Jangan sesali hari kemarin!
Jadikan semuanya pembelajaran. Cukup perbaiki diri, agar lebih baik dari kemarin!
Dinda pulang dengan mengendarai motor maticnya, wanita itu memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah yang terlihat sangat sepi. Ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia membukanya perlahan, sembari mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Pak. Nadira.. Ibu pulang sayang."
Berkali-kali ia mengucapkan salam, tapi tidak ada yang menjawab. Perasaannya menjadi tak enak, dimana Bapak dan Nadira?
Memikirkan hal yang tidak-tidak membuat wanita itu berjalan lebih cepat memasuki rumah sederhana itu.
"Nadira, Ibu pulang." teriak Dinda, tapi tak ada sahutan. Ia memasuki kamar, tapi tak terlihat Nadira disana. Ia segera melepaskan sepatu yang ia kenakan dan melempar tas nya ke sembarang arah. Pikiran buruk memenuhi kepalanya, membuat ia sedikit berlari
Malam ini akhirnya Bayu ikut makan malam bersama dirumah Dinda. Pak Ahmad merasa bahagia melihat pemandangan di depan matanya. Sikap Bayu yang begitu lembut, sesekali menyuapi anak mereka. Ia tahu, kesalahan yang di lakukan oleh Bayu di masa lalu sangat fatal. Tapi apa salahnya memberikan kesempatan pada orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Begitu pikirnya. Lagipula yang ia lihat semakin hari Bayu semakin baik, tak pernah kasar. "Masakanmu tak pernah berubah Din. Selalu enak dan selalu pas di lidahku." Bayu tak segan memuji masakan mantan istrinya. Sedangkan wanita yang di puji hanya tersenyum menanggapi. Sebenarnya Dinda sangat tidak nyaman dengan adanya Bayu sejak sore tadi. Tetapi karena permintaan Ayahnya, ia terpaksa harus bergabung serta harus memasak makan malam yang tak pernah ia harapkan sama sekali sebelumnya. Hati Dinda saat ini sedang kacau, hari ini Alvian tak ada kabar. Dinda sudah berkali-kali menghubungi pria
Pagi ini, sesuai rencana Dinda dan Nadira akan pergi ke taman hiburan bersama Bayu. Tepat pukul 09.00 pagi Bayu datang dengan mobilnya. Nadira berlarian menyambut kedatangan Ayahnya, raut wajahnya terlihat sangat bahagia."Ayah.. ayo kita pergi. Nadira sudah tidak sabar ingin jalan-jalan bersama Ayah dan Ibu." celoteh gadis kecil itu yang kini sudah berpindah ke dalam gendongan Bayu."Ibumu mana?" Bayu mencari keberadaan Dinda yang belum tampak sama sekali."Ibu masih di kamar. Sepertinya Ibu sedang galau." ujar Nadira asal."Galau kenapa?" tanya Bayu sembari mengerutkan keningnya, tapi hanya di jawab dengan gelengan oleh Nadira."Semalam Ibu menangis sambil main hp." jawab Nadira dengan polos.Apa mereka sudah putus? Bayu tersenyum misterius, ia berharap hubungan Dinda dan Alvian benar-benar berakhir. Sehingga ia lebih memiliki peluang untuk merebut Dinda kembali.Tak lama Dinda keluar dari rumah dengan penampilan
"Mencintai, harus siap dengan segala konsekuensi.Percaya! Merupakan kunci keberhasilan dalam suatu hubungan.Mantan hanya bisa di kenang. Untuk kembali, tak kan mungkin seindah kemarin.Cermin yang telah hancur, memang dapat di satukan kembali. Tapi tak kan bisa kembali utuh seperti semula.Ingat!Yang terbaik, tak kan pernah jadi MANTAN!Mobil yang di kendarai Bayu meluncur di jalanan aspal menuju tempat hiburan membelah kemacetan. Mentari pagi ini sangat cerah, tapi tidak dengan hati Dinda. Jauh dalam lubuk hatinya ia sangat merindukan kekasihnya. Khawatir dan rindu jadi satu. Dinda mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil dengan pikiran yang tak menentu. kamu dimana mas? Aku merindukanmu. Ia sangat merindukan kekasihnya. Hatinya menjerit, tak terasa bulir bening yang terasa hangat mengalir di pipinya. Dengan cepat ia menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan. Bayu melirik wani
“Cinta sejatinya membawa kebahagiaan. Tapi jika cinta hanya membawa kesedihan, apakah masih bisa di sebut cinta?” _____________ Angin semilir berembus lembut menerpa wajah wanita yang sedang duduk di bawah sebuah pohon besar di depan toko. Menerbangkan beberapa helai rambut panjang yang tergerai. Wajahnya terlihat pucat, lemah tak bergairah. Pandangannya tampak kosong. Pikirannya berkelana, entah ke mana. Raganya lelah, tapi hatinya kukuh untuk bertahan. Seminggu setelah melihat kekasihnya bersama perempuan lain, Dinda seperti orang yang kehilangan hasrat untuk hidup. Setiap hari menunggu di depan toko, berharap kekasih yang teramat ia cintai itu akan datang menghampiri dan kembali padanya. “Alvian ....” desisnya perlahan. Ia memejamkan mata, perih. Setetes bulir bening jatuh di pipinya yang putih. Dengan cepat ia segera menghapus jejak air mata dengan jemarinya yang lentik. “Tidakkah kau merindukank
