Begitu membaca nama pasien berikutnya adalah Lunar, maka. Bira kalang kabut membersihkan ruangan periksanya. Satu kotak alat kontrasepsi ia buang ke dalam tempat sampah. Minyak gosok juga ia tuang ke telapak tangan, lalu ia ciprat-cipratkan ke seluruh ruangan. Ia bergerak cepat, seperti detak jantungnya saat ini.
Tidak, ia belum siap kalau Lunar mengetahui pekerjaannya. Baru dua tahun lebih delapan bulan ia seperti ini dan baru saja asik dengan mainan barunya. Tentu ia tidak mau diganggu oleh siapapun termasuk Lunar."Silakan pasien berikutnya!" Seru Bira dari dalam kamar periksa. Tangannya yang gemetar, terpaksa ia kepalkan dengan kuat agar kegugupannya tidak terlihat oleh sang Istri.Cklek"Permisi, Bang Bira, saya Sunar." Bira melongo saat seorang pria yang muncul dari balik pintu. Seorang pemuda yang tersenyum padanya, sembari berjalan dengan sedikit pincang. Kali ini pemuda itu diantar oleh pria tua.Pria itu akhirnya menghela napas lega. Ia mengusap keringat yang mengucur deras karena merasa begitu gembira karena bukan Lunar pasiennya, tetapi Sunar. Pasti Bu Dasmi salah mendengarkan nama pasien karena pemuda bernama Sunar ini adalah pasien baru."Silakan langsung berbaring di ranjang, Mas Sunar, biar saya lihat sakitnya." Bira kembali berwajah serius untuk memijat pasien.Sebenarnya memang ia memiliki kemampuan memijat dari kakek pihak ibunya yang memang berprofesi sebagai tukang pijat keseleo, patah tulang, dan pegal-pegal. Kemampuan itu diturunkan padanya, tetapi baru belakangan ini saja ia menikmati dengan sedikit bermain-main dengan pasien wanita, atau anggota keluarga pasien, seperti ibunya, kakaknya, tantenya, yang berusia tidak lebih tua darinya dan tentu saja bertubuh sintal.Ia tidak mungkin memaksa Lunar untuk mengimbangi hasratnya yang setiap hari mampu tiga sampai empat kali bercinta. Lunar bisa sakit karena kelelahan, untuk itu ia tidak mau melukai sang Istri. Cukup ia bermain-main dengan pasien saja.Sementara itu, Lunar yang baru saja bangun dari tidur sorenya. Merasa kepalanya pening. Badannya semua terasa nyeri dan juga suhu tubuhnya panas. Lunar berjalan tertatih menuju dapur untuk mencari obat. Ia harus segera minum obat, daripada tidak bisa bangun nantinya. Setelah ia minum obat, Lunar pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Azan magrib baru saja berkumandang, sehingga ia harus salat terlebih dahulu baru melanjutkan tidurnya. Semua lampu rumah yang tadinya padam, ia nyalakan karena langit di luar pun sudah sangat gelap.Selesai salat, Lunar mencoba menelepon suaminya, tetapi tidak diangkat.Bang, saya sakit, Abang jangan pulang kemalaman ya. Terus nanti belikan saya bubur, lidahnya eneg banget mau makan nasi.SendLunar kembali berbaring setelah mengirimkan pesan pada suaminya. Tidak banyak yang bisa ia lakukan jika sedang sakit seperti ini. Selain berbaring tanpa teman.Tok! Tok!"Assalamu'alaikum, Lunar!" Suara ketukan di luar sana membuat Lunar membuka mata. Siapa yang datang bertamu malam-malam? Pikirnya.Dengan tertatih ia turun dari ranjang, lalu berjalan menuju jendela. Tirai itu ia singkat sedikit untuk melihat siapa tamunya.Mas HarisCklek"Wa'alaykumussalam, Mas Haris, mari masuk! Ya ampun, udah lama banget gak kemari. Masuk sini, Mas!" Lunar mempersilakan masuk abang iparnya yang bernama Haris dengan begitu ramah."Ke mana, Bira? Masih di tempat kerja?" tanya pria itu sembari melepas sepatunya, kemudian kaus