Pandangannya semakin berputar dan Yasmin akhirnya pingsan kembali. Jaja dengan cepat menutup tubuh seksi Yasmin dengan handuk, lalu mengangkatnya dan menaruhnya di kursi sender rotan. Bik Narsih baru saja keluar dari dalam rumah, sambil memegang minyak kayu putih, lalu memberikannya pada Jaja.Dengan hati-hati, Jaja mengelap wajah Yasmin dengan handuk kering, jangan kalian tanyakan bagaimana hatinya saat ini? Antara senang, haru dan horor. Bahkan debar jantungnya juga seakan berlomba, saat menatap wajah lelap basah Yasmin.Setelah dipastikan kering, Jaja mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan leher Yasmin. Ia juga mengoleskannya pada telapak kaki Yasmin, dan kedua telapak tangan Yasmin agar hangat. Bagai ada sengatan listrik, saat kedua telapak tangannya bersentuhan dengan telapak tangan Yasmin. Dia tidak yakin, akan bisa tidur malam ini. Ia pasti akan selalu mengingat momen bersejarah seperti ini."Wah, Mas Jaja basah lagi ya. Demen banget sih, Mas. Kalau ke sini basah-basahan
"Udah yuk! Bang Jaja udah mau pulang." Seru bik Narsih sambil menarik pelan tangan Reza yang masih memegang erat lengan Jaja."Reza mau main sama Abang Jaja. Reza ga punya teman, hiks...hiks..." Reza menangis sedih, membuat Jaja iba."Ya sudah, tapi sebentar saja ya!" Jaja mengangguk, lalu mengusap air mata Reza."Reza boleh peluk, abang Jaja ga?"Jaja mengangguk.Mereka berpelukan. Bahkan Reza memeluk Jaja sangat erat."Gendong, Bang!" Pinta Reza sambil menyeringai. Dengan sigap, Jaja menggendong Reza. Anak lelaki itu tertawa dengan gembira. Bik Narsih, ikut terharu. Reza benar-benar merindukan sosok ayah di dalam rumah ini.Tanpa mereka sadari, Yasmin memperhatikan dari balkon kamarnya. Senyum tipisnya terukir, saat melihat tawa renyah anaknya yang begitu gembira digendong oleh Jaja. Air matanya juga ikut membasahi pipi, apakah ia harus memilih salah satu dari sekian lelaki yang mendekatinya saat ini?Sepertinya ia tidak boleh egois. Ia harus mengesampingkan kebahagiaannya, dan meng
Baru menggoreng peyek seperempat, Narsih sudah disuruh untuk menemani Reza bermain di kamar. Karena Yasmin, Jaja dan juga papa Yasmin, Pak Hendroyas Miharja, sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak tegas dan terlihat marah. Jaja berkali-kali menelan salivanya, betapa mencekamnya suasana di dalam ruang tamu, rumah besar Yasmin."Jadi kamu ada hubungan apa dengan anak saya?" Tanya Pak Miharja, pada Jaja yang masih menunduk."Dia mantan karyawan neng, Pah," sahut Yasmin cepat."Ada perlu apa kamu ada di kamar cucu saya?""Kebetulan Reza senang bermain dengan Jaja, Pah," sahut Yasmin lagi, menjawab pertanyaan papanya.Pak Miharja memutar bola mata malasnya, menoleh pada Yasmin yang sedari tadi menjawab pertanyaan, yang ia ajukan pada pemuda yang sedang menunduk ini."Papa tanya pemuda ini, Neng. Bukan tanya, Neng," ujar Pak Miharja dengan tegas pada puterinya. Jaja kembali menelan salivanya, kali ini dadanya berdebar begitu cepat, membuat rasa mulas di perutnya tiba-tiba datang."Sa
Pak Miharja masih memerhatikan Jaja, seperti pernah melihatnya tapi dimana ya."Ya sudah, ayo ke depan," ujar Yasmin sambil berjalan ke arah teras. Jaja pun pamit pada pak Miharja dan meminta maaf atas kelancangannya, masuk ke dalam kamar Reza."Ada apa?" tanya Yasmin ketus, ia tidak mau berlama-lama menatap Jaja, bisa naksir beneran nanti."Saya menghilangkan laptop teman saya, Bu. Saya boleh pinjam uang tidak, Bu. Lima juta.""Apa? kayaknya ga bisa deh!" Yasmin mengibaskan tangannya, lalu berbalik meninggalkan Jaja"Bu, tunggu!" Jaja menahan lengan Yasmin. Ia bagai tersengat listrik, saat telapak tangan Jaja menyentuh lengan mulusnya. Jaja yang tersadar, akhirnya melepaskan lengan Yasmin."Maaf, Bu. Kalau saya lancang, tapi saya memang butuh, Bu. Saya rela disuruh apa saja sama Ibu. Saya akan bekerja dua bulan tanpa Ibu gaji pun tak apa."Yasmin mengerucutkan bibirnya, keningnya sesekali tertarik keatas. Memandang wajah jaja yang mengiba, membuat Yasmin tidak tega."Kalau kamu bisa
