"Om udah terlalu banyak bantu. Ga usah, Om makin repot nanti," kata Mentari. "Aku akan coba kerja apa saja, tukang cuci, jaga toko, apapun. Yang penting bisa makan tiap hari, yang boleh ga usah pakai ijazah." Sebenarnya, justru Mentari takut berurusan dengan polisi. Dia harus menunjukkan siapa dirinya dan asal usulnya, sedangkan Mentari sedang bersembunyi. Buyar semua kalau sampai dia ketahuan. Alman tersenyum. Hatinya berbisik, "Manis dan lugu sekali gadis cantik ini. Masih mikir ga mau ngrepotin orang. Padahal kondisinya memang banget butuh bantuan." "Ya, udah. Terserah kamu. Oya, aku punya rahasia. Tapi jangan kasih tahu siapapun." Alman maju dua langkah. "Rahasia? Apaan, Om?" Degdegan seketika dada Mentari mendengar kalimat Alman. "Aku ga gembok pintu turun ke mal. Kalau kamu perlu ke toilet, tengah malam, bisa langsung aja." Alman bicara setengah berbisik, seperti takut ada yang mendengar. Mentari tersenyum kecil. Alman punya kunci pintu? Dia cleaning service atau sekuriti?
"Estas listo?" Pria berhidung bangir dengan rambut cepak sedikit botak di bagian atas itu menatap Leon. "Sí, Señor Álvarez. Saya siap bekerja." Leon berdiri tegak membalas tatapan papanya, Horacio Alvarez. “Oke. Kalau begitu, kamu mulai bekerja.” Horacio berkata tegas. Tangannya meraih plastik di meja sebelahnya. Plastik itu berisi pakaian yang terlipat rapi di sana. “Ini seragam kerjamu. Pak Sujana yang akan mengawasi kamu selama bekerja. Dia akan menunjukkan apapun yang kamu perlu tahu. Tapi, kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh dia. Kamu adalah pegawai. Kamu mengerti?” Tatapan tegas Horacio arahkan pada putra sulungnya. “Oke, ngerti,” jawab Leon setengah enggan. “Aku akan selalu bertanya pada Pak Sujana bagaimana kamu dalam bekerja. Itu bisa kapan saja. Aku tidak mau kamu membuat masalah. Paham?” Lagi-lagi, kalimat yang tidak ingin Leon dengar harus dia telan. “Iya, sangat paham. Jadi gimana? Aku sudah bisa bekerja?” Leon sudah tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Lebih baik dia
Leon menghentikan langkah kakinya dan memperhatikan keributan yang ada di salah satu toko yang dia lalui."Gimana ceritanye, lu mau ngelamar kerja tapi kagak ada ijazah? Jangan ngadi-ngadi, Neng!" Seorang wanita berpostur besar tampak geram memandang gadis cantik yang ada di depannya.Gadis itu tidak begitu tinggi, agak kurus, dan terlihat takut-takut melihat wanita itu."Maaf, Bu. Ijazah saya hilang, tapi saya butuh pekerjaan. Tolonglah, Bu." Gadis itu menghiba. "Saya bisa kerja apa saja, yang penting bisa kerja, Bu."Leon mengerutkan keningnya. Aneh sih, ijazah kok sampai hilang. Memang gadis itu kena bencana banjir atau tanah longsor?"Haallah, alasan klise. Bukan sekali ini orang datang minta kerja alasan kagak punye ijazah. Ntar, udah gue baikin, heh, nyolong! Ga pake alasan ye? Mau kerja, bawa sini ijazah lu!" Wanita itu masih terlihat emosi."Maaf, Bu. Saya permisi." Suara gadis itu terdengar pasrah dan sedih. Lalu dengan langkah lesu dia meninggalkan toko itu yang mulai ramai.
