Napas Revan terengah-engah naik turun setelah percintaan panas mereka. Revan sendiri yang mengatakan kalau dia tidak akan memasuki Dara kedua kali, tetapi omongan pria itu hanya bulshit semata, Revan merasa tubuh dara sangatlah candu sampai-sampai ia ingin lagi dan lagi.
Saat ini Dara tengah tertidur pulas setelah dua ronde bercinta dengannya. Perempuan itu terlihat kecapean karena keringat bercucuran di keningnya. Revan memiringkan tubuhnya dan menyangga kepalanya dengan siku. Satu tangannya mengelus kening Dara yang penuh dengan keringat, pun dengan cowok itu yang menyelipkan anak rambut Dara ke telinga perempuan itu.
Sungguh sejak dulu Revan mengagumi Dara, perempuan cantik, manis dan pekerja keras, sayangnya Dara selalu menolaknya membuat revan membenci gadis itu.
“Eughhh ….” Dara melenguh pelan dengan bibir terbuka. Revan menatap bibir Dara yang sangat manis karena sudah dia cium berkali-kali.
Tiba-tiba Dara membuka matanya membuat Revan kaget. Revan salah tingkah karena terciduk menatap Dara tanpa berkedip.
“Jam berapa ini?” tanya Dara.
“Baru juga dua ronde sudah lemas, membuang-buang waktuku,” jawab Revan sewot.
Dara mencengkram erat selimut yang melilit tubuhnya. Namun, Revan menurunkan selimut itu paksa sampai tubuh atas Dara kelihatan. Revan benar-benar pria cabul.
“Tolong jangan begini lagi! Kita belum menikah,” ucap Dara pelan.
“Apa kau pikir aku mengeluarkan uang sedikit, hah? Aku harus merogoh uang banyak demi pengobatan Ayah dan Adikmu. Bahkan kalau pun kamu menggantinya dengan percintaan panas semalaman penuh, belum bisa mengganti semua uangku,” seloroh Revan tidak ada santai-santainya.
Dara terdiam mendengar ucapan Revan. Pun dengan Revan yang kini menjauhkan tubuhnya dari Dara.
“Eum, aku janji tidak akan menolak setelah kita menikah,’’ ujar Dara.
“Kenapa harus setelah menikah kalau kita bisa melakukannya sekarang?” tanya Revan dengan senyum sinis di bibirnya.
Ya, Dara menyadari kalau tidak ada bedanya mau dia berhubungan dengan Revan setelah atau sesudah menikah, tetapi Dara tidak ingin hamil dalam waktu dekat apalagi saat dia belum menikah. Karena bagi Dara hal itu hanya menciptakan masalah baru.
“Aku harus pergi,” ujar Dara membuat Revan menatap gadis itu tidak suka.
“Kamu mau kemana lagi?’’ tanya Revan.
“Adikku tidak ada yang menunggu di rumah sakit,” jawab Dara.
Mendengar kata ‘adik membuat Revan bertambah kesal, cowok itu mengingat dia tidak dianggap sama sekali dengan Kaivan.
“Aku ingin meremukkan tulang belulang adikmu dengan cepat. Dia bocah paling kurang ajar yang pernah aku temui, aku datang membawa banyak makanan untuknya, tapi dia malah menutup wajahnya,” seloroh Revan menggebu-gebu.
“Kamu mendatanginya?” tanya Dara kaget.
“Bukan hanya mendatanginya, tapi juga membelikannya makanan. Sialan memang Dokter Arhan yang caper, hanya membelikan robot murah, aku bisa membelikan tokonya,” oceh Revan yang syarat akan emosi.
Dara tersenyum tipis membuat Revan bingung. “Yang dibutuhkan anak kecil bukan seberapa mahal mainan itu, tapi seberapa tulus orang yang memberi,” ujar Dara memainkan jari jemarinya.
“Ini memang salahku. Setiap kali Kaivan meminta mainan, aku tidak bisa membelikan untuknya. Jadi, setiap kali dibelikan oleh orang, dia akan senang. Tidak peduli mahal atau murah, pasti dia akan menghargainya, dia adikku yang manis,” oceh Dara lagi seraya tersenyum membayangkan wajah adiknya.
“Gak usah ngomongin cowok lain!” titah Revan kumat emosinya.
“Siapa yang ngomongin cowok lain?” tanya Dara bingung.
“Itu, kamu menceritakan tentang Kaivan sambil tersenyum,” kata Revan.
“Tapi dia adikku, masih kecil,” jawab Dara.