"Ya udah, gue ganti baju dulu kalau gitu.""Ya, tidak sekarang, Mah. Besok." Jaja terkekeh melihat kelakuan ibunya yang sangat menggelikan. Bu Ambar tidak mengindakan ucapan Jaja, ia tetap berjalan ke ruang tengah, tepat dimana, lemari pakaiannya berada. Dengan cepat, bu Ambar mengganti celana pendeknya dengan celana kulot panjang. Lalu mengambil tas kecilnya yang disangkutkan di paku atas kasur."Ayo!" Bu Ambar menarik tangan Jaja. Cukup kuat, hingga mau tidak mau Jaja ikut berdiri bersama ibunya."Lha mau ke mana, Mah? Besok kata Jaja juga, bukan sekarang.""Ayo kita ke Grogol! pusat re...re..ba..reba..rreeboisasi..sst... apaan sih ya? Eh...iya, pusat rehabilitasi orang gila!"Jaja kaget, bahkan mulutnya setengah terbuka mendengar ucapan ibunya barusan."Lu perlu gue periksain, ayo!" Lagi-lagi Bu Ambar menarik tangan Jaja untuk keluar rumah. Namun Jaja menahan tubuhnya dengan kuat."Siapa yang gila, Mah?Jaja gak gila." Jaja menggeleng tidak paham, apa maksud ibunya sekarang?Plaakk
Tapi, jarinya sih kayaknya kesenggol pasti, Bu. Kecolek-colek dikitlah," lanjut bik Narsih lagi sambil menyeringai. Membuat Yasmin salah tingkah, bahkan Yasmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Tapi sebentarkan?""Iya, trus Ibu masih belum sadar. Makanya bibir ibu langsung dicium sama Mas Jaja. Disedot gitu, Bu. Baru Ibu...""Sudah cukup, saya mau istirahat!" Sela Yasmin cepat, wajahnya sudah merona malu. Saat mengetahui bahwa bibirnya dicium oleh Jaja.Setelah Narsih keluar dari kamarya, Yasmin kemudian mematikan lampu dan naik kembali ke atas ranjang. Ia mencoba memejamkan mata, namun tidak bisa. Pelan Yasmin meraba bibirnya, atas dan bawah ia sentuh lembut. Wajahnya kembali merona malu, bahkan ia menutup wajahnya dengan guling."Dasar jablay!" Yasmin memaki dirinya sendiri. Malam ini sepertinya ia akan kembali susah tidur gara-gara Jaja.Pukul empat shubuh, Jaja sudah membantu ibunya bersiap-siap. Pagi ini bu Ambar memutuskan untuk tidak jualan. Namun tetap membuat nasi uduk
"Apa??" pekik Yasmin kaget. Bahkan matanya ikut melotot dan mulutnya setengah terbuka. Yasmin masih belum paham maksud dari ucapan Bu Ambar."Siapa?" tanya Yasmin pelan. Matanya masih memandang bu Ambar dan Jaja bergantian. Jaja masih menyembunyikan wajahnya di balik punggung Reza."Calon bini lu aga lemot ya, Ja?" bisik Bu Ambar sangat pelan, sehingga hanya Jaja yang mampu mendengarnya. Jaja yang tidak terima dengan ucapan ibunya, hanya melotot memberi kode."Maksud Ibu, Jaja mau melamar saya menjadi istrinya begitu?" tanya Yasmin lagi memastikan telinganya tidak salah mendengar."Tuh, Ja. Sekarang telinganya malah kaga denger. Masa nanya lagi, kan tadi gue udah bilang," bisik Bu Ambar lagi, kemudian melemparkan senyum pada Yasmin sambil mengangguk."Hahahahahaha..." Yasmin terbahak. Wanita itu menggelengkan kepala dengan cepat."Ja, dia malah ketawa, Ja. Mamah serem," bisik Bu Ambar lagi di telinga Jaja. Jaja melotot kembali pada ibunya, sambil menekan jari telunjuknya ke bibir deng
"Reza pinter banget sih," puji bu Ambar sambil mengusap pucuk kepala Reza. Anak kecil itu menyeringai kepada bu Ambar yang duduk persis di belakangnya.Tidak lama kemudian, Jaja sampai di depan gang rumahnya. Bersiap menurunkan ibunya tepat di samping toko bangunan yang kebetulan belum buka."Non Yasmin terimakasih atas tumpangannya. Kapan-kapan main ya ke rumah saya," ujar bu Ambar sambil menunduk hormat."Sama-sama, Bu. Terimakasih atas sarapannya," sahut Yasmin yang diikuti senyuman hangat pada Bu Ambar."Bae-bae lu bawa mobil mahal nih, Ja. Jangan sampai lecet! nyawa lu, taruhannya," ujar bu Ambar sambil menepuk pundak anak lelakinya. Jaja mengangguk paham. Kemudian bu Ambar juga pamit pada Reza, bahkan anak kecil itu mencium punggung tangan bu Ambar dengan penuh hormat.Jaja melajukan mobilnya kembali, kali ini menuju sekolah Reza. Sepanjang perjalanan Reza selalu saja berceloteh riang pada Jaja dan juga ibunya. Sangat jelas terlihat Reza begitu semangat pagi ini."Amih, Abang pu