Share

Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa
Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa
Penulis: Bemine

Bab 1: Pengantinku, Ismi

Bab 1: Pengantinku, Ismi

Aku tidak bisa menutupi senyum kala melihat gadis pujaan yang secantik bidadari itu muncul di depan kami semua. Dia memakai gamis panjang dengan jilbab lebar yang menutupi lekuk tubuhnya.

Dia tersenyum, cantik sekali. Jemari lentiknya sibuk menata gelas demi gelas yang berisikan jus pomegranate untuk keluarga kami berdua. Lalu, dari arah belakang ibu mertuaku muncul dengan membawa makan malam.

“Wah ... cantiknya mantuku, Pak!” Ibuku berseru saat Ismi mundur selangkah untuk menyimpan nampan.

Sontak saja aku melirik beliau, hatiku menghangat dengan cepat, ibuku sendiri begitu menyukai Ismi hingga pernikahan kami pasti akan mudah ke depannya. Apa lagi Bapak sudah berteman baik dengan keluarga Ismi.

“Iya, dong ... anak siapa dulu?” Ibu mertuaku sekaligus Ibunya Ismi menyahut.

Dia mengeluarkan semangkuk sayur sop dan tulang sapi serta sepiring ayam goreng bumbu kunyit. Setelahnya, Ismi menyusul lagi dengan sepiring perkedel berukuran besar dan tumis bayam. Kami akan merayakan pernikahanku dan Ismi yang berlangsung siang tadi.

Kami memutuskan untuk menikah sederhana terlebih dahulu, dan akan merayakan resepsi dua atau tiga bulan lagi setelah semuanya dipersiapkan dengan baik. Tentu saja, pernikahan kami sah secara agama dan negara, aku tidak ingin membuat Ismi gelisah karena namanya belum tercatat di kartu keluarga sebagai istri dari Reza Suryansyah.

“Mbak, seneng sekali aku ini ... bisa besanan juga kita!”

“Ya, Mbak. Waduh, enggak nyangka Allah berikan hadiah seindah ini. Anakmu sat set sekali, suka langsung bawa ke penghulu,” balas ibu mertuaku lagi.

Aku terus memandangi mereka bergantian, meski sesekali tidak bisa memindahkan pandangan pada Ismi. Gadis itu sudah berusia dua puluh enam tahun di Agustus 2022 kemarin, namun parasnya masih seperti gadis belia berusia belasan.

Tubuhnya mungil, padat berisi. Jemarinya lentik dan sangat putih. Wajahnya ayu, bibir tipis merekah merah, hidung mancung kecil dan mata yang berkelopak ganda seperti artis-artis Korea.

Ismi Diana baru saja pindah dari kota dengan keluarganya karena orang tuanya sudah pensiun. Mereka mengaku ingin menghabiskan sisa usia di kampung halaman bersama sahabat baiknya, yaitu bapak dan ibuku.

Saat itu, masih awal Oktober 2022. Aku pulang ke desa Ledok Sambi, tempat di mana tubuh ini dilahirkan oleh wanita hebat itu di tahun 1995 lalu. Kuputuskan untuk mengambil cuti karena tidak sempat libur di lebaran Idul Fitri.

Tanpa sengaja, aku beradu tatap dengan Ismi. Gadis itu sedang menyapu halaman rumahnya saat aku keluar hanya untuk merenggangkan tubuh dan menghirup udara pagi.

Ternyata, rumah peninggalan Pak Suryo dan almarhumah istrinya itu dibeli oleh keluarga Ismi. Jadilah, mereka tinggal berhadapan dengan ibu dan bapak.

Setiap sore, ibu akan mampir ke rumah mereka, entah sekadar berbagi makanan atau mengobrol hingga petang. Bapak akan bergantian setelah salat magrib, lalu pulang sebelum jam sepuluh malam karena Bapak masih bekerja sebagai kepala sekuriti untuk desa wisata Ledok Sambi.

Kurasakan hatiku berdenyut setiap kali melihat Ismi. Meski gadis itu tidak memberi respon setiap kali beradu tatap denganku, tetap saja aku tidak ingin menyerah sampai di situ.

Puncaknya di makan malam keluarga yang dirayakan oleh keluargaku. Mereka mengundang keluarga Ismi ke rumah, dan saat itulah di depan semua orang kuutarakan maksud untuk meminang Ismi.

