Share

Terjerat Pesona Ayah Billionaire Muridku
Terjerat Pesona Ayah Billionaire Muridku
Author: Ede Thaurus

BAB 1

"Anak saya sudah dua kali mengikuti ujian ini, tapi tidak lulus juga. Apa anda bisa mengajar? Atau anda cuma sekedar menginginkan uang?" 

Sarah memandang wanita muda yang pakaiannya mencolok itu dengan tenang. Dia sudah biasa dimarahi oleh para orangtua yang merasa setelah memasukkan anaknya ke sekolah atau tempat kursus maka mereka bisa lepas tangan.

"Ibu pikir belajar piano sekali seminggu selama setengah jam cukup? Sudah berapa kali saya meminta ibu untuk mengawasi anak ibu agar berlatih setiap hari. Karena setiap kali les kami mulai lagi dari awal. Selain itu, selama setahun ini anak ibu bisa dibilang hanya les selama tujuh bulan, sisanya izin karena pergi jalan-jalan atau anaknya ketiduran."

Wanita muda itu baru akan membuka mulutnya ketika Sarah mengarahkan telapak tangannya ke wajah wanita itu.

"Silakan ibu pindahkan anak ibu ke guru yang lain. Tapi kalau ibu terus bersikap seperti ini, sampai kapanpun anak ibu tidak akan pernah lulus," ucap Sarah lalu segera masuk kembali ke dalam kelas dan menguncinya.

"Dasar sombong! Kau pikir kau siapa berani bicara sekasar itu kepada orangtua murid! Lihat saja, aku pasti akan menghancurkanmu!" teriak wanita itu sambil menggedor pintu kelas Sarah dengan keras.

Sarah membuang napas dengan keras, sambil melemparkan buku-buku piano yang dia pegang ke atas meja. Kepalanya terasa sakit dan jantung berdetak sangat cepat. Sarah langsung duduk karena lututnya terasa sangat lemah. 

Sarah sudah berusia 30 tahun, dia sudah menjadi guru musik selama sepuluh tahun. Tapi persoalan seperti ini tetap saja menguras energinya. Para orangtua muda yang selalu saja merasa guru adalah anak buahnya, hanya karena mereka membayar uang sekolah atau uang kursus.

Rasanya Sarah ingin segera pulang, namun dia masih memiliki tiga kelas lagi hari ini. Maka dia segera mencuci wajahnya dan bersiap menyambut murid-muridnya.

***

"Bisa bicara sebentar?" tanya Rachel, pemilik Sekolah Musik Cantilena, tempat Sarah mengajar. Tepat setelah Sarah menyelesaikan kelasnya.

"Ada apa? Apa kau mau membahas tentang orangtua murid yang mengamuk tadi?" tanya Sarah dengan santai.

Pemilik sekolah musik ini adalah teman kuliah Sarah. Ayahnya seorang konglomerat, karena itu dia bisa membuka sekolah musik meskipun tidak memiliki latar belakang musik. Sarah membantunya mendirikan sekolah musik ini enam tahun yang lalu.

"Apakah kau tidak bisa sedikit lebih sabar  menghadapi mereka?" tanya Rachel dengan lembut.

"Aku bukan anak buah mereka, bahkan aku bukan anak buahmu. Kita partner begitupun mereka dan aku. Kalau orangtua tidak mau bekerja sama dan menyalahkan guru karena mereka tidak mau melakukan bagiannya, menurutmu bagaimana aku harus bersikap?" jawab Sarah dengan penuh emosi.

"Iya, aku mengerti." Rachel menghembuskan napas dengan keras.

"Tapi bagaimanapun juga mereka mengeluarkan uang, jadi tidak bisa disalahkan kalau mereka sedikit menuntut. Aku mohon, bekerjasamalah dengan mereka," pinta Rachel membujuk Sarah yang keras kepala.

"Aku tidak bisa, kau saja yang urus mereka," tegas Sarah.

"Baik, kalau begitu aku akan membuat kebijakan baru untukmu. Mulai bulan ini, kau hanya akan mengajar murid-murid dewasa. Murid anak-anak akan aku alihkan ke guru yang lain." Sarah menatap Rachel dengan tajam.

"Ini demi kebaikanmu dan sekolah musik ini. Paling tidak kau tidak perlu lagi bertemu dengan orangtua yang menuntut macam-macam," lanjut Rachel yang sedikit gentar melihat mata Sarah.

"Oke, terserah padamu saja!" jawab Sarah ketus lalu segera meninggalkan sekolah musik itu.

