Share

5. Nakalnya Bira

Begitu membaca nama pasien berikutnya adalah Lunar, maka. Bira kalang kabut membersihkan ruangan periksanya. Satu kotak alat kontrasepsi ia buang ke dalam tempat sampah. Minyak gosok juga ia tuang ke telapak tangan, lalu ia ciprat-cipratkan ke seluruh ruangan. Ia bergerak cepat, seperti detak jantungnya saat ini.

Tidak, ia belum siap kalau Lunar mengetahui pekerjaannya. Baru dua tahun lebih delapan bulan ia seperti ini dan baru saja asik dengan mainan barunya. Tentu ia tidak mau diganggu oleh siapapun termasuk Lunar.

"Silakan pasien berikutnya!" Seru Bira dari dalam kamar periksa. Tangannya yang gemetar, terpaksa ia kepalkan dengan kuat agar kegugupannya tidak terlihat oleh sang Istri.

Cklek

"Permisi, Bang Bira, saya Sunar." Bira melongo saat seorang pria yang muncul dari balik pintu. Seorang pemuda yang tersenyum padanya, sembari berjalan dengan sedikit pincang. Kali ini pemuda itu diantar oleh pria tua.

Pria itu akhirnya menghela napas lega. Ia mengusap keringat yang mengucur deras karena merasa begitu gembira karena bukan Lunar pasiennya, tetapi Sunar. Pasti Bu Dasmi salah mendengarkan nama pasien karena pemuda bernama Sunar ini adalah pasien baru.

"Silakan langsung berbaring di ranjang, Mas Sunar, biar saya lihat sakitnya." Bira kembali berwajah serius untuk memijat pasien.

Sebenarnya memang ia memiliki kemampuan memijat dari kakek pihak ibunya yang memang berprofesi sebagai tukang pijat keseleo, patah tulang, dan pegal-pegal. Kemampuan itu diturunkan padanya, tetapi baru belakangan ini saja ia menikmati dengan sedikit bermain-main dengan pasien wanita, atau anggota keluarga pasien, seperti ibunya, kakaknya, tantenya, yang berusia tidak lebih tua darinya dan tentu saja bertubuh sintal.

Ia tidak mungkin memaksa Lunar untuk mengimbangi hasratnya yang setiap hari mampu tiga sampai empat kali bercinta. Lunar bisa sakit karena kelelahan, untuk itu ia tidak mau melukai sang Istri. Cukup ia bermain-main dengan pasien saja.

Sementara itu, Lunar yang baru saja bangun dari tidur sorenya. Merasa kepalanya pening. Badannya semua terasa nyeri dan juga suhu tubuhnya panas. Lunar berjalan tertatih menuju dapur untuk mencari obat. Ia harus segera minum obat, daripada tidak bisa bangun nantinya. Setelah ia minum obat, Lunar pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Azan magrib baru saja berkumandang, sehingga ia harus salat terlebih dahulu baru melanjutkan tidurnya. Semua lampu rumah yang tadinya padam, ia nyalakan karena langit di luar pun sudah sangat gelap.

Selesai salat, Lunar mencoba menelepon suaminya, tetapi tidak diangkat.

Bang, saya sakit, Abang jangan pulang kemalaman ya. Terus nanti belikan saya bubur, lidahnya eneg banget mau makan nasi.

Send

Lunar kembali berbaring setelah mengirimkan pesan pada suaminya. Tidak banyak yang bisa ia lakukan jika sedang sakit seperti ini. Selain berbaring tanpa teman.

Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum, Lunar!" Suara ketukan di luar sana membuat Lunar membuka mata. Siapa yang datang bertamu malam-malam? Pikirnya.

Dengan tertatih ia turun dari ranjang, lalu berjalan menuju jendela. Tirai itu ia singkat sedikit untuk melihat siapa tamunya.

Mas Haris

Cklek

"Wa'alaykumussalam, Mas Haris, mari masuk! Ya ampun, udah lama banget gak kemari. Masuk sini, Mas!" Lunar mempersilakan masuk abang iparnya yang bernama Haris dengan begitu ramah.

"Ke mana, Bira? Masih di tempat kerja?" tanya pria itu sembari melepas sepatunya, kemudian kaus kakinya juga.

"Iya, Mas. Paling habis isya atau paling malam jam sembilan baru pulang. Mas mau minum apa?" Lunar mencoba menyambut baik iparnya walau kepalanya semakin berkunang-kunang.