Orang tuaku terkejut, mereka hampir serangan jantung. Orang tua Ismi terdiam cukup lama, mereka saling berpandangan, sedangkan pujaan hatiku hanya menunduk.

Setelah meyakinkan keluarga Ismi berulang kali melalui bapak dan ibu, akhirnya kami dinikahkan di awal November 2022. Kurang dari satu bulan pertemuan dan aku resmi memiliki Ismi.

“Sudah, ngayal mulu kamu!” Ibu menegurku.

Rupanya, bukan hanya ibu saja, ada banyak mata yang memandang ke arah diriku. Entah sudah berapa lama aku tertegun begini sampai tidak sadar dengan kondisi di sekitar.

“Ah, maaf, Bu?” balasku malu-malu.

Aku menundukkan wajah, memandangi jemari yang dihiasi henna di ujungnya. Lalu, sempat aku melirik Ismi di samping, dia sibuk meremas jemari seperti gugup.

Ingin rasanya kugenggam kedua tangan yang putih itu, tapi di sini masih ada banyak orang dan Ismi pasti akan tidak nyaman. Ada baiknya aku menahan sampai kami diberikan waktu berdua saja di kamar nantinya.

“Makan ... makan, Mbak ... yuk, makan? Kayanya ada yang buru-buru mau masuk kamar!” ledek ibu mertuaku.

Segera aku menengadahkan kepala. Rasa malunya menjalar dengan hebat sampai aku tidak mampu mengelaknya sedikit pun. Mereka rupanya memandangi kami berdua yang hanya diam sejak tadi.

Maklum saja, kami tidak saling kenal, dan baru satu bulan langsung menikah. Jangankan berpacaran seperti orang kebanyakan, mengobrol saja ditemani orang tua. Aku benar-benar menghargai Ismi yang merupakan wanita solihah, Insya Allah. Karena itulah, tidak ingin aku berlama-lama mendambanya, apa lagi aku sudah siap secara mental dan batin untuk menikah.

Begitulah makan malam berakhir. Ibu dan bapak hendak berpamitan karena jam sudah menunjuk angka sepuluh malam.

Beliau tersenyum padaku dan Ismi yang berdiri bersebelahan. Dia juga menunjuk koper yang sudah dikemas oleh ibu untuk persediaan selama di rumah Ismi.

“Hm, Bapak mau ngobrol sebentar, Reza?” ucapnya saat ibu dan ibu mertuaku berjalan keluar dari rumah.

Tinggallah aku sendiri dan bapak. Ismi sudah lebih dulu masuk ke dalam untuk mempersiapkan kamar pengantin kami berdua. Sedangkan bapak Ismi menyusul istri dan besannya.

“Kenapa, Pak?” balasku.

Kutemukan raut wajah bapak berubah. Beliau seperti sedang memikirkan sesuatu hingga langsung menarik lenganku ke arahnya.

Aku diajaknya ke satu sudut ruangan yang jauh dari kamar Ismi. Dia memintaku tetap diam di sana, lalu berbicara dengan suara setengah berbisik.

“Nak ... kamu sudah menikahi Ismi, anak teman Bapak.”

“Iya, Pak!” sahutku. Sudah aku ketahui hal itu, namun kenapa Bapak masih membahasnya lagi?

“Dengar Bapak, ya? Apa pun yang terjadi di masa depan nanti, kamu harus mempertahankan pernikahanmu dengan Ismi.”

“Astagfirullah, Bapak?” Aku hampir memekik. Baru saja menikah tapi sudah diingatkan untuk tidak bercerai. Ini saja seperti baru makan tapi sudah diperintahkan berhenti.

“Ingat ini, sebelum kamu masuk ke kamar Ismi, ingat baik-baik kalau kamu sendiri yang mendesak Bapak dan ibu untuk menikahkan kalian. Jadi, bertanggungjawablah dengan keinginanmu sendiri,” pesan bapak terakhir kalinya seraya meremas pundakku.

Hal itu meninggalkan gejolak di dalam relung dada. Aku bingung, namun enggan bertanya sebab bapak langsung pergi begitu saja. Mereka berdua masih mengobrol di teras saat kuintip dari depan pintu kamar pengantinku.

“Baiklah, nanti kita pikirkan lagi ucapan Bapak, sekarang ... mari bertemu Ismi dulu,” lirihku seraya beranjak dengan perasaan berdebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status