“Tak perlu mengulang kisah lama, Karena jalan ceritanya akan tetap sama meski waktunya berbeda"________________________“Apa kalian sudah makan?” sapaan ramah dari Bayu membuat Dinda dan Amira terhenyak. Pria itu memasang wajah ceria dengan senyum yang terbingkai di wajahnya.“Aku sudah, tapi Dinda tidak mau makan dari kemarin.” Sahut Amira yang langsung membuat wajah Bayu menjadi khawatir. Pria itu mendekati Dinda yang terlihat tak memperdulikan kedatangannya. Wanita itu masih setia menatap jalan aspal yang ramai akan kendaraan yang berlalu lalang.Bayu meletakkan bungkusan yang ia bawa di atas meja, duduk di sebelah Dinda. Sedangkan Amira segera masuk kembali ke dalam toko, kendati sudah ada Bayu yang menemani sahabatnya itu. Ia berharap banyak pada sang mantan suami, agar bisa mengembalikan senyum Dinda yang hilang. Alvian tidak hanya menghilangkan raganya dari sisi Dinda, tapi ia juga menghilangkan se
Seorang pria muda yang berbaring di atas kasur empuk miliknya, terlihat gusar. Menatap plafon kamar dengan pandangan sendu dengan sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. Sesekali terdengar dengusan kecil bahkan umpatan kasar yang keluar dari bibirnya. “Ini semua gara-gara Papa! Dinda sampai sakit dan aku tidak bisa menjaganya. Aku merasa menjadi pria yang paling jahat sedunia!” ia menjambak rambutnya dengan kedua tangan. Menyesali sikap Papanya yang menentang hubungannya dengan sang kekasih yang teramat di cintai. Sebenarnya tadi ia sempat mengunjungi Dinda meski dari jauh. Hatinya sangat hancur ketika melihat sang kekasih di bopong Bayu sang mantan suami Dinda. Tapi lebih sakit lagi melihat wanita itu sangat lemah dengan wajah yang terlihat pucat. Ia memberontak ingin lari, turun dari mobil. Tapi dengan cepat sang pengawal yang di tugaskan mengawasinya mencekal lengannya dan menahan pergerakannya. Di tambah dengan ancaman yang di lontarkan Papanya membuat pria itu tak bisa berbuat
“Semua kerumitan ini akan segera berakhir. Seperti kerumitan-kerumitan sebelumnya.”_____________________________Dinda mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke netra coklat wanita itu. Ia melihat sekeliling, ruangan ini berwarna serba putih. Bau obat tercium menusuk hidungnya.“Ah... Aku pasti di rumah sakit.” desahnya.Ia pun segera mengangkat tubuhnya yang lemah untuk duduk, tapi kepalanya berdenyut nyeri. Hingga ia harus membaringkan tubuhnya kembali. Dinda memegangi kepalanya yang sakit, sedikit meringis kala menyadari sebuah selang infus yang tertancap di tangan kirinya.Ia tak ingat apa pun setelah memuntahkan semua isi perutnya kemarin. Seingatnya ia muntah-muntah hebat dan merasakan sakit luar biasa yang menyerang perutnya.“Sebenarnya aku sakit apa?” ia seperti bertanya pada diri sendiri. Karena di ruangan itu tak ada seorang pun kecuali dirinya. Ia mengedarkan pandangan, tak ada lagi sahabatnya Amira. Karena di sela tidurnya, ia sedikit mendengar suara Amira
'Bagaimana bisa aku meraih bahagia bersama orang lain, sementara hatiku terus saja menggaungkan namamu dan berharap engkau kembali'___________________“Kapan ya perut kamu buncit.” pria muda itu mengelus lembut perut rata sang kekasih. Wanita cantik itu mendelik dengan bibir yang mengerucut. Ia menjauhkan diri dari pria yang sedang mendekapnya itu.“Ishh ...! Mas do’ain aku gendut? Buncit berlemak gitu?” protesnya.“Kan lucu sayang,”“Apanya yang lucu, mas? Jahat ishh ....” bibirnya semakin maju hingga lima sentimeter. Membuat kekasihnya tak kuasa menahan diri.Sang pria hanya terkekeh geli melihat ekspresi wanitanya. Detik selanjutnya ia menjerit karena gelitikan yang bersarang di perutnya.“Ampun sayang. Hentikan! Itu sangat geli!” pria itu berdiri untuk menyelamatkan diri dari serangan wanita itu. Sementara si wanita kini ikut berdiri, berniat membuat pria itu jera.“Makanya! Apa maksudmu dengan perut buncit?” ia berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak dengan bibir