Setelah dipastikan demamnya benar-benar sudah turun, Damian diperbolehkan pulang keesokan paginya. Kaluna bersyukur mereka bisa pulang dengan cepat. Karena meski fasilitas di rumah sakit sangat baik, tapi tidak ada yang menggantikan kenyamanan rumah.Sepulangnya dari rumah sakit Damian belum mau jauh-jauh dengan maminya. Anak itu bahkan merengek untuk tidur di kamar Kaluna karena tidak ingin ditinggal sendiri. Kaluna dengan sabar menemani Damian dan terus mengatakan bahwa dirinya tidak akan pergi atau meninggalkan anak itu ke manapun.Sejak mereka pulang juga Kaluna hanya bertemu dengan Edgar satu kali saat tengah malam ia ingin mengisi ulang teko air miliknya. Wanita itu mendapati Edgar yang baru pulang dan hendak menaiki lift ke lantai atas. Kaluna yang memilih turun dengan tangga hanya memperhatikan punggung lelah Edgar menghilang di balik pintu lift.Ia sengaja tidak menyapa pria itu karena ingin Edgar tidak berlama-lama menuju kamarnya untuk istirahat. Pikirnya, mereka bisa berte
Pameran lukisan Kaluna sukses berjalan selama satu pekan. Pameran itu tidak pernah sepi pengunjung, bahkan kian ramai di hari-hari terakhir. Menyusul kesuksesan pamerannya, buku baru Kaluna juga tak kalah ramai peminat, bahkan buku tersebut kini sudah masuk dalam jajaran bukubest sellerdi toko-toko buku.Damian juga sudah mulai kembali masuk sekolah sejak kemarin, setelah Kaluna berjanji akan selalu mengantar dan menjemputnya. Edgar sendiri masih sibuk dengan urusan masalah proyeknya yang belum juga selesai. Pria itu selalu pulang larut dan nyaris tidak bertemu Kaluna kalau wanita itu tidak bangun pagi-pagi sekali setiap harinya.Kaluna sengaja bangun lebih pagi dari biasanya untuk menemani Edgar sejenak sebelum berangkat ke kantor. Terkadang Kaluna meminta Chef Hardy menyiapkan bekal sederhana untuk Edgar, karena tahu pria itu tidak akan sarapan apapun kecuali secangkir kopi hitam pekat yang dibawakan Daniel.Seperti pagi ini, pukul enam, s
"Gimana, Kal? Ini mau langsung gue salurin aja atau lo mau pilih-pilih dulu lembaga mana yang mau lodonate?""Kal?""Kaluna?""Woy, Kal!"Kaluna tersentak dari lamunannya setelah Cintya menyeru namanya sambil menepuk lengannya kencang. Wanita itu mengerjap perlahan sebelum membawa pandangannya pada Cintya yang menatap penuh raut heran."Gimana, Cin?" tanya Kaluna linglung."Lo lagi banyak pikiran apa gimana, Kal? Gue hitung-hitung udah tiga kali lo ngelamun dari gue dateng tadi," Cintya sampai mengerutkan alisnya, meneliti Kaluna yang pikirannya entah berada di mana."Maaf, Cin. Aku emang lagi kepikiran beberapa urusan jadi nggak fokus," Kaluna mengusap wajahnya dan memijat pangkal hidung. "Sorry, tadi kita lagi bahas apa, Cin?" lanjutnya bertanya.Cintya menghela napas, tapi tetap mengulangi apa yang tadi dibicarakannya, yaitu soal hasil lelang lukisan Kaluna di pameran kemarin yang direncanakan u
Damian kembali demam. Anak itu terus mengigau dalam tidurnya, memanggil-manggil sang mami. Tubuhnya penuh keringat dingin, tapi badannya sangat panas. Sudah sejak selesai makan malam tadi Kaluna menemani Damian tidur di kamar anak itu. Tangan kanannya memegang sebuah handuk kecil untuk mengusap keringat di dahi dan leher Damian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Kaluna belum bisa memejamkan matanya untuk istirahat, padahal tubuhnya sudah terasa lelah. Sedari tadi otaknya terus berputar, memikirkan alasan mengapa Liliana menjadikan Damian sebagai target kekerasan.Getar ponsel di pangkuannya menyadarkan Kaluna dari pikiran yang ruwet. Sebuah pesan masuk dari Edgar ia dapati di layar ponselnya. Kaluna membuka pesan itu dan membacanya.Mas Edgar:Malam ini saya nggak pulang.Me:Mas tidur di kantor?Mas Edgar:Nggak, saya tidur di hotel dekat kant