Mengajar orang dewasa berarti berkurangnya setengah pendapatan. Murid dewasa jumlahnya tidak sebanyak anak-anak, dan sebagian dari mereka tidak akan bertahan lama. Ada yang hanya belajar selama beberapa bulan dan kalau mereka tertarik mungkin bertahan selama setahun.

Sarah menyadari kalau Rachel sedang menghukumnya dengan cara yang halus.

***

"Kau sudah datang? Sepertinya malam ini pengunjung agak ramai, jadi tolong mainkan lagu yang bersemangat," ucap pemilik Kafe Kofee tempat Sarah bekerja sebagai penyanyi dan pemusik tetapnya.

"Baik," jawab Sarah dengan lemah. Lalu segera berjalan ke arah keyboard yang berada di pojok ruangan.

Sarah akan bermain musik selama satu setengah jam lalu istirahat selama setengah jam sebelum bermain musik lagi selama sejam dan pulang. Besok pagi dia akan mengajar musik di Sekolah Pioneer, sekolah mahal yang ditujukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu dilanjutkan dengan mengajar musik di Cantilena dan terakhir tampil di kafe ini.

Sudah hampir tiga tahun Sarah melakukan hal ini selama 5 hari dalam seminggu. Sementara setiap Sabtu pagi, selama 3 jam, dia bekerja sebagai penghibur yang akan bermain musik dan bernyanyi untuk para jompo yang dititipkan keluarganya, di sebuah panti wreda mewah dan berbiaya cukup mahal. Panti Wreda itu berada di pinggir kota, namun bayarannya yang cukup tinggi membuat Sarah terus bertahan. Setelah itu, dia kembali mengajar di Cantilena dan pada malam harinya dia akan kembali bermain di kafe. 

Hari minggu yang seharusnya menjadi hari liburnya dihabiskan Sarah untuk mengajar musik bagi anak-anak ekspatriat dari pagi hingga sore hari. Setelah itu, dia baru akan menghabiskan waktunya untuk tidur dan bersantai di rumah. Karena minggu malam kafe tempat dia bekerja biasanya diisi oleh pemusik tamu.

"Ada apa denganmu? Kau tampak tidak bersemangat. Apa kau sakit?" tanya salah satu pelayan kafe yang sering menemani Sarah ketika dia beristirahat.

"Aku hanya lelah," jawab Sarah sambil memasukkan makanan yang disajikan untuknya ke dalam mulut. 

Setiap malam Sarah diberikan jatah makan dan minum dari kafe, diluar bayaran yang dia terima tiap bulan. Itulah alasan dia tetap memaksakan dirinya untuk terus bertahan menjadi pemusik kafe, karena tampil di kafe artinya dia tidak perlu membeli makan malam.

"Bersemangatlah, barusan ada pengunjung di ruangan VIP. Siapa tahu kita bisa mendapatkan tips yang besar bila terlihat bersemangat," seru si pelayan sambil mengepalkan tangannya memberi semangat.

"Tamu VIP? Baiklah," jawab Sarah terpacu, lalu segera menghabiskan makanannya.

Sarah segera memulai permainan pianonya begitu waktu istirahatnya selesai. meskipun Sarah tidak bisa melihat ke dalam, tapi dia tahu bahwa para tamu di ruangan VIP bisa menyaksikan dirinya dari kaca yang membatasi mereka. Kaca memang sengaja dibuat gelap dari luar agar privasi para tamu VIP terjaga.

"Mereka meminta dinyanyikan lagu ulang tahun," bisik salah seorang pelayan sambil menunjuk ke ruangan VIP. Sarah mengangguk dan mulai menyanyikan dua lagu ulang tahun dengan penuh semangat. Tepat setelah Sarah selesai memainkan lagu yang yang kedua Sarah dipanggil.

"Mereka memintamu masuk ke ruang VIP, sepertinya kau akan mendapat tips yang cukup besar," bisik pelayan tadi dengan iri.

Sarah tersenyum bahagia. Dia berjalan dengan yakin ke ruangan VIP sambil membayangkan uang tips yang akan dia terima malam ini.

Tapi ... dia mematung begitu melihat orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. Dia mengenali sebagian dari mereka.

Seorang gadis cantik yang tampak jauh lebih muda dari Sarah berdiri dan menyapanya dengan ramah.

"Kakak Sarah, apa kabar?"

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Agung99
bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Nanda Utami
seru, lanjut thor
goodnovel comment avatar
Megarita
sabar Sarah, memang seperti itulah susah nya jdi seorang guru...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status