila di desanya, Ananditha akan menemukan suara seperti itu, ketika menekan tombol yang terletak di depan pintu rumah Juragan Dani yang kaya raya. Namun, berbeda di sini, bel tersebut justru terletak di dapur bersih yang tersambung drngan kamar para pelayan di rumah ini.
"Anan, apakah Tuan muda sudah kembali?" tanya Bi Surti kepala koki di rumah ini, dengan tergesa. "Aku ketiduran," terangnya lagi.
Anan kebingungan, dirinya belum pernah ada dalam situasi begini, hanya mampu mengangguk dan melihat segala kesibukkan yang bi Surti dan beberapa rekan pelayan lainnya yang juga berhamburan dari kamar mereka.
"Jangan diam saja Anan, ayo hampiri Tuan muda ... dan tanya apa maunya?" perintah bi Surti lagi yang menyadarkanku dari pikiran linglung.
Ananditha sekali lagi mengangguk, kegugupan kembali menyerang, sebuah hal yang paling Anan ingin hindari. Namun, adalaha sebuah kemustahilan, sebab Anan bekerja sebagai asisten pribadi Xavier, pria yang harus dengan sempurna ia layani dan penuhi kebutuhannya.
Langkah kecil itu mulai bergerak ke arah kumpulan pria dan wanita yang terlihat tengah berbincang santai, di iringi tawa menggoda sang wanita yang terlihat begitu manja pada majikannya. Bergelayut dan sesekali membelai surai hitam Xavier dengan penuh kelembutan. Ada cinta di binar mata yang sempat Anan perhatikan itu.
"Maaf, permisi Tuan ... Nona," sapa Ananditha lirih, ada getar dalam suara gadis desa itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Anan lagi, dengan suara yang nyaris menghilang.
Bella, si gadis Tionghoa adalah orang pertama yang mengalihkan pandangannya ke arah Ananditha yang berdiri menunduk di samping Xavier. "Siapa kamu?" tanya Bella ketus.
"Dia asisten pribadi baruku, menggantika bi Ratna," suara Xavier, menjawab pertanyaannya.
Anan sedikit lega, karena tidak harus menjawab wanita yang terlihat memindainya dengan tatapan mengintimidasi.
"Terlihat masih sangat muda?" ujar Bella lagi, merasa belum puas menginterview Anan.
"Usianya baru sembilan belas tahun, baru lulus sekolah menengah atas."
"Apa kamu tidak punya mulut, sehingga selalu Xavier yang menjawab pertanyaanku padamu," kesal Bella.
"Bella, ini sudah malam ... kembalilah ke apartemenmu, Derryl akan mengantar," sekali lagi Xavier membalas ucapan Bella pada Anin.
"Derryl, tolong antarkan Bella pulang ... berhati-hatilah," perintah Xavier lugas seraya beranjak dari tempat duduknya.
"Dan kamu, buatkan kopiku, antar ke kamar," perintah pertama Xavier pada Anan hari ini. Membuatnya canggung, sekaligus takut. Takut bila dirinya tidak mampu melakukan tugas pertama ini dengan sempurna seperti yang diajarakan bi Ratna, seharian tadi.
"Baik, Tuan ...." balas Anan pelan. Rasanya degub jantingnya kita bergerak dengan begitu cepat. Membuatnya terasa ngilu.
"Ananditha!" panggil Xavier lagi, membuat degub jantung Anan berhenti sejenak.
"Iya Tuan," sahut Ananditha dengan suara bergetar.
"Katakan kepada Bi Surti, aku sudah makan ... perintahkan pada mereka untuk istirahat."
Ada kelegaan di sudut hati Anan mendengar perintah Xavier barusan, nyatanya majikannya itu tidak sedang berencana menegurnya.
Anan mengangguk, "Baik Tuan." sahut Anan seraya berlalu meninggalkan Xavier yang masih berdiri di tempatnya, menyiapkan secangkir kopi pesanannya, dan segera mengantarkan minuman itu ke dalam kamar sesuai permintaan sang Tuan muda, hingga ia dapat beristirahat dengan tenang malam ini.