Mentari merasa tubuhnya kembali gemetar dan napasnya melaju cepat. Begitu dia membuka mata, ternyata Alman yang muncul di depannya. "Om, aku kaget ..." ujarnya dengan debaran di jantung masih belum normal. "Hee ... hee ... sorry ..." Alman membuka pintu lebar, lalu duduk di dekat pintu. Dia membuka plastik yang dia bawa. Lagi-lagi makan siang dia berikan untuk Mentari. "Ini, makan siang bentar, lalu lanjut kerja." Alman tersenyum. Dia cepat membuka makanannya dan segera menyuap yang pertama. Mentari mengikuti. Tapi terus terang saja, ada rasa tidak enak di hatinya. Kasihan Alman kalau terus membawakan makanan untuknya. Lapar yang tadi sempat melilit, tiba-tiba saja jadi hilang. "Belum dapat kerjaan?" tanya Alman sembari menyendok nasi. Mentari menggeleng. "Ga ada yang mau terima, Om. Soalnya aku ga ada ijazah dan KTP." "Emang susah kalau ga ada KTP dan ijazah." Suara Alman begitu tenang. Dia masukkan lagi sesuap dan mengunyah makanannya dengan semangat. "Aku ga enak kalau ngrep
Safira memutar tubuhnya sedikit dan menghadap lurus pada Alman. "Pak Alman, ini antara aku dan Sofi. Aku bisa paham situasinya, tetapi ..." Mata Safira beralih pada Alman. "... aku tetap mau memastikan perusahaan tidak akan sekadar menerima orang hanya karena iba. Perusahaan ini bukan yayasan sosial." Mendengar kalimat itu Mentari menelan ludahnya. Alman bilang Bu Bos baik? Tetapi yang Mentari hadapi adalah wanita tegas tanpa belas kasihan. Tetapi dia benar. Jika Mentari mau bekerja ada standar yang harus ia ikuti. Lalu, perlukah dia menghiba? Karena jelas kriteria yang diharapkan darinya belum tentu akan terpenuhi. "Bu, saya sangat membutuhkan pekerjaan, apapun itu. Saya minta maaf jika mengharapkan pekerjaan tetapi tidak memenuhi apa yang disyaratkan. Saya janji tidak akan mengecewakan. Beri saya waktu satu bulan saja. Jika ternyata tidak bisa bekerja dengan baik, saya yang akan mengundurkan diri." Mentari tidak mau menyerah begitu saja. Alman sudah berusaha mencari peluang buat
Leon memandang Mentari. Perlahan Leon ingat kalau gadis imut dan sedikit kurus itu adalah gadis yang bingung mencari kerja di mal itu. Bagus juga, akhirnya ada pekerjaan buatnya. "Iya, nama gue Agus," ulang pemuda itu yang tak lain adalah Leon. "Hee ... hee ..." Senyum Mentari melebar. Tapi tangannya terulur juga menyalami Leon. "Kenapa lu ketawa?" Ganti Leon yang merasa heran dengan reaksi Leon. "Nggak, ga apa-apa. Hee ... Mas Agus, iya ..." Mentari mengangguk-angguk lalu melepas jabat tangan mereka. "Mas Agus?" ulang Leon makin heran. Aneh sekali dengan panggilan itu. Dia dipanggil Mas! "Pagi!" Suara besar membuyarkan perkenalan Mentari dan Leon. Keduanya menoleh ke arah suara itu, tampaklah pria dan wanita berjalan mendekat. Suara besar itu adalah suara Alman. Mentari tidak terkejut. Sedang wanita yang di sampingnya, Mentari belum pernah melihatnya. "Ah, dia sudah di sini, Pak Alman. Bapak bener, dia memang rajin," Wanita itu menatap lurus pada Mentari. Ada senyum kecil dari
Refleks tangan Mentari mengusap rambutnya yang tergerai indah dengan warna baru yang membuatnya terlihat lebih cerah dan cantik. "Beda sekali. Hampir gue ga ngenalin lu. Sofi, kan?" tanya Leon sambil kembali mendekat beberapa langkah. Leon dan Mentari berhadapan hanya berjarak satu meter. Wajah tampan yang mempesona itu makin terlihat jelas. "Iya. Mas Agus udah hapal aku. Padahal kita baru kenal," kata Mentari. "Abis, lu unik. Manggil gue Mas. Aneh tahu. Panggil aja nama," ujar Leon. "Ga sopan, Mas. Ga boleh kata ibuku," sahut Mentari. "Terserah lu, deh. Hee ... hee ..." Leon tertawa kecil dengan ucapan Mentari. "Tapi lu cakep. Lu cantik kayak gini. Suka nyalon juga lu?" "Apa?" Mentari tidak begitu paham dengan kalimat Leon. Dia mengerutkan kening berpikir. "Ohh, salon? Nggak. Aku jarang ke salon. Ini gratisan, Mas. Mana aku ada duit." "Hee ... hee ... lu beneran unik. Lucu dan lugu banget." Leon menggeleng kepala. Dia tidak mengira hari begini ada gadis sepolos Mentari. Menta
Hampir tengah malam, Leon masuk ke halaman rumah besar di ujung gang utama perumahan elite. Motor dia parkir di garasi lalu lewat pintu samping Leon masuk ke dalam. Pintu samping bertemu dengan ruang makan yang luas. "Kamu pulang?" Sapaan itu membuat Leon terkejut. "Ah! Mama?!" ujar Leon sambil sedikit melonjak. "Mama belum tidur?" "Terbangun dan rasa haus. Tumben kamu pulang?" Wanita dengan rambut coklat terang itu mendekati Leon dan memeluknya. Dia berikan kecupan sayang pada putra sulungnya. Asterita Widinata, istri Tuan Horacio Don Alvarez, ibu yang penyayang, tegas, dan kadang cenderung cerewet. "Repot emang jadi anak mama sama papa. Ga pulang dicari. Pulang ditanya kenapa pulang. Lalu aku mesti gimana?" kata Leon sambil nyengir. Dia berjalan menuju ke pantry dan mengambil botol air mineral di atas meja. "Udah hampir dua minggu kamu ga muncul di rumah." Wanita berusia empat puluhan itu mengikuti putranya. "Kangen Mama," ujar Leon cepat sembari berbalik dan memandang mamanya