“Tetap saja dia laki-laki,” ujar Revan tidak mau mengalah. Dara benar-benar bingung dengan jalan pikiran Revan yang marah saat dia menceritakan adiknya.
“Sudah ah, aku mau kembali ke rumah sakit,” ucap Dara segera memakai pakaiannya lagi dengan cepat. Revan turut memakai pakaiannya.
Dara lebih cepat dari Revan, perempuan itu bergegas pergi keluar dari kamar calon suaminya.
“Dara, aku akan mengantarmu!” pekik Revan.
Saat Dara membuka pintu utama rumah Revan, perempuan itu dikagetkan dengan seorang perempuan paruh baya dan wanita muda yang sangat cantik.
Selin tidak kalah kagat melihat tukang bersih-bersih di rumahnya berada di rumah anaknya. Pun dengan Dara yang saat ini menatap kikuk.
“Eh, Dara. Kamu baru membersihkan rumah Revan?” tanya Selin. Mau tidak mau pun Dara mengangguk.
“Oh iya, perkenalkan ini calon istri Revan. Namanya Angel,” ucap Selin menunjuk perempuan cantik di sampingnya.
Angel tersenyum menatap Dara sejenak, setelahnya perempuan itu melenggang pergi seraya menyenggol lengan Dara pelan.
Dara menoleh menatap ke arah Angel yang mendatangi Revan, pun dengan Dara yang melihat tangan Angel menyentuh bahu orang yang akan menikahinya.
Dara yakin dia tidak jatuh cinta dengan Revan, tetapi sekarang perasaan Dara begitu sakit melihat perempuan lain bersama Revan, terlebih Selin mengatakan kalau Angel adalah calon istri Revan. Sebenarnya yang istri Revan dirinya atau Angel? Dara merasa hanya barang bekas pakai, setelah dipakai sang pemakai bisa bebas dengan siapa saja sedangkan Dara tidak diperkenankan marah.“Permisi, Bu,” pamit Dara melenggang pergi dari hadapan Selin.
Selin membiarkan Dara pergi begitu saja. Sebenarnya Selin menyukai kepribadian Dara, tetapi di tidak ingin Dara menikah dengan Revan.
“Revan, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” tanya Angel.
“Aku capek, mau istirahat. Besok saja bicaranya,” jawab Revan menepis tangan Angel dari pundaknya.
“Revan, kami sudah capek-capek datang ke sini. Beginikah balasanmu?” tanya Selin memasuki rumah anaknya. Revan berdecak saat melihat Ibunya.
“Revan, contohlah Angel, dia anak yang menurut dengan orang tuanya. Meski perempuan dia bisa mengurus perusahaan besar. Dari sekolah sampai sekarang selalu unggul. Sedangkan kamu? Kamu selalu membantah ucapan Ibu,” oceh Selin.
“Revan, rumah mulai sepi saat kamu dan Risya sudah dewasa. Ibu pengen cucu,” tambah Selin.
“Kalau kamu menikah dengan Angel, pasti anak kalian—”
“Aku ada pasien kritis mendadak. Kalau Ibu pulang tutup saja pintunya!” sela Revan dengan cepat sembari berlari meninggalkan Selin dan Angel.
