Share

Bab 2

Denting gelas bertumbukan hingga cairan sampanye nyaris tumpah mengecup meja di kelab malam area Sunset Trip yang dipesan khusus oleh manajer Louisa, Cory. Lelaki kemayu itu berdiri menjulang tinggi di atas sepatu bot kulit, menjunjung gelas ramping dan berteriak di antara hingar bingar musik EDM yang diputar keras-keras. Di bawah lampu-lampu laser yang bergerak dramatis mengikuti irama, iris biru terang Cory yang dihias wing eyeliner makin berbinar-binar saat bibirnya ikut mengembang. Dia membusungkan dada, menarik tangan Louisa untuk menyuruhnya berdiri dan berseru,

"Congratulations untuk bintang kita! I love you, Bitches!"

Cory meneguk sampanye tak memedulikan cairan kekuningan sampanye membasahi sweater oranye miliknya. Sebagai orang yang mendampingi Louisa selama beberapa tahun terakhir, dia patut bangga atas kerja keras sang artis. Siang-malam tak peduli cuaca buruk hingga menjadi cameo sekali pun, harus diakui kalau Louisa adalah perempuan yang patut diperhitungkan dalam dunia hiburan sekarang. Tidak menyangka kalau tawaran film yang awalnya dinilai sangat tidak cocok untuk karakter wajah Louisa, justru menuai banyak pujian. Mungkin inilah hasil yang dituai gadis berbalut mini dress merah yang memberi Cory kecupan penuh kasih sayang serta membisikinya ucapan terima kasih. 

"Oh, Sayang. Kau juga harus berterima kasih pada dirimu sendiri," kata Cory membalas ciuman itu di puncak kepala Louisa. "Tapi, aku melihat kau begitu bersemangat bercumbu dengan lawan mainmu," godanya seraya mengerlingkan sebelah mata.

"Astaga. Tentu saja tidak! Apa aku terlihat seperti perempuan yang 'Hei, bitch, fuck me until deathhuh? Aku sudah memiliki Troy," elak Louisa geleng-geleng kepala, meneguk sedikit sampanye yang terasa manis bagai buah pir. 

Cory dan beberapa orang lain yang mengitari meja bundar itu terbahak-bahak. Salah satu dari mereka mencondongkan badan dan berkata, "Ke mana Troy? Apa dia tidak mau merayakan pencapaian ini?"

"Iya benar. Saat gala premiere kemarin, keluargamu saja yang datang, Lou. Apa Troy segitu sibuknya?" timpal perempuan berpotongan bob seraya mengisap batang tembakau. "Sorry, tapi beberapa wartawan berbisik tentang hubungan kalian."

"Hei, dia tidak pernah memublikasikan dengan siapa dia berkencan," sambung Cory membela Louisa. "Jangan membuat dia tertekan atas pertanyaan kalian. Nikmati saja malam ini, girls!" Dia mengacungkan kembali gelas sampanye seraya melempar kerlingan mata kepada Louisa untuk tidak resah.

Bibir berpulas lipstik merah milik Louisa menarik senyum paksa, menghabiskan minuman dalam gelas sekali teguk. Untuk beberapa saat Louisa membisu karena sejujurnya dia sendiri belum mendapat kabar dari sang kekasih yang berada di Paris. Seharusnya sesuai perjanjian dua minggu lalu, Troy akan datang dalam peluncuran filmnya, namun tertunda dengan alasan ada sesi pemotretan mendadak untuk majalah edisi musim semi. Sementara sudah tiga hari ini, Troy tidak bisa dihubungi membuat Louisa mulai dilanda rasa khawatir.

"Hey, are you okay?" tanya Cory. "Wait, jangan bilang kau tidak tahu ke mana Troy."

"Benar," jawab Louisa lesu.

"Maka dari itu aku tidak pernah percaya dengan hubungan jarak jauh Lou. Terlalu berisiko," tukas Cory. "Ponselnya tidak aktif kah?"

"Aktif, tapi dia tidak menjawab panggilanku," tandas Louisa.

"Sudahlah, mungkin dia memang sibuk," ujar Cory mencoba menghibur Louisa.

"Maybe. Hei, kau mau berdansa di sana? Ayo kita menari sampai kaki kita kram, Cory!" ajaknya mengalihkan pembicaraan. Sungguh Louisa tidak ingin keresahannya semakin membengkak dan bakal membuat mood hancur. 

"Aku suka itu!" teriak Cory kegirangan. 

###

Pening!

Itu yang dirasakan Louisa ketika tubuhnya diseret Cory menuju apartemen mewah di Malibu. Kedua tungkainya sudah tidak sanggup lagi berjalan lebih jauh apalagi dalam kondisi setengah sadar seperti ini. Pemandangan di sekeliling gadis itu sepertinya sedang berputar-putar hingga beberapa kali Louisa harus mengeluarkan isi perut di sepanjang perjalanan. Beruntung tak sampai mengenai dasbor mobil Cory atau sweater yang dipakai lelaki nyentrik itu. Kalau ya, mungkin Louisa akan menjadi bahan omelan selama sepekan.

Begitu sampai di kamar bermandikan sinar bulan yang menembus dari tirai jendela kamar, Cory dan Louisa membanting diri di atas kasur empuk lalu tertawa seakan-akan apa yang terjadi malam ini bakal menjadi pembuka atas kesuksesan yang didapat. Walau badannya lemas akibat mengeluarkan seluruh isi lambung, Louisa masih mengingat pencapaian terbesar selama seperempat abad dalam kehidupannya. Benar-benar terasa mimpi menjadi kenyataan, pikir gadis itu. Dia juga tidak menyangka bahwa menerima penawaran dari salah satu rumah produksi bisa membawa namanya menjadi seperti ini. Kemudian, dia membenarkan posisi tidur, mengamati langit-langit kamar ketika Cory berkata,

"Ini malam menakjubkan selama karier kita berdua."

