Share

Wanita Jalang

Sudah cukup lama mereka berdua terdiam. Lastri memutuskan untuk pergi dan meninggalkan Amisha dengan pria itu. Mereka butuh waktu untuk menyelesaikan masalah yang sudah terjadi. Ternyata yang membuat keduanya terkejut adalah kedatangan lelaki itu.

Salman, salah satu senior Amisha di kampus. Mereka baru saja menjalin hubungan satu bulan yang lalu. Pagi-pagi sekali, Amisha memutuskan hubungan mereka lewat pesan singkat tanpa memberitahu apa alasannya.

"Apa kamu akan diam saja?" Salman memilih untuk memecah keheningan Dia ingin kejelasan dari keputusan Amisha yang tiba-tiba.

"Maaf." Hanya satu kata yang keluar dari mulut Amisha. Dia semakin menundukkan wajahnya dan menangis.

"Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Sha!" Salman berlalu. Dia pergi dengan membawa amarahnya.

Salman pria yang baik, karena itu pula Amisha mau menerimanya. Hubungan mereka baru satu bulan berjalan, tetapi dia terpaksa mengakhirinya karena tidak mau menyakiti Salman terlalu dalam.

Amisha masih merahasiakan pernikahannya dengan Anggara. Hanya kakaknya dan Lastri yang tahu. Dia belum siap memberitahu Salman. Entah apa yang akan dipikirkan pria itu padanya.

Jam sebelas malam, Amisha baru kembali. Dia masuk dan mengabaikan Anggara yang tengah duduk di depan televisi. Bentakan Anggara menghentikan langkah wanita itu. Amisha terdiam dan menatap Anggara dengan wajah datar.

"Baru pulang kau, Wanita Jalang?" Anggara bicara dengan mata yang fokus ke layar televisi. Tangan kanannya sibuk memutar remot di atas meja yang ada di sampingnya.

"Kenapa? Kamu marah dengan panggilan itu?" Sekilas Anggara menatap Amisha yang masih terdiam.

"Panggilan apa yang pantas untuk wanita yang berdiam diri dalam satu kamar di hotel dengan pria asing. Apalagi pulang selarut ini. Kuliahmu berakhir jam tiga sore, sementara sekarang sudah jam sebelas malam."

Mendapat perkataan pedas dari Anggara, Amisha masih diam. Dia bahkan mengabaikan pria itu dan masuk ke dalam kamar.

"Hei! Itu kamarku. Kalau mau tidur, cari tempat sendiri!" Amisha menghentikan langkahnya. Tidak jauh dari pintu kamar, ada tas ransel miliknya. Tas itu dipakainya untuk membawa beberapa potong pakaian yang dibawa dari rumah kakaknya.

Tanpa kata, Amisha meraih tas itu dan membawanya. Dia urung masuk ke kamar. Amisha ingat, di dekat dapur ada ruangan berukuran dua kali satu koma lima meter. Cukup untuknya tidur. Hanya saja, ruangan kecil itu tidak memiliki pintu.

"Bawa juga ini!" Anggara melempar perlengkapan kuliah wanita itu. Masih dengan mode diam, Amisha membereskan semua barang yang berserakan.

Amisha tidak berselera melayani Anggara. Bisa saja dia seperti kemarin, tetapi hari ini terlalu berat untuknya. Dia butuh istirahat.

Di ruang kecil itu hanya ada satu tikar yang cukup tipis. Amisha menjadikannya alas untuk tidur. Kemewahan yang didapatkan dari kakaknya, kini tidak bisa lagi Amisha nikmati. Bahkan kakaknya belum mau menerima telepon darinya.

"Semoga aku bisa menyelamatkan pernikahan Kak Dito. Teruntuk diriku, semoga aku bisa melewati semuanya," gumam Amisha sebelum merebahkan tubuhnya. Sebelum memejamkan matanya, Amisha tidak pernah lupa membaca doa.

Menjelang dini hari, Anggara terbangun. Dia merasakan tenggorokannya kering. Bergegas dia ke dapur. Saat melewati ruangan yang dipakai Amisha, dia sempatkan untuk melirik. Wanita itu tertidur dengan posisi memeluk kaki yang ditekuk.

Hatinya tidak tergerak untuk memberikan selimut pada wanita itu. Anggara berlalu dan membiarkannya tetap seperti itu.

Anggara menatap ponsel di tangannya. Sejak kemarin, Raisya tidak menghubunginya. Biasanya, dia selalu diganggu wanita itu setiap waktu. Tidak biasanya dalam dua hari, sekalipun wanita itu tidak memberi kabar.

"Untung kamu cuma pelampiasan dikala aku butuh pelepasan." Anggara mencebikkan bibirnya lalu melemparkan ponselnya ke sembarang arah.

Dia ingat pertemuan pertama dengan Raisya. Wanita yang terobsesi padanya sejak masih sekolah dulu. Anggara merasa wanita itu bisa dimanfaatkan untuk sekedar menemaninya tidur atau saat dia suntuk.