kakinya juga."Iya, Mas. Paling habis isya atau paling malam jam sembilan baru pulang. Mas mau minum apa?" Lunar mencoba menyambut baik iparnya walau kepalanya semakin berkunang-kunang."Aku bisa ambil sendiri ke dapur. Muka kamu pucat sekali, Lunar. Kamu sakit? Sudah sana masuk kamar saja. Aku ambil minum sendiri bisa, terus aku pinjam kamar mandi ya. Biar aku tunggu Bira di sini." Lunar tersenyum tipis, merasa tidak enak hati dengan iparnya."Iya, Mas, mungkin masuk angin. Saya pamit tidur dulu ya." Lunar pun masuk ke dalam kamarnya. Haris memperhatikan sambil menggelengkan kepala. Ia menutup pintu rumah, lalu bergegas ke dapur untuk mengambil minum. Lega setelah membasahi tenggorokannya dengan air putih, Haris pun masuk ke kamar mandi sambil membawa ranselnya. Ia mandi karena perjalanan dari Lampung ke Jakarta dengan bus, membuat tubuhnya berkeringat, bau, dan juga lengket.Bira, aku sudah di rumah kamu ya. Istri kamu lagi sakit tuh, pulangnya jangan kemalaman.SendSetelah mengirimkan pesan, Haris yang lelah akhirnya ikut tertidur di atas karpet depan televisi.Bukan Bira namanya jika pulang ke rumah masih sore. Apalagi pasiennya saat malam, wanita cantik dan juga bertubuh sintal. Tentu saja ia ingin bermain-main terlebih dahulu. Ponselnya pun sengaja ia matikan agar tidak menganggu aktivitasnya."Gimana, apa sudah lebih rileks?" tanya Bira saat ia tengah memijat pundak polos seorang wanita yang mengeluh pundaknya berat dan panas."Enak, Bang," jawab wanita itu jujur karena memang saraf di pundaknya terasa mengendur."Mau lebih cepat lega, lihatnya harus dari depan. Gimana? Mau?" wanita itu nampak ragu. Pijat dari belakang saja membuat darahnya berdesir, bagaimana jika dipijat dari depan."Kalau tidak mau tidak apa-apa, saya kembalikan lagi pada pasiennya." Bira tersenyum."Yakin cepat hilang, Bang Bira?""Iya, setelah saya pijat, nanti kamu minum ramuan ya. Biar besok benar-benar fit. Kalau masih belum fit juga, kamu ke sini lagi.""Ya sudah kalau begitu, Bang, saya mau deh." Bira pun tersenyum senang dari belakang tubuh pasien montoknya. Bira sengaja memakai masker untuk menghindari kecurigaan pasien cantik kan montoknya ini.Telapak tangan bira berada di pundak, lalu bergerak ke leher, turun perlahan sampai mendekati dada pasienya."Santai saja, jangan tegang!" Ujar Bira dengan suara berat. Wanita itu mulai merasa ada yang aneh dalam dirinya saat Bira perlahan mulai memijat turun semakin dekat ke area dada."Bang, geli!" Bira tertawa. Tahan Bira, ini pasien baru dan kamu harus bikin ia ketagihan untuk datang lagi. Wanita yang memakai sarung sampai bagian dada itu merasa dirinya seperti menginginkan yang lebih dari gerakan tangan Bira, tetapi ia tidak tahu apa."Oke, saya tambahkan tekanannya ya." Bira sedikit lebih menekan pada area pundak dan leher hingga wanita itu meringis kesakitan."Sudah, silakan pakai kembali pakaiannya." Bira pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Ia siapkan bubuk obat di dalam cangkir. Ia tuangkan sedikit air hangat dan taburan sedikit bubur daun jeruk untuk menyamarkan bau obat yang ia berikan."Pahit, Bang." Mata wanita itu memicing saat ia menghabiskan ramuan yang diberikan Bira. Pria itu memberikan air minum mineral pada pasiennya untuk menghilangkan rasa pahit."Berapa, Bang?""Seratus ribu karena pakai ramuan.""Apa saya gak perlu bawa ramuannya ke rumah, Bang, jadi bisa saya minum di rumah kalau masih