"Kau sudah mengatakan hal itu berulang kali, Cory," tukas Louisa mengibaskan sebelah tangan. "Ah, besok kita akan jumpa fans. Aku begitu gugup untuk pertama kali."

Sebelah tangan Louisa meraba tuk mencari clutch hitam selanjutnya merogoh ponsel berharap ada satu notifikasi saja dari sang kekasih. Layar IPhone tersebut sudah menunjukkan pukul satu malam artinya di Paris sekitar sepuluh pagi. Bibir Louisa mengatup rapat menelan kenyataan pahit saat menatap ponsel kalau masih belum ada tanda-tanda Troy mau meluangkan waktunya sekadar memberi selamat meski hanya pesan teks. Apakah Troy begitu sibuknya hingga tidak memiliki jeda? Bahkan setelah Louisa berusaha mengirim ratusan pesan pun, Troy mendadak lenyap ditelan Bumi.

Gadis itu menghela napas panjang berusaha mengeluarkan bongkahan batu yang memenuhi dada seraya meletakan kembali ponsel dengan tak minat. Banyak spekulasi kini bergentayangan dalam benak Louisa walau hati kecilnya berkata tidak. Dia selalu berupaya memahami kesibukan Troy bukan hanya sekali ini saja, lantas mengapa lelaki itu tidak berbuat hal yang sama padanya? Padahal jauh-jauh hari sebelum peluncuran film, Louisa sudah membuat daftar hal-hal yang bakal dilakukan bersama-sama jika Troy benar-benar datang. Atau jika memang dia sibuk dan tak sempat terbang ke LA pun, Louisa masih punya satu rencana cadangan yaitu makan malam dan menonton film melalui sambungan video call. Nyatanya ... dia hanya ditemani sepi di antara keramaian.

"Kau kenapa?" tanya Cory menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Louisa. Dia mengernyitkan alis seperti bisa membaca isi kepala gadis itu. "Oh, maafkan aku, Sayang. Troy sepertinya benar-benar--"

Belum sempat menyelesaikan ucapan, panggilan telepon dari orang yang dinanti-nanti akhirnya muncul menimbulkan semringah di wajah Louisa. Harapan yang tadinya suram kini muncul dan makin membesar berharap akan segera terlaksana. Gadis itu langsung memberi isyarat kepada Cory bahwa Troy pasti akan menelepon ketika sudah selesai dengan proyeknya. Sedangkan sang manajer hanya bisa memutar bola mata, masih tidak mempercayai lelaki yang digilai Louisa. Namun, dia tidak bisa memaksakan pendapat ketika Louisa tengah dimabuk asmara.

Buru-buru Louisa bangkit dari kasur, mengabaikan sensasi pening di kepala untuk mencari privasi sambil menerima panggilan tersebut. Suara berat Troy yang menggoda seketika menghilangkan rasa gundah gulana yang sempat merangkul Louisa. Kaki telanjang yang tadinya pegal akibat berjam-jam menari di lantai dansa mendadak terasa ringan bagai menapaki kapas lembut. Kehadiran Troy adalah pelipur lara atas rasa lelah yang dirasakan Louisa. Bahkan kalau lelaki itu ada di sini, Louisa akan betah berlama-lama memeluk dada bidang dambaan hati atau sekadar bercumbu sampai bibir bengkak. Baginya, seburuk apa pun dunia akan terlihat baik-baik saja selama ada Troy. Malaikatnya.

Dia berdiri di balkon dan membiarkan angin di akhir musim dingin menyapu penat di wajah. Sementara ombak yang menjadi pemandangan sehari-hari Louisa tengah bercumbu mesra dengan bibir pantai. Dia membayangkan berjemur atau bermain voli pantai bersama Troy seperti waktu-waktu liburan bersama sebelum kesibukan memisahkan mereka. Rambut panjang Louisa bergoyang-goyang mengikuti aliran udara ke arah pantai Malibu. Rasa rindu yang terpendam selama beberapa hari ini akhirnya terbayar tuntas saat suara Troy memanggil namanya. 

"Schatz (Sayang)!" seru Louisa memanggil kekasihnya. "Kau ke mana saja? Sudah hampir tiga hari kau--"

"Aku rasa kita akhiri hubungan ini, Lou," sela Troy tiba-tiba, meluruhkan senyuman di wajah Louisa.

Butuh waktu cukup lama untuk Louisa mencerna ucapan tak masuk akal Troy sampai-sampai dia mengorek telinga kanan, takut ada sumbatan yang menghalangi pendengaran. Dia menengadah ke arah langit bertabur gemintang lalu menunduk melihat jari-jari kaki beralaskan sandal yang menapak balkon. Jelas kalimat itu bukanlah mimpi siang hari atau halusinasi, tapi kenapa terlalu menakutkan untuk jadi kenyataan.

"Apa maksudmu?" Louisa masih denial atas apa yang diucapkan Troy, tapi kenapa hatinya mendadak ditusuk-tusuk ratusan pisau tajam? Kenapa dadanya begitu sakit mendengar keputusan mendadak Troy? Apa yang salah?

"Aku hanya ingin kita berpisah, Lou. Kuharap kau akan baik-baik saja di sana. Selamat tinggal," pamit Troy lalu memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapan Louisa.

Tuhan ... aku sedang mimpi buruk kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status