Tanpa Anan ketahui, Xavier masih terus memandang kepergian Anan dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
*****Secangkir kopi telah terhidang di meja bundar yang terletak di balkon kamar Tuan muda. Anan masih dengan setia berdiri di sana memandang langit malam kota yang kali ini tanpa bintang, sementara Xavier tengah membersihkan diri di dalam kamar mandi sejak beberapa menit yang lalu.
Satu hal yang Anan sadari bahwa langit malam di kota tidak lebih indah dari langit di desanya. Nyatanya, pendar cahaya lampu kota tidak mampu menggantikan kerlap-kerlip cahaya bintang yang sempurna menghiasi langir bersama rembulan dan semilir angin malam yang Anan sering nikmati di teras rumahnya, bersama sang ibu dengan secangkir seduhan teh murni, hasil dari perkebunan milik warga sekitar dan kudapan yang dibuat oleh tangannya sendiri.
Oh, sungguh baru beberapa waktu saja meninggalkan rumah, Ananditha sudah merindukan suasana desa dan ibunya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" suara bariton milik Xavier dengan tiba-tiba menegur indera pendengaran Anan.
Anan kembali tertunduk, tidak berani menatap manik gelap milik Xavier yang tengah memindainya dari ujung rambut, hingga ujung kuku kakinya.
"Apa saja yang sudah diajarkan bi Ratna padamu, sebelum dia pergi?" tanya Xavier datar seraya terus melangkah mendekati Ananditha. Tidak! Lebih tepatnya mendekati kopi yang Anan letakkan di samping, tempat Anan berdiri menunduk, mematung, hening bak manekin tak bernyawa.
"Apa diam, termasuk dalam bahan ajarnya?" sinis Xavier kembali melontarkan pertanyaannya.
Ananditha menggeleng cepat. Menarik nafas panjang yangvterasa begitu berat mencapai rongga paru-parunya, menghembuskannya perlahan, tanpa sedikitpun suara helaan yang mungkin saja akan di dengar Xavier.
"Ma-af Tuan, bi Ratna telah mengajarkan semua tugasnya kepada saya," jawab Ananditha ragu.
Xavier kembalin memindai Anan, dengan tatapan menusuk. "Lantas, mengapa kamu masih berdiri di sini?" tanyanya Xavier semakin ketus.
Pasalnya, bi Ratna sore tadi mengatakan untuk tidak meninggalkan pria tampan ini sebelum ia sendiri yang meminta dan menyuruh Anan pergi. Lalu mengapa dia marah? "Dasar aneh!" batin Anan menggerutu.
"Jangan coba-coba mengataiku di dalam hatimu," tegur Xavier seolah tahu isi hati Anan.
Membuat Anan tercengang, lidahnya kembali kelu, otaknya mulai berpikir ... mungkinkan tuan mudanya ini seorang cenayang?.
"Jangan gunakan ekspresi wajah kekagumanmu seperti itu, aku bahkan bisa tahu, apa yang menjadi isi otak kecilmu itu hanya dengan melihat caramu bernafas," cibir Xavier.
Seketika Anan mengangguk paham, dirinya tidak ingin terlibat percakapan lebih lanjut lagi dengan pria tampan nan aneh ini lebih lama lagi, dan segera ingin beranjak dari hadapannya.
"Well, kembali lah ke kamarmu sekarang, besok jam emoat pagi kamu harus sudah standby menyiapkan segala tugasmu." ucap Xavier seraya mengangkat cangkir kopinya untuk merasakan racikan pertama asisten barunya ini. "Besok aku akan berkenalan denganmu lebih lanjut," pungkasnya.
Ananditha mengangguk paham, kelegaan kembali di miliki degub jantungnya yang sedari bekerja ekstra menghadapi si majikan yang sungguh luar biasa menegangkan.
"Ananditha!" panggil Xavier lagi. Seketika detak jantung Anan, berhenti ... merosot ke bawah mata kakinya. Terkejut dan bingung menjadi satu dalam kegelisahan hati yang sedari tadi Anan rasakan.
"Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya.
"Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya. Anan kembali membalikkan tubuhnya, mengangguk, seraya memegangi jantungnya yang nyaris terlepas dari tempatnya, sebab keterkejutan yang di dapati dari suara bariton yang tanoa aba-aba tersebut. "Baik Tuan, saya pamit." balas Anan sopan. Sesampainya di dalam kamar Ananditha tak dapat tidur, padahal kasur di sini lebih bagus dan empuk di bandingkan dengan tempat tidur yang biasa ia tempati sebagai peraduan mimpi di rumahnya. Kata-kata "besok aku akan aku akan berkenalan lebuh lanjut" yang Xavier ucapkan tadi, menjadi momok tersendiri baginya. Dalam bayangannya entah apa yang akan dilakukan oleh Tuan muda itu esok padanya. Kembali Anan merindukan sang ibu, malam ini meruoakan malam oertama baginya t
"Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan. Ananditha patuh, dengan penuh kehati-hatian dirinya duduk di sebuah sofa berwarna maroon berbahan bludru yang begitu lembut, empuk dan sangat nyaman. Dengan penuh perhatian Xavier memindai pelayan pribadinya ini. Sangat berbeda dengan sang bibi ya yang telah berusia lanjut, Xavier justru merasa kedepannya, bukan Anan yang akan melayaninya, melainkan Xavierlah yang akan melayani Anan. "Cantik!" batin Xavier dalam hati. Sebuah senyum smirk tercetak sempurna di bibir Xavier, melihat betapa kikuknya Anan yang seperti di penjara berada dalam ruangan kerja mewah tersebut. "Salam kenal, nona Ananditha," sapa Derryl ramah, penuh senyum. "Saya Derryl Antoni, sekretaris pribadi, Tuan muda Xavier," terang Derryl masih dengan senyum menawan. Ananditha menyambut uluran t
Hari ini tidak ada agenda Xavier makan siang di rumah seperti kemarin, bahkan menurut jadwal yang sekretaris Derryl sampaikan, Xavier akan kembali setelah makan malam. Sekitar pukul sepuluh malam. Dengan santai, Ananditha melakukan aktivitas membersihkan kamar Xavier, tanpa merubah tata letak barang-barang yang ada di sana. Hanya sekedar menjauhkan debu dan merapikan. Tanpa membuang selembarpun kertas yang ada di sana. Begitu pesannya. Sambil sesekali mengambil foto dengan beraneka gaya di beberapa sudut kamar Xavier. Ananditha begitu polos, tanpa menyadari CCTV yang terpasang di dalam kamar tersebut. Ananditha bersenandung dan menari gembira, gadis belia yang pada dasarnya memiliki sifat periang, ceria dan manja ini, begitu menikmati tugasnya hari ini, tanpa merasa terintimidasi oleh tatapan sang bos yang seringkali membuat bulu halus di tengkuknya meremang, ngeri. Di lain tempat, Xavier dengan senyu
"Apa? ... ti-tidur di sini?" beo Anan tidak menyangka Xavier akan memberikan perintah seperti itu. Xavier mengangguk dan tidak mengulang perintahnya, seraya berbalik arah kembali pada tujuan awalnya untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat peluh. Sementara itu Anan yang di tinggalkan Xavier begitu saja, merasa kikuk, bingung ... "Perintah macam apa ini?" batin Anan Butuh waktu sekian menit untuk Anan kembali pada kesadarannya. Melangkah keluar kamar, menuju dapur menyampaikan pesan Tuan muda-nya. Setelahnya Anan tidak langsung kembali ke kamar Xavier seperti yang diperintahkansang majikn tersebut. Anan justru kembali ke kamarnya, berdiam di atas kasurnya. Memganggap perintah bos-nya kali ini hanyalah gurauan. Hingga tak selang beberapa menit kemudian ponsel Anan berdering, sebuah nama yang tidak asing muncul di layar bemda pipih tersebut dan memacu detak jantungngya hingga berdebar