Sedangkan Selin yang ditinggal begitu saja pun tidak terima, perempuan itu mengejar anaknya. “Revan, kembali kamu!” titah Selin. Revan tidak peduli karena yang dia pedulikan sampai rumah sakit dengan cepat.Dara menangis sesenggukan saat Ayahnya kabur dari rumah sakit. Pihak keamanan pun sudah membantu mengecek cctv, tetapi hanya sampai Ayah Dara keluar kamar, arahnya kemana Ayah Dara menghindari lewat daerah yang ada cctvnya. Kini Dara berlari ke penjuru rumah sakit untuk mencari Ayahnya, beberapa perawat turut membantu. Dara berlari ke parkiran, saat membelokkan tubuhnya, Dara terkesiap karena tubuhnya menabrak seseorang. “Eh … maaf … maaf, saya gak sengaja,” ucap Dara menepuk-nepuk dada orang yang dia tabrak, setelahnya Dara bergegas pergi, tetapi tangannya ditahan oleh Revan. “Mau kemana?” tanya Revan. Dara mendongak, “Revan, kali ini jangan menyusahkanku. Aku lagi sibuk,” ucap Dara mencoba melepaskan tangan Revan dari tangannya, tetapi cekalan tangan Revan sangat kuat. Revan melihat gurat kepanikan yang ada di wajah Dara, “Ada apa?” tanya Revan. “Ayahku kabur dari rumah sakit,” jawab Dara. “Dokter Revan, pasien yang dijadwalkan operasi besok pagi kabur. Kemungkinan besar kare
Revan menuntun Ayah Dara masuk ke kamar pria itu lagi. Pun dengan Revan yang menyelimuti Sahrul dengan sabar. “Istirahat dulu ya, Pak. Akan kami atur ulang jadwal operasinya,” ujar Revan. Dara menatap Revan yang terlihat jauh lebih sabar daripada dengannya. Dara merasa melihat Revan sebagai orang lain karena sifatnya berbanding terbalik. “Dara, ayo keluar!” ajak Revan. “Aku mau di sini,” jawab Dara yang tidak ingin kecolongan lagi. Perempuan itu takut kalau diam-diam Ayahnya minggat. “Kalau kamu di sini, kamu membuat Ayahmu tertekan. Aku masih ingat bagaimana kamu marah kayak singa,” seloroh Revan terus menarik Dara untuk pergi. Dara pun menurut dengan Revan hingga Revan membawanya ke kamar sang adik. Di sana Kaivan tengah tertidur pulas dengan selimut yang jatuh karena bocah itu kalau tidur kebanyakan tingkah. Dara mengambil selimut dan bersiap menyelimuti adiknya. Namun, selimut itu diambil paksa oleh Revan. “Eh selimutnya,” kata Dara kaget. Revan menyelimuti tubuh Kaivan,
“Yeeyyy naik balon!” pekik Kaivan dengan heboh saat balon udara sudah terbang. Bocah itu tidak ada takut-takutnya sama sekali saat lihat bawah. “Kakak Dokter hebat banget. Kakakku hanya beliin balon tiup, tapi Kakak Dokter balon beneran,” ucap Kaivan lagi masih bertepuk tangan. Dara mengusap puncak kepala adiknya penuh sayang. Bukan hanya Kaivan yang senang, tetapi juga Dara. Ini impian Dara saat kecil, bisa naik balon udara bersama Ayahnya. Kalau bukan karena Revan, mungkin saat ini Dara tidak bisa naik balon udara. Revan melihat Dara yang tersenyum sambil menatap ke depan, rambut panjang perempuan itu berkibar diterpa angin, wajah Dara dari samping sangatlah cantik sampai tidak membuat Revan berkedip. “Kaivan, lihat! Orang-orangnya kelihatan kecil,” ujar Sahrul menunjuk orang-orang di bawah. Kaivan menatap ke bawah dengan senang, setelahnya bocah itu menatap Dokter Revan yang tengah menatap Kakaknya sampai tidak berkedip. Kaivan sudah tidak takut lagi dengan Revan karena sudah
Revan tersenyum di ruangannya seraya memainkan beberapa helai rambut panjang milik Dara. Dua hari yang lalu saat naik balon, tidak sengaja kepala Dara mengenai dada Revan. Saat Dara menarik kepalanya, rambut perempuan itu tertinggal di kancing kemeja Revan. “Waaah, Dokter itu orang yang berdedikasi tinggi banget ya. Menjadi Dokter kanker membuat Dokter mengumpulkan rambut, pasti untuk disumbangkan.” Suara seorang pria membuat Revan yang awalnya tersenyum langsung berekspresi datar. Revan menatap Dokter koas yang tersenyum menatapnya. “Rambut saja membuat Dokter tersenyum,” tambah dokter koas itu lagi. “Kamu nganggur? Setor hafalanmu sekarang juga!” titah Revan membuat Vino menggeleng cepat. “Saya sibuk, Dok,” jawab Vino segera ngacir pergi begitu saja. Revan kembali tersenyum menatap rambut Dara, pria itu menyimpannya di dompet miliknya. Hanya rambut saja sudah senang. Revan mengambil data-data pasien dan segera pergi dari ruangannya. Cowok itu mulai keliling kamar untuk mengece