sakit.""Ramuan diminum setelah dipijat, memang begitu alurnya. Jadi kalau masih terasa sakit, Mbak ke sini lagi saja. Untuk kedatangan ketiga kalinya akan mendapatkan potongan harga." Wanita itu pun mengangguk paham. Ia menaruh uang seratus ribu ke dalam box uang yang ada di meja Bira."Terima kasih, Bang, saya pamit." Wanita itu mencium punggung tangan Bira. Lalu keluar dari ruangan praktek, tepat pukul sebelas malam. Pasien habis dan Bira harus segera pulang. Sebelum pulang, ia tertawa senang saat melihat bungkus obat kolesterol yang ia gunakan untuk pasien yang sakit pundak.BersambungBira sedang memanaskan mesin motor dan sudah duduk di atasnya, barulah pria itu mengaktifkan kembali ponselnya. Ada pesan dari Lunar dan kakaknya yang sudah sampai di rumah. Waduh, Lunar sakit! Bira langsung memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya, lalu ia menuju pulang ke rumah. Tidak lupa bubur ayam malam ia belikan sesuai pesanan sang Istri. Begitu tiba di rumah, keadaan sudah gelap. Bira memarkirkan motornya di halaman rumah, lalu mengunci pagar. "Tukang pijat malam banget pulangnya, lu mijet apaan?" tanya Haris yang membukakan pintu rumah untuk adiknya. Bira tertawa, pria itu mencium punggung tangan Haris, kemudian memeluk tubuh tinggi besar abangnya itu. "Banyak pasien hari ini, Mas. Mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak. Syukur ada saja pasien setiap hari, Mas. Oh, iya, Lunar sakit ya?" Bira berjalan masuk ke dalam rumah, sedangkan Haris mengikutinya di belakang sambil mengunci pintu. "Iya, muntah-muntah tuh. Udah minum obat dan gue buatin bubur tadi. Lu mah
Sepanjang usia pernikahan, baru kali ini suaminya membentaknya dengan begitu mengerikan. Memangnya apa yang salah dengan mencucikan dalaman suami sendiri? Kenapa hal yang wajib ia lakukan, malah salah di mata suaminya? Lunar hanya bisa tertegun saat melihat Bira sudah berada di halaman belakang sedang menjemur sempaknya. Jika saja ia tidak sedang sakit, pasti ia akan balik marah pada suaminya yang ia nilai terlalu berlebihan padanya. "Buatkan Abang teh, Lunar," kata Bira memerintah. Wajah pria itu sama sekali tidak menampakan penyesalan karena sudah membentak istrinya. Lunar malas menyahut, ia berdiri untuk mengerjakan perintah suaminya. Bira ke depan untuk menemui Haris, tetapi kakaknya itu tidak ada. Bira pergi ke luar rumah, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Haris, tetapi ia tidak menemukannya. "Mas Haris ke mana, Lunar?" tanya Bira saat Lunar meletakkan teh di atas meja ruang tamu. "Olah raga mungkin." Lunar menjawab tanpa semangat. Ia masuk ke dalam rumah umtuk
"Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis. "Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. "Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh at
Lunar begitu cemas dengan penemuan pil KB yang bukan miliknya dari dalam lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain dirinya dan juga suaminya. Tidak mungkin juga milik kakak iparnya karena Haris sudah lama menduda. Lunar mengambil ponsel, lalu menekan kontak suaminya. Semakin ia tahan, maka semakin besar rasa penasarannya. Ia harus tahu obat itu milik siapa dan kenapa bisa ada di dalam lemarinya. Namun sayang, Bira tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya tetap saja tidak diangkat. Ini masih pukul satu siang, harusnya suaminya sudah selesai memijat. "Halo, Mbak Citra lagi di mana?""Masih di rumah, Nar, kenapa?""Kalau Mbak nanti sampai di klinik pijat Mas Bira, tolong sampaikan untuk menelepon saya balik ya, Mbak.""Oh, gitu, gak aktif ya HP-nya.""Iya, Mbak.""Oke, nanti begitu sampai di sana, Mbak suruh Bira telepon kamu."Lunar masih memegang plastik berisi tiga pack obat KB. Tanga