"Anan, apa kau sudah tidur?" tanya Xavier yang telah keluar dari toilet. "Belum Tuan," jawab Anan yang masih berusaha menghitung domba untuk kembali terlelap. "Aku mendadak ingin makan mie instan," ujar Xavier santai. "Haiss ...sudah jam berapa ini?" batin Anan kesal. "Apa kau keberatan untuk menolongku membuatkannya?" tanya Xavier lagi dengan tatapan memelas. Anan beranjak malas dari posisi tidurnya, "Tidak Tuan, baiklah ... akan aku buatkan." Anan hendak melangkah keluar dari kamar Xavier, ketika tanpa dinduga Xavier juga ikut bangkit dari kasurnya ... berjalan mengikuti langkah kecil Anan di depannya. "Tuan, Anda mau kemana?" tanya Anan bingung. "Ingin melihatmu memasak mie instan." "Tuan, aku bisa melakukannya ... percayalah." Xavier tidak menghiraukan perkataan Anan, langkahnya tetap menyamai langkah Anan, hingga
"Kau berat sekali," keluh Xavier menyadarkan Anan dari posisinya yang sungguh memalukan. Anan terlonjak beberapa langkah ke belakang, "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud kurang ajar," ujar Anan takut sekaligus malu. Bahkan bila saja lampu ruangan itu terang benderang pastilah dapat melihat wajah Anan yang kini telah merona dengan semburat merah muda yang menggoda. Xavier tidak menghiraukan permohonan maaf Anan. "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier datar, seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. "Sudah pukul lima lebih empat puluh dua menit, Tuan." Tanpa basa-basi lagi, Xavier langsung beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan Anan yang masih diam mematung di sisi tempat tidur tersebut. "Turunlah, dan siapkan sarapanku," perintah Xavier dengan suara bariton yang mampu membuat kembali menarik kesadarannya, untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Anan dengan tergesa mengangguk, dan pergi
"Aku melihat Bella semakin memperlihatkan kebodohannya akhir-akhir ini," ujar Xavier mengundang senyum miris Derryl. "Mengapa dia tidak berpikir lebih cerdik, padahal sudah mengenalku sejak taman kanak-kanak." "Mungkin Nona Bella sudah kehabisan akal," balas Derryl. Xavier mengedikkan bahunya, "Sepertinya kita tidak dapat berbicara masalah ini di kantor ... batalkan saja pertemuan kita dengan Greatfull, bila bukan Tommy yang menghampiriku," tegas Xavier memberikan keputusan. Derryl mengangguk, "Baik, Tuan." "Bisakah kita makan siang di rumah, dan melanjutkan pekerjaanku dari dalam kamar saja" tanya Xavier memelas. "Maaf Tuan, sepertinya itu tidak mungkin, sebab pukul empat sore nanti, Anda harus bertemu dengan klien kita dari Spectra Hotel and Resort," terang Derryl dengan wajah penuh penyesalan. Xavier memijat pangkal hidungnya. "Apa tidak bisa dipercepat saja
Rachel, datang dengan tergesa setelah mendapat panggilan dari Derryl. "Siapa yang sakit?" tanya Isabella tidak kalah panik, napasnya tersengal seperti orang yang baru saja usai mengikuti lomba lari marathon. "Nona Anan," jawab Derryl datar. "Anan? Siapa?" langkah Rachel terhenti, sesaat memandang Derryl dengan tatapan serius. "Pelayan pribadi tuan muda yanga baru." "Bi Ratna?" "Pensiun, dan Anan adalah keponakannya," terang Derryl. Rachel mengangguk dan kembali melangkahkan kaki menuju kamar Xavier. Tanpa mengetuk pintu, Rache yang merupakan kakak kandung Daniel sahabat sekaligus dokter pribadi Xavier, tanpa sungkan masuk ke dalam kamar tuan muda tersebut, tanpa mengetuk pintu. Bola mata Rachel membulat dengan tangan kanan menutup mulutnya yang tanpa sengaja bersuara melihat adegan yang sungguh di luar dugaannya. Ya, Rachel melihat Xavier dan Ananditha yang