Bagai gayung bersambut, Raisya membalas rayuan pria itu. Mereka semakin dekat karena setiap hari selalu menyempatkan untuk bertemu. Awalnya hanya sekedar jalan dan makan, lama kelamaan mereka sering keluar masuk kamar hotel.

Sampai detik itu, Anggara belum tahu siapa suami Raisya. Dia bahkan tidak peduli siapa suami wanita itu. Yang terpenting baginya, hasratnya mampu tersalurkan tanpa harus mencari wanita malam yang bisa saja menularkan penyakit mematikan padanya.

"Nikahi adikku hari ini juga!" Anggara masih terngiang dengan kata-kata Dito. Entah mengapa dia menurut saja, padahal dia bisa saja menolaknya. Pernikahan tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.

"Shiit!" Anggara mengumpat. Bisa-bisanya dia terjebak dalam pernikahan itu.

Yang lebih menjengkelkan, saat Dito menciduk dirinya dan Amisha, orang tua Anggara juga berada di tempat yang sama. Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena paksaan kedua orang tuanya, apalagi mengingat ibunya yang tiba-tiba terkena serangan jantung. Anggara tidak bisa menolaknya.

"Awas kau, Wanita Jalang! Akan kubuat kau menyesal karena sudah menjebakku!"

Anggara akan menjadikan Amisha pelampiasan nafsunya. Dia juga akan memanfaatkan wanita itu untuk bekerja di apartemen tanpa harus mengeluarkan uang. Seketika senyum penuh kelicikan tersungging di bibirnya.

Pagi-pagi sekali, Amisha sudah rapi. Dia akan mencari pekerjaan. Dito sudah tidak mungkin membiayai hidupnya lagi, apalagi kartu kredit pemberian kakaknya sudah dikembalikan. Kini Amisha tidak menikmati fasilitas apa pun.

Amisha urung membuka pintu kulkas. Sebuah tulisan di pintu sebagai alasannya. Tertulis di sana kalau hanya pemilik apartemen saja yang berhak menikmati semua yang ada di dalam kulkas.

Amisha sadar, dia bukan siapa-siapa di sana. Berarti dia tidak berhak menikmati semua fasilitas yang ada di apartemen. Semakin bulat saja tekadnya untuk mencari pekerjaan. Dia harus bisa hidup mandiri.

"Kenapa gak jadi?" cibir Anggara saat dia melihat Amisha berbalik.

"Baru sadar kalau kamu cuma parasit?" Amisha tidak tertarik berdebat dengan pria itu. Dia lebih memilih masuk ke ruangannya dan meraih tas selempang.

Amisha pergi tanpa bicara. Dia membanting pintu apartemen sekeras mungkin. Hari memang masih terlalu pagi untuk mencari pekerjaan, tetapi dia merasa sesak jika harus berada di apartemen bersama pria itu.

Masih ada sedikit sisa uang yang dimiliki Amisha. Dia membeli nasi kuning untuk sarapan. Amisha tidak mungkin berjalan kaki menyusuri jalan dalam keadaan perut yang kosong.

Selepas sarapan, Amisha duduk di taman yang tidak jauh dari apartemen Anggara. Dia membuka sosial media miliknya. Berharap ada postingan tentang lowongan pekerjaan di sana.

"Berbekal ijazah SMA, aku cuma bisa bekerja sebagai pelayan," gumam Amisha.

Ada waktu dua jam sebelum dia masuk kuliah. Amisha akan memanfaatkan waktunya untuk mencari pekerjaan. Baginya tidak masalah jika dia menjadi pelayan bahkan pembantu sekalipun, yang penting dia punya penghasilan.

Sepanjang jalan yang Amisha lalui, tidak ada satu pun yang mau menerimanya sebagai pegawai. Mereka tidak mau mempekerjakan orang paruh waktu. Yang mereka butuhkan pekerja yang siapa bekerja dari pagi sampai sore bahkan sampai malam.

"Susah banget nyari kerjaan. Apa aku berhenti kuliah saja biar bisa bekerja?" Amisha dilema. Baru dua hari saja dia tidak dibiayai kakaknya, hidupnya seakan hancur. Dia sudah kesulitan mencari biaya hidup. Beruntung Amisha bukan wanita manja. Dia masih mau mencari pekerjaan.

Saat hendak menyebrang jalan, Amisha hampir saja tertabrak. Yang lebih mengagetkan, Dito yang berada di balik kemudi. Amisha tersenyum bahagia. Dia bisa bertemu dengan kakaknya.

"Ini jalanan rame. Belajarlah untuk tidak ceroboh!" Amisha melihat Dito tidak seperti biasanya. Dulu, Dito tidak membiarkan adiknya terluka. Dia akan menangis jika Amisha terluka sedikit saja. Berbeda dengan sekarang, dia bahkan membentak adiknya.

Dito menolak saat Amisha hendak memeluknya. Dia memundurkan kakinya.

"Ada apa? Mengapa dia berubah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status