"Ya ampun, kenapa sampai nunggu bengkak begini baru dibawa ke sini?" Bira memperhatikan kaki Budi yang memang benar-benar membesar. Ini bukan sekedar pijat, ia harus benar-benar harus hati-hati dan juga pelan dalam mengobati kaki suami Citra. "Iya, nih, Bar, kata saya juga langsung ke Bira aja, tapi Citra gak nurut, akhirnya salah deh nih." Pria itu meringis saat merasakan linu pada kedua kakinya. Wanita bernama Citra hanya bisa terdiam sambil menunduk kikuk. "Gak papa, saya coba obati pelan-pelan ya, tapi ini kayaknya gak bisa satu atau dua kali sembuh." Bira memegang wajah Budi. Lalu berpindah pada kepalanya. Tepatnya memegang ubun-ubun Budi. "Hawanya panas. Apa Mas Budi jatuh di dekat pohon?" lelaki bernama Budi itu mengangguk pelan. Dari mana Bira tahu ia jatuh di dekat pohon? Batin pria itu. "Mas, ditanyai Bira tuh, jatuh dekat pohon nggak?" tegur Citra pada suaminya. "Iya, jatuh di bawah pohon. Saya mengantuk, terus, tiba-tiba mata kayak ada yang tutupi, tidur untuk sekian
"Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?""Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sang
Tentu saja sebuah kesialan baginya menjelang tutup prakte, malah mendapatkan pasien lelaki, tetapi mengaku wanita. Baru kali ini ia mendapatkan ku stoner seperti tadi. Hal itu membuat Bira kesal, sekaligus geli."Bu Dasmi, besok plang di depan klinik, ditambahin tulisan lebih spesifik ya. 'Tidak menerima pasien dengan jenis kelamin abu-abu.'"Bu Dasmi yang baru saja menutup buku pendaftaran, tentu saja merasa heran dengan tugas dari bosnya."Bang Bira, bukannya kalau jenis kelamin teh warnanya coklat, saya baru tahu kalau ada warna abu-abu. Apa diwarnai? Dipilok?" Bira menghela napas. Sakit darah tinggi yang sudah tidak lama kambuh, bisa saja kambuh mendadak, bila berbicara dengan Bu Dasmi terlalu lama."Maksud saya, lelaki yang mengaku perempuan, maupun sebaliknya. Pokoknya bikin catatan di plang seperti yang saya bilang tadi. Jangan ditambahin lagi, jangan dikurangin. Besok, sebelum praktek, saya mau lihat udah terpasang di depan jalan sana." Bira meletakkan uang dua ratus ribu rupi
Seandainya saja ia mempunyai ilmu bisa menghilang, tentu sudah ia gunakan saat ini. Bagaimana bisa, daster tidak terkancing dengan baik dan ia pun tidak memakai bra saat itu. Haris, kakak sepupu suaminya pasti melihat walau tidak sempurna. Namun, tetap saja pria itu melihatnya. Lunar kebingungan sendiri karena ia harus keluar kamar untuk memasak sarapan. Peristiwa tadi membuatnya sangat malu. "Lunar, Bira, saya berangkat!" Seru Haris dari balik pintu. Wanita itu menghela napas lega. Ia berjalan ke jendela untuk memastikan Haris sudah pergi dari rumahnya. Dengan memakai kaus biasa dan celana panjang jeans, Haris berjalan keluar rumah adik sepupunya sambil membawa ransel. Lekas ia keluar kamar untuk mandi. Sebuah kejutan lagi di hari kamis pagi, darah sedikit pekat tercetak di celananya yang berwarna crem. Padahal ia ingin di cumbu suaminya malam sabtu nanti, malah sekarang ia yang datang bulan. Mood-nya benar-benar berantakan. Setelah mandi, Lunar yang tadinya ingin memasak sarapan,