Semakin hari Kevan serta Anton semakin dekat saja, bahkan pria itu menggunakan putranya sebagai alat agar bisa menerima pria itu lagi. Namun, orang tua Yuliani sudah tidak menyetujui. Mereka tidak yakin kalau pria tampan akan benar-benar berubah. Pun Yuliani juga merasa bahwa mantan suaminya tidak akan pernah berubah. Jadi, dia dilema dengan semua yang terjadi dalam hidupnya."Ayah menyarankan kamu untuk menikah dengan Reza agar tidak dikejar terus oleh Anton. Lagi pula, sampai detik ini Reza masih mencintaimu dan berharap kamu membalas cintanya, Yul." Mark memberikan nasihat."Dari mana Ayah tahu semuanya? Padahal sudah lama dia tidak pernah ke sini lagi sejak aku memintanya untuk tidak menganggu kehidupanku lagi." Yuliani heran pada Mark yang masih tetap pada pendiriannya. "Sebenarnya, dari awal Ayah bekerja dengannya, Yul. Maaf, karena sampai detik ini Ayah tidak pernah mengatakan pada kalian," aku Mark menundukkan kepala merasa bersalah.Dina terkejut mendengar pengakuan suaminya,
"Katakan, Yuliani! Siapa orang yang sudah merenggut mahkotamu? Merenggut kesucian yang selama ini dijaga dengan baik-baik?" cecar Mark. Wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa diredam. Puteri yang selama ini dibanggakan sudah mengecewakannya.Yuliani tidak berani menjawab, bahkan sekedar mengangkat kepala juga enggan. Dia takut pada Mark karena menyadari semua adalah salahnya."Ayo jawab, Yuliani? Kenapa kamu diam saja! Siapa yang sudah menodai kamu? Hah?" hardik Mark. Pria itu kehilangan kesabaran karena harus dipermalukan oleh puteri semata wayangnya. Mulai berteriak untuk menghilangkan pikiran yang mulai stres. Kemudian melempar vas bunga ke tembok. Yuliani kaget karena tidak pernah sang Ayah semarah itu padanya."Ayah, tenang. Kendalikan amarahnya," kata Dina lembut. Dari tadi sang Ibu hanya diam, tidak tahu harus berbicara apa. Wanita itu juga ikutan syok dengan apa yang menimpa keluarganya. Bagaimana tidak? Yuliani belum menikah, tapi sudah ditemukan test pack di dalam k
Sepasang suami istri kini tengah duduk di tepi ranjang, saling terdiam dan tidak ada yang berbicara. Hanya ada keheningan serta tangisan dari wanita yang saat ini tengah memegang pipinya yang memar. Alih-alih ingin ke kamar sang Anak diurungkan karena pertengkaran yang terjadi."Maafkan Ayah, Bu." Mark berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal itu, tapi nyatanya cuma bisa terlintas dalam batinnya saja. Pun Dina yang ingin meluapkan isi hati, namun justru tertahan di tenggorokannya. Lain hal dengan Yuliani yang saat ini tengah gelisah melihat kedua orang tuanya bertengkar karena kesalahan yang diperbuat."Aku memang jahat, hingga membuat ayah dan ibu bertengkar." Yuliani bermonolog. Dia memang melihat secara langsung ketika sang Ayah memarahi ibunya. Dari lubang kecil di pintu, adegan itu terlihat jelas di sorot matanya. Yuliani merebahkan tubuh, mulai melihat ke langit-langit kamar. Kembali ponsel yang ada di atas meja samping tempat tidur diraihnya, mulai berusaha untuk
Yuliani berhasil keluar dari rumah untuk menemui kekasih hati yang sedari tadi memberikan kabar pasti. Tidak lupa dia membawa alat tes kehamilan sebagai bukti dari apa yang sudah diucapkan. Dia dan kekasihnya sudah janjian untuk bertemu di taman kota yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Yuliani. Dengan penampilan seadanya, dia akan menemui pria yang sudah menghamilinya. Wajahnya terlihat pucat karena tidak memakai pewarna bibir seperti biasa. Dia buru-buru pergi agar tidak ketahuan oleh Dina.Bermodalkan uang yang pas untuk memesan ojek online sebelumnya, Yuliani berangkat ke taman itu. Berharap ada jalan dari masalah yang saat ini dihadapinya. "Bang, lebih cepat!" seru Yuliani ketika duduk di jok sepeda motor bagian belakang. Dia sengaja meminta cepat agar bisa menunggu pria yang dicintai serta menenangkan diri karena pikirannya sedang tidak menentu. Segala macam pikiran negatif terbersit begitu saja, meskipun pikiran positif sesekali ada dalam benaknya."Iya, Mbak. Ini saja suda