Sejauh ini perkembangan kasus tuntutan Kaluna pada Liliana berjalan lancar. Ia sedikit beruntung karena urusan perusahaan Edgar yang cukup berlarut-larut bisa menjauhkan pria itu dari kabar tentang kasus anak-anaknya untuk sementara waktu.Sudah sejak kemarin, pihak kejaksaan mengirimkan surat panggilan untuk Liliana. Gadis belia itu diminta untuk hadir pada pemeriksaan pertama siang ini. Tapi, entah mengapa sudah lewat tiga puluh menit, gadis itu belum juga memunculkan batang hidungnya di kantor kejaksaan.Kaluna sengaja datang untuk memastikan Liliana benar-benar muncul, tapi orang yang ditunggunya tidak kunjung terlihat. Kaluna melirik pada Sarah yang hari ini menemaninya."Kamu yakin dia udah nerima surat panggilan itu?" tanya Kaluna sangsi.Sarah mengangguk cepat. "Sudah, Bu. Liliana sendiri bahkan yang menerima surat itu. Saya yakin dia sudah baca isinya."Kaluna menghela napas. Entah Liliana memang sedang ada urusan sehingga tidak bisa datan
Kalyna dalam perjalan pulang ke kos-kosannya dengan hati senang dan ringan. Dirinya baru saja mengunjungi salah satu pameran lukisan yang sudah menjadi incarannya sejak awal bulan lalu. Sebagai pecinta seni yang gagal meniti karir dalam bidang kesukaannya itu, Kalyna banyak menghabiskan waktu liburnya untuk mengunjungi galeri-galeri seni atau event-event pameran seni yang, syukurnya, cukup sering digelar di Jakarta. Karena terlalu senang dan masih terbayang keindahan lukisan yang dilihatnya di pameran, Kalyna menyebrang jalan sambil melamun, dengan pikiran yang masih melayang. Alhasil, dia tertabrak sebuah truk yang melaju lumayan kencang dari arah kanannya. Kalyna merasa dirinya tengah sekarat dan pasrah jika ia bertemu dengan malaikat maut saat itu juga. Hal terakhir yang diingatnya sebelum kehilangan kesadaran adalah salah satu lukisan favoritnya selama di pameran tadi, lukisan dengan judul “Irises”. Kalyna terbangun dengan kepala yang luar biasa sakit. Ia mendapati dirinya terbar
Ayudia Kalyna Prameswari, lulusan magister Manajemen salah satu universitas di Bandung, bercita-cita untuk bekerja di bidang seni rupa karena kecintaannya pada karya-karya lukis, kerjainan, tapestri, patung, maupun fotografi. Sayang beribu sayang, meskipun Kalyna—begitu ia disapa—sangat mencintai seni, ia tidak memiliki kemampuan di dalamnya. Sebagaimana kebanyakan orang, mahakarya terbaiknya adalah gambar dua gunung dengan sawah dan matahari di tengah-tengahnya. Kalyna pernah mencoba untuk membuat sebuah lukisan abstrak semasa kuliah, saat itu ia diajak oleh salah satu temannya dari jurusan seni untuk ikut merayakan acara pekan seni di kampus. Kalyna masih ingat begitu jelas ekspresi wajah Nusa, temannya itu, saat melihat hasil akhir lukisan yang ia buat. Nampak jelas Nusa menatap lukisan Kalyna dengan pandangan ngeri bercampur heran, tapi cowok baik hati itu masih berbaik hati mengatakan bahwa lukisan Kalyna tidak begitu buruk. Tentu saja Kalyna tidak sebodoh itu untuk percaya ka
Kalyna merasakan kesadarannya berangsur-angsur kembali. Ia mencoba membuka matanya yang terasa berat, dan begitu berhasil membuka sedikit kedua kelopak matanya ia langsung didera pusing yang sangat hebat karena cahaya terang yang dilihatnya. Perutnya serasa diaduk, ia mulai merasa mual, dan tanpa aba-aba langsung memuntahkan isi lambungnya. Kalyna bisa mendengar samar-samar suara gaduh di sekitarnya, orang-orang berbicara dengan cepat, pintu digeser, dan badannya yang dituntun untuk kembali berbaring. “Ibu Kaluna?” panggil seseorang yang terasa berada di samping kiri Kalyna. “Ibu Kaluna?” orang itu kembali memanggil. Kalyna kembali mencoba membuka matanya, kini dengan pengelihatan yang lebih baik, matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya di ruangan. Ia mencoba berkedip beberapa kali, pandangannya yang buram mulai tampak jelas. Kalyna mendapati seorang pria peruh baya dengan wajah serius tengah menatapnya. Ingin bertanya, tapi tenggorokannya terasa perih, jadi ia memilih berkedip den