Malam ini Dara melipat baju-baju Revan yang tergeletak di ranjang. Baju-baju pria itu sungguh acakadul, hanya dicuci saja tetapi tidak kunjung dilipat. Malam ini juga Revan tengah ikut menangani Ayahnya yang operasi, sedangkan dirinya tidak diperbolehkan ke rumah sakit. Dara mengambil satu kain yang membuat perempuan itu tercekat, sebuah kolor warna hitam membuat Dara terus menatap ke arah benda itu. Sekarang bukan kolor yang ada di pikiran Dara, melainkan isi dari kolor itu. “Ekhem.” Suara deheman membuat Dara terkesiap, buru-buru perempuan itu melipat kolornya dan meletakkan di tumpukan baju. “Sebegitunya kamu melihat kolorku,” ucap Revan membuat Dara gelagapan. “Enggak, aku tidak melihatnya,” jawab Dara memasukkan tumpukan baju di lemari. Saat Dara berdiri sambil menata baju Revan, tiba-tiba Revan memeluk tubuh Dara dengan erat. Embusan napas Revan di ceruk leher Dara sungguh terasa sampai membuat Dara meremang. Napas Revan makin lama makin kencang. “Revan, mandilah dulu!” tit
“Risya, bagaimana menurutmu? Apa Dara akan memyukainya?” tanya Revan antusias sambil melihat k seluruh ballroom yang akan diadakan pernikahannya. Hari ini Revan langsung ke lokasi setelah pulang dari rumah sakit, bahkan Revan tidak ada niatan untuk ganti baju lebih dahulu. “Kak, Dara itu orangnya sederhana, begini dia sudah senang,” ucap Risya. “Tapi aku ingin pernikahan yang mewah untuknya,” jawab Revan dengan senyum yang mengambang di wajahnya. Risya menatap kakaknya dengan senyum yang juga tersungging di bibirnya. Hanya melihat senyum`kakaknya saja Risya sudah tau betapa kakaknya bahagia menyiapkan pernikahan ini. Sungguh Risya bersyukur tambatan hati Kakaknya adalah Dara karena dia mengenal perempuan itu dengan baik.“Aku akan memastikan kalau Dara menyukai ini dan menganggap pernikahan ini sangat membahagiakan,” oceh Revan bertubi-tubi. Lain di depan Risya, lain di depan Dara. Kalau di depan Risya, Revan ingin memastikan kebahagiaan Dara, tetapi kalau di depan Dara, Revan hanya
Dara mengusap tangan Ayahnya dengan handuk basah, Ayahnya sudah sadar sejak operasi beberapa hari lalu. Kini Ayahnya juga sudah makan banyak seperti sebelumnya. “Dara, pacar kamu memang hebat. Dia yang bertugas cek kesehatan ayah setiap saat, dia juga pria yang lembut, tidak pernah marah sama pasien. Pasien-pasien lain juga memuji hal yang sama,” ujar Sahrul antusias. Dara hanya tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Ayahnya. Asal Ayahnya tau saja, Revan yang lembut hanyalah kedok semata, sebenarnya laki-laki itu banyak minusnya, salah satunya sering memaksa Dara berhubungan. “Kapan kamu akan menikah dengan dia? Laki-laki seperti dia tidak baik kalau dianggurin,” ujar Sahrul. “Aku akan menikah dengan dia. Aku juga mau minta restu sama Ayah,” jawab Dara. Sahrul membulatkan matanya mendengar ucapan Dara, “Kamu benar akan menikah dengannya?” tanya Sahrul senang. “Iya, Ayah. Revan sendiri sudah melamarku, mungkin sebentar lagi akan meminta restu sama Ayah,” jawab Dara. “Kalau beg
“Dara, ayo kita pergi dari sini!” ajak Sahrul membuat Dara membulatkan matanya. “Apa maksud Ayah?” tanya Dara tidak terima. “Kita di sini dibiayai oleh Revan. Kamu jangan menyusahkannya lagi! Ibunya tidak rela kalau kamu menikah dengan Revan, itu artinya dia juga keberatan dengan uang anaknya yang digunakan untuk biaya pengobatan Ayah,” jelas Sahrul. “Ayah, jangan anggap ucapan Bu Selin. Pernikahan aku dan Revan yang menjalani, bukan Bu Selin. Aku dan Revan saling mencintai, persetan dengan Bu Selin,” ujar Dara. “Tapi, Dara. Kamu akan semakin diinjak-injak kalau masuk dalam keluarga itu,” kata Sahrul. “Ayah tetap di sini, aku mau melihat adikku,” ucap Dara yang kini berlalu pergi. “Dara, tunggu dulu, Dara!” teriak Sahrul. “Jangan anggap Ayah kalau sampai kamu menikah dengan Revan!” teriak Sahrul lagi. Dara tercenung mendengar ucapan Ayahnya, perempuan itu kembali menemui Ayahnya. “Begini ucapan Ayah setelah apa yang aku lakukan?” tanya Dara. “Asal Ayah tau saja, awalnya aku m