Yuliani berusaha untuk menguatkan diri, tidak mau berhenti begitu saja. Bagaimanapun, dia harus mendapatkan pertanggung jawaban atas janin yang saat ini ada dalam perutnya."Kamu gak boleh lemah seperti ini, Yuliani! Kamu harus kuat, Anton harus menikah denganmu, anak ini harus punya ayah saat lahir nanti," monolog Yuliani sembari memegang perutnya yang masih rata. Air matanya segera dihapus, lalu berdiri dan mengejar pria yang meninggalkan seorang diri."Anton! Tunggu!" teriak Yuliani sehingga langkah kaki Anton berhenti.Pria itu menoleh ke arah wanita yang telah kusut wajahnya."Ada apa lagi?" tanya Anton kesal. Yuliani mendekati Anton yang berdiri dengan jarak 10 meter darinya."Aku mau kamu bertanggung jawab atas janin yang ada dalam kandunganku. Aku tidak mungkin melahirkan anak ini tanpa seorang ayah." Yuliani menyahut dengan nada pelan. Dia tidak ingin obrolannya terdengar oleh orang sekitar taman."Kalau aku gak mau gimana? Aku gak yakin itu darah dagingku!" cetus Anton meng
Yuliani dan Anton menoleh ke sumber suara. Mark dengan cepat melangkahkan kaki dengan amarah yang semakin tidak bisa terkendali."Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga, Anton!" pinta Yuliani panik, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kekasih yang sudah berjanji menikahinya.Anton menganggukkan kepala, lalu naik ke atas sepeda motornya. Perasaan gugup dan takut bercampur jadi satu, hingga sulit untuknya menghidupkan sepeda motornya."Jangan kabur kamu!" hardik Mark bagian belakang sepeda motor Anton."Sudah, Ayah. Biarkan dia pergi, jangan sakiti dia!" cegah Yuliani. Wanita itu tidak sendiri, sebab Dina juga mendukung serta membantu menarik tangan Mark."Tenangkan hatimu dulu, Ayah. Jangan bersikap gegabah. Gak enak juga dilihat tetangga," kata Dina mengingatkan kalau aib keluarganya jangan sampai diketahui orang lain. Anton berhasil kabur ketika Mark mulai lengah. "Kenapa kalian berdua mencegah Ayah? Harusnya pria tidak tahu diri itu mendapatkan pelajaran atas a
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, Yuliani sudah tidak sabar menyambut Anton bersama dengan keluarganya. Setelah mendapatkan pesan yang membahagiakan, wanita itu semakin semangat untuk menjalani hari. Membayangkan hidup berbahagia dengan pria yang dicintai."Kamu terlihat cantik sekali, Yuliani." Dina memuji Yuliani setelah merias diri."Terima kasih, Bu. Aku bahagia karena tidak menyangka kalau keluarga Anton merestui dan meminta untuk melangsungkan pernikahan sekarang juga," ujar Yuliani terharu. Pesan yang diterima kemarin selalu diingat, tidak dihapus bahkan semalam dibaca berulang-ulang ketika sulit memejamkan mata."Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," kata Dina memeluk tubuh Yuliani. "Aamiin, terima kasih do'anya Bu." Yuliani membalas pelukan Dina.Melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari netra Yuliani membuat Dina juga merasakan kebahagiaan yang sama. Akhirnya, putri kesayangannya menikah juga dan akan menjalani bahtera rumah tangga.Semua sudah dipersiapkan dengan seb
"Kamu ke mana sih, Anton. Kenapa nomornya tidak aktif?" pikir Yuliani masih berusaha untuk menghubungi Anton. "Bagaimana? Apa sudah ada jawaban darinya?" tanya Dina tampak gelisah. Firasatnya sudah mengatakan yang tidak-tidak. Akan tetapi, dia masih terus berusaha untuk berpikir positif."Nomornya sudah tidak aktif, Bu." Yuliani berbicara terbata-bata."Ibu sudah menduga dari awal, pria itu pasti gak mau bertanggung jawab." Dina mulai meyakini firasatnya."Gak mungkin, Bu. Dia sendiri yang sudah berjanji untuk menikahi ku. Mungkin saja kehabisan baterai, atau kehilangan signal. Bisa saja seperti itu 'kan, Bu?" cetus Yuliani berusaha meyakinkan diri sendiri juga."Sudah, Yuliani. Jangan berharap lagi sama pria itu, dia mungkin tidak akan datang. Jangan buang-buang waktu lagi. Di luar para tamu sudah menunggu. Alasan apa yang akan kita katakan pada mereka? Ibu malu, Yuliani!" hardik Dina. Wanita yang semula selalu sabar, kini tidak tahan juga dengan permasalahan yang terjadi.Yuliani m