Share

Bab 4: Upaya Keduaku

Bab 4: Upaya Keduaku

Sesuai dengan keinginan dari orang tua kami, aku dan Ismi kembali ke Jogja dengan mobil. Ah ya, aku belum menyebutkan soal mobil baruku, ya? Tahun lalu, aku meminang sebuah Civic putih karena saat itu belum punya keinginan untuk menikah dan seluruh uang yang kuhasilkan hanya untuk diri sendiri. Bahkan ibu dan bapak menolak menerima pemberianku dengan berbagai alasan.

Akhirnya, aku memilih memboyong mobil impian itu usai cicilan rumah lunas dan surat kepemilikan berpindah tangan. Sekarang, aku sudah punya fasilitas sempurna untuk menanggung Ismi dan calon anak-anak kami nanti.

Sepanjang perjalanan dari Desa Ledok Sambi menuju Kota Jogja, aku hanya berdiam diri di balik setir kemudi. Ismi juga melakukan hal yang sama, malah lebih sering melihat ke luar jendela.

Beberapa kali aku melirik ke arah Ismi. Gadis itu hanya sibuk menarik jilbabnya yang terbuat dari kain halus berwarna pink hingga membalut tubuh. Dia juga tidak membiarkan embusan angin menyapu kulitnya selain wajah dan dua telapak tangan.

“Ismi, apa tidak gerah?” lirihku kemudian.

Kami sudah berjalan selama dua puluh menit, namun rasanya seperti satu jam karena tidak ada yang berbicara sama sekali. Baik aku atau Ismi, belum ada yang berinisiatif memulai obrolan, apa lagi sampai mengungkit malam pertama kami yang berantakan.

“Ismi pakai jilbab dan gamis terus, bukannya gerah, ya?” tanyaku kedua kalinya.

Padahal, ibu sendiri berpakaian seperti Ismi. Namun, aku tetap saja ingin mendengar ucapan dari bibirnya itu. Alasan kenapa dia se-salihah ini di usia yang sangat muda saat seluruh dunia sedang diserang oleh outfit trendy, kekinian dan cukup terbuka.

Benarkah ini karena ajaran dari orang tuanya semata atau dia memang melakukan semuanya atas kesadaran pribadi?

“Serasa nyaman seperti ini, Mas.” Dia menjawabku dengan suara sendu itu lagi, seolah ada sesuatu yang mendesak dada hingga terasa berat dan menggoyangkan pita suaranya.

Kutolehkan wajah ke arah Ismi, hatiku bergetar hanya dengan melihat sisi kanan wajahnya. Garis paras Ismi memesona hingga memabukkan diriku sampai aku tergugah untuk beberapa detik dan lupa jika kami sedang mengemudi.

“Mas, awas!” Dia memekik untuk kedua kalinya sejak malam itu.

Aku terkejut, langsung meluruskan pandangan. Sebuah mobil Avanza mengambil jalur kanan untuk menyalip sebuah truk dan hampir saja bertubrukan dengan Civic-ku.

Syukurnya mobil hanya oleng sedikit, tidak ada benturan apa pun termasuk kami berdua. Segera aku menepi ke bahu jalanan demi memeriksa kondisi Ismi. Aku mengkhawatirkan keadaan Ismi andai apa yang terjadi malam itu terulang kembali. Sebab, aku belum tahu benar apa pemicu kepanikan Ismi yang luar biasa serta dampak dari terjadinya hal itu.

“Maaf, Ismi?” ujarku seraya memerhatikannya. Bahkan saat aku menggenggam kedua tangannya, Ismi tidak bereaksi berlebihan. Dia terus menegaskan jika tidak ada yang terjadi pada dirinya akibat kejadian itu.

“Kita lanjut saja, Mas. Tidak apa-apa, tidak ada yang terluka,” ujarnya masih dengan intonasi yang sama.

Hal itu tentu membuatku bingung. Dia begitu tenang saat mobil kami hampir bertabrakan, namun memekik histeris begitu aku tidak sengaja menubruk dirinya.

Meski demikian, aku mencoba untuk tetap tenang dan melanjutkan sisa perjalanan kami sesuai dengan keinginan Ismi. Berulang kali aku merapal do’a agar kami tiba di rumah dalam keadaan selamat.

Tidak sabar ingin kutunjukkan pada istri cantikku itu bagaimana rumah yang sudah kulunasi dalam jangka waktu lima tahun. Meski baru tipe 80 dengan tiga kamar, tapi sudah cukup luas untukku dan keluarga kecil nantinya.

“Semoga kamu suka, Ismi?” lirihku saat kami tiba di depan rumah.

Ismi melirik bangunan yang baru saja aku sebutkan. Manik matanya tidak terlihat kagum, hal lain yang membuatku sebenarnya cukup minder. Sekilas, aku yakin benar jika kehidupan Ismi sebelum pindah ke desa jauh lebih mewah dibanding yang terlihat, karena itulah manik matanya bahkan tidak berkedip meski suaminya sudah memiliki Civic dan rumah sendiri.

Mengusir semua kenangan itu, aku langsung membuka pintu rumah. Ismi mengekor dari belakang. Telapak kakinya yang berbalut kaos kaki itu menapak di keramik rumah kami, dan dia masih sangat tenang.