"Aku bisa ambil sendiri ke dapur. Muka kamu pucat sekali, Lunar. Kamu sakit? Sudah sana masuk kamar saja. Aku ambil minum sendiri bisa, terus aku pinjam kamar mandi ya. Biar aku tunggu Bira di sini." Lunar tersenyum tipis, merasa tidak enak hati dengan iparnya.

"Iya, Mas, mungkin masuk angin. Saya pamit tidur dulu ya." Lunar pun masuk ke dalam kamarnya. Haris memperhatikan sambil menggelengkan kepala. Ia menutup pintu rumah, lalu bergegas ke dapur untuk mengambil minum. Lega setelah membasahi tenggorokannya dengan air putih, Haris pun masuk ke kamar mandi sambil membawa ranselnya. Ia mandi karena perjalanan dari Lampung ke Jakarta dengan bus, membuat tubuhnya berkeringat, bau, dan juga lengket.

Bira, aku sudah di rumah kamu ya. Istri kamu lagi sakit tuh, pulangnya jangan kemalaman.

Send

Setelah mengirimkan pesan, Haris yang lelah akhirnya ikut tertidur di atas karpet depan televisi.

Bukan Bira namanya jika pulang ke rumah masih sore. Apalagi pasiennya saat malam, wanita cantik dan juga bertubuh sintal. Tentu saja ia ingin bermain-main terlebih dahulu. Ponselnya pun sengaja ia matikan agar tidak menganggu aktivitasnya.

"Gimana, apa sudah lebih rileks?" tanya Bira saat ia tengah memijat pundak polos seorang wanita yang mengeluh pundaknya berat dan panas.

"Enak, Bang," jawab wanita itu jujur karena memang saraf di pundaknya terasa mengendur.

"Mau lebih cepat lega, lihatnya harus dari depan. Gimana? Mau?" wanita itu nampak ragu. Pijat dari belakang saja membuat darahnya berdesir, bagaimana jika dipijat dari depan.

"Kalau tidak mau tidak apa-apa, saya kembalikan lagi pada pasiennya." Bira tersenyum.

"Yakin cepat hilang, Bang Bira?"

"Iya, setelah saya pijat, nanti kamu minum ramuan ya. Biar besok benar-benar fit. Kalau masih belum fit juga, kamu ke sini lagi."

"Ya sudah kalau begitu, Bang, saya mau deh." Bira pun tersenyum senang dari belakang tubuh pasien montoknya. Bira sengaja memakai masker untuk menghindari kecurigaan pasien cantik kan montoknya ini.

Telapak tangan bira berada di pundak, lalu bergerak ke leher, turun perlahan sampai mendekati dada pasienya.

"Santai saja, jangan tegang!" Ujar Bira dengan suara berat. Wanita itu mulai merasa ada yang aneh dalam dirinya saat Bira perlahan mulai memijat turun semakin dekat ke area dada.

"Bang, geli!" Bira tertawa. Tahan Bira, ini pasien baru dan kamu harus bikin ia ketagihan untuk datang lagi. Wanita yang memakai sarung sampai bagian dada itu merasa dirinya seperti menginginkan yang lebih dari gerakan tangan Bira, tetapi ia tidak tahu apa.

"Oke, saya tambahkan tekanannya ya." Bira sedikit lebih menekan pada area pundak dan leher hingga wanita itu meringis kesakitan.

"Sudah, silakan pakai kembali pakaiannya." Bira pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Ia siapkan bubuk obat di dalam cangkir. Ia tuangkan sedikit air hangat dan taburan sedikit bubur daun jeruk untuk menyamarkan bau obat yang ia berikan.

"Pahit, Bang." Mata wanita itu memicing saat ia menghabiskan ramuan yang diberikan Bira. Pria itu memberikan air minum mineral pada pasiennya untuk menghilangkan rasa pahit.

"Berapa, Bang?"

"Seratus ribu karena pakai ramuan."

"Apa saya gak perlu bawa ramuannya ke rumah, Bang, jadi bisa saya minum di rumah kalau masih sakit."

"Ramuan diminum setelah dipijat, memang begitu alurnya. Jadi kalau masih terasa sakit, Mbak ke sini lagi saja. Untuk kedatangan ketiga kalinya akan mendapatkan potongan harga." Wanita itu pun mengangguk paham. Ia menaruh uang seratus ribu ke dalam box uang yang ada di meja Bira.

"Terima kasih, Bang, saya pamit." Wanita itu mencium punggung tangan Bira. Lalu keluar dari ruangan praktek, tepat pukul sebelas malam. Pasien habis dan Bira harus segera pulang. Sebelum pulang, ia tertawa senang saat melihat bungkus obat kolesterol yang ia gunakan untuk pasien yang sakit pundak.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status