“Di mana kamarnya, Mas?” tanya Ismi kembali. Dia menarik satu koper berat seorang diri meski aku berusaha untuk membantunya.

“Yang ini, Ismi. Ini kamar paling luas di rumah ini,” jelasku seraya membuka pintu kamar.

Sejenak aku diam di belakang Ismi. Apakah dia akan kecewa dengan ruangan bernuansa laki-laki itu? Tapi seluruhnya cukup bersih dan wangi, perabotannya lengkap serta tertata rapi. Saat membeli rumah ini, aku meminta bantuan temanku yang bekerja sebagai arsitek untuk mendesain ruangan.

“Bagus, Mas. Bersih juga.”

“Ah, syukurlah!” ucapku seraya mengelus dada.

Setelahnya, kami saling membantu mengisi lemari dengan pakaian Ismi. Lalu, berbelanja ke salah satu supermarket dan pasar untuk memenuhi lemari makanan dan kulkas. Semuanya aku upayakan untuk memberikan kehidupan ternyaman bagi Ismi. Semoga saja kami bisa menjalani kehidupan ini bersama. Setidaknya begitulah yang aku harapkan di awal pernikahan.

--

Malam kedua di Jogja bersama Ismi, aku mencoba untuk mendekatinya kembali setelah memastikan perasaannya baik dan tenang. Saat dia sedang duduk di meja nakasnya sembari mengusap wajah dengan berbagai skincare, aku mendatangi Ismi, menyentuh lembut pundaknya.

Kutatap pantulan wajah Ismi yang berkilauan di cermin. Satu hal yang membuatku sangat kecewa adalah Ismi tetap memakai jilbab saat tidur bersamaku.

“Apa harus pakai jilbab terus, Ismi? Inikan di kamar, hanya kamu dan aku,” lirihku seraya membangun suasana.

Ismi tidak terpengaruh meski aku mulai menyentuh kedua pundaknya. Hanya saja, dia terlihat terganggu hingga berulang kali menggoyangkan kedua bahu.

Tidak boleh terlepas, aku harus membuka pintu yang menghalangi kami berdua selama ini. Ismi adalah istriku dan sudah sewajarnya sentuhan fisik terjadi. Ditambah lagi, kami adalah pengantin baru yang seharusnya sibuk meneguk manisnya pernikahan.

Sentuhanku menjalar lebih jauh. Aku mencoba membuka hijab yang digunakan oleh Ismi, dan dirinya terlihat menyetujui. Saat helaian jilbab itu terjatuh ke lantai, aku bertatapan langsung dengan Ismi yang rupawan serta rambutnya yang hanya sepundak.

Terdiam diri ini cukup lama. Aku tidak pernah menduga jika wajah Ismi tanpa jilbab akan semenggemaskan ini. Bentuk mukanya oval kecil, dagunya lancip dan lehernya jenjang putih. Aku meneguk ludah mendapati pemandangan ini.

“Ismi?” lirihku. Gagal sudah kewarasan di dalam diriku. Rasanya ingin sekali menerkam Ismi dan membuatnya sempurna sebagai seorang istri dari Reza Suryansyah.

“Apakah kamu keberatan kalau aku ....”

Ismi tidak menjawab diriku, melainkan bergerak dari tempat duduknya. Dari sikapnya, seolah dia berkata jika dirinya setuju dengan permintaanku barusan.

Barulah, aku membawa Ismi ke ranjang yang kemarin malam kami tempati berdua. Ismi hanya tidur sembari memeluk guling dan menghadap ke arah luar ranjang, sedang diriku berusaha menahan diri untuk tidak sembarangan menyentuh Ismi.

Ismi duduk di tepian ranjang, dia diam meski aku mencoba untuk menyentuh pucuk kepalanya dan membelai setiap helaian rambut itu. Ismi memejamkan kedua matanya, namun sangat erat seperti sedang memaksa. Terlebih lagi, dua tangannya meremas gamis hingga buku jemarinya menjadi putih.

“Ismi ... apa Ismi siap dan ridha?”

Gadisku itu menganggukkan kepala, barulah aku berusaha mengangkat wajahnya dan hendak menyentuh bibir yang merekah itu. Baru saja bersentuhan, dan ingin aku melanjutkannya ke dalam percumbuan yang lebih hangat, tiba-tiba saja tubuh Ismi bergetar.

Ismi mendorong diriku dengan keras hingga kepala belakangku membentur meja riasnya. Lalu, dia menangis, berteriak seperti ketakutan. Semua yang terjadi malam itu juga terulang di kamar ini.

Bedanya, Ismi berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan membalut tubuh menggunakan selimut tebal. Dia menahan suaranya agar tidak terdengar hingga keluar kamar apa lagi sampai ke tetangga.

“Pergi ... pergi, jangan sakiti aku!” pekiknya.

Aku berusaha berdiri dan menopang tubuh yang goyah pada meja rias. Kepalaku sakit, seperti ditikam belati. Lalu, aku menatap Ismi yang bersembunyi di balik selimut. “Ismi ... istriku? Ini aku suamimu,” lirihku putus asa karena sekali lagi aku gagal membahagiakan Ismi.

--

Malam itu, aku berusaha keras memahamimu,

Namun, berulang kali gagal kulakukan hal itu.

Maaf jika cintaku menyandera bahagiamu

-@bemine_3897

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status