Share

3. Rani Pergi

.

.

.

“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku," dapat kudengar dengan jelas suara Mas Adam. Kamar kami bersebelahan.

Hembusan AC di kamarku terasa begitu dingin, menusuk ke tulang-tulang. Sama dengan perkataan Mas Adam yang tidak sengaja terdengar barusan. Aku akan disingkirkan. Entah mengapa, rasa sakit bercampur marah kembali menggerogoti jantungku. Tidak terasa air mataku kembali bercucuran. Mas Adam memang sudah tidak menginginkanku lagi. Aku merasa tertolak, tetapi apa yang bisa kulakukan?

Kembali menutup tubuh telanjangku dengan daster, aku lalu keluar hendak menyiapkan makan malam. Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti di ambang pintu kala suara baritonenya memanggilku.

“Rani, Mas mau pergi,” katanya dengan tegas.

Aku meliriknya sekilas dan kulihat dia sudah berpakaian sangat tampan dengan pakaian badmintonnya. Pasti, dia akan main badminton lagi sampai larut malam bersama kawan-kawannya. Biasanya, melihat hal itu aku akan langsung naik pitam apabila dia memaksa untuk pergi dengan gerombolannya sementara aku hanya sendirian di rumah.

Tetapi masih bisakah aku marah? Sebentar lagi kami juga akan bercerai. 3 Bulan usaha mediasi hanya akan mengulur waktu perceraian itu. Tetap saja, kami akan bercerai. Di hati suamiku sudah tidak ada aku. Bukan barusaja, tetapi aku memang sudah hilang dari benaknya sejak beberapa tahun silam. Bodohnya aku karena baru menyadarinya.

“Aku tidak masalah. Pergilah Mas,” sahutku memandang wajah Mas Adam.

Sejenak dia menatap ke arahku dengan ragu. Tetapi sepertinya dia senang dengan jawaban yang didengarnya. Mungkin, itulah yang selama ini dinantikannya. Kehidupan bebas, tidak ada ocehan, tidak ada larangan, dan tidak ada orang sepertiku yang mengawasinya. Mungkin dengan melepasnya, dia akan bahagia dan begitupun dengan diriku.

“Jangan tunggu aku pulang,” terangnya melewatiku begitu saja. Bagai dikejar hantu, dia lekas-lekas pergi. Mungkin dia berpikir bahwa aku akan mengomel dan berubah pikiran hingga dia sebegitu cepatnya melangkahkan kakinya.

****

Malam telah semakin larut dan Mas Adam belum juga pulang dari olahraga Badmintonnya. Ya, dia hanya bisa melakukan hobinya itu di malam hari karena paginya dia sibuk bekerja. Biasanya aku akan membawa kemoceng di depan pintu dan bersiap untuk memukulnya tepat saat dia pulang jam 12 malam. Tetapi mulai malam ini hal itu tidak lagi kulakukan. Tadi pagi aku mengingat dengan jelas kata-kata mas Adam.

“Setelah hari ini kita tidak saling terikat. Jangan ikut campur lagi urusanku. Uruslah dirimu sendiri, Rani. Aku berharap kau menemukan jodoh lain,” ucapnya sebelum kami memasuki ruang pengadilan.

Aku menangkap jelas arti kata-katanya itu. Meskipun perceraian kami masih dalam proses, tetapi baginya, kami bukanlah sepasang suami-isteri lagi. Perkataan itu menusukku begitu dalam. Sebegitukah dia ingin segera terlepas dariku? Dalam keheningan malam di lantai dua, aku kembali menangis dan mencoba melupakan perkataan itu.

Rasanya aku ingin menghubungi ayahku. Aku ingin memeluknya, dan aku ingin menangis dalam dekapannya. Tetapi aku tidak bisa melakukannya. Beliau memiliki penyakit jantung dan aku harus menjaga hatinya itu. “Hiks … Hiks …,” sekali lagi, air mataku turun membasahi kedua pipiku. Tidak terbendung lagi, bagai aliran anak sungai, air mata itu semakin lama semakin membeludak membanjiri seluruh bantal yang ada di bawah kepalaku.

“Ayah … aku minta maaf. Aku tidak sanggup lagi memegangnya. Aku melepasnya,” gumamku yang hanya bisa kudengar sendiri di sela-sela isakanku.

Pernikahanku telah gagal.

Pernikahanku telah gagal.

Pernikahanku telah gagal.

Isi pikiranku dipenuhi dengan kata-kata itu. Sebentar lagi, aku bukan lagi seorang isteri dari Adam Kanzani. Aku tidak akan lagi dipanggil Bu Adam. Dan aku tidak berhak lagi untuk mengatur semua hal di rumahnya.

Mengusap air mataku, aku yang hanya wanita tidak berpendidikan, masih tahu diri. Kami hanya tinggal menunggu surat cerai, lalu untuk apa aku berlama-lama disana? Bergegas aku mengusap air mataku dan mulai mengemasi barang-barangku. Satu persatu, seluruh ruangan itu aku susuri. Aku mengambil barang milikku dan meninggalkan barang-barang milik pria itu.

Disela-sela kesibukanku aku menghubungi sahabatku, Winda. Hanya dia harapanku saat ini.

“Iya Ran, ada apa? Tumben malam-malam menghubungiku,” tanya Winda penasaran.

Winda adalah sahabat SMA-ku. Sebelum menikah, kami dahulu selalu pergi bersama-sama. Sayangnya, aku menikah duluan dan dia melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang sangat tinggi. Setelah itu, kami begitu jarang bertemu. Tetapi sekarang, aku terpaksa menghubunginya. Selain dia aku tidak memiliki tujuan lainnya.

“Win …,” kataku mencoba menahan nada bicaraku yang telah mulai begetar, “Win …,” sekali lagi aku mencoba tetapi aku tidak bisa lagi membendung isakanku yang begitu saja terlepas.

“Rani, ada apa? Cepat katakan Ran? Apa kau sakit atau bagaimana?” Winda bertanya dengan begitu cemasnya.

Tidak ada lagi yang bisa kusembunyikan dari sahabatku itu. Meskipun malu, tetapi itulah fakta yang harus kuhadapi saat ini.

“Aku cerai Win,” sahutku dengan suara tangis yang pecah begitu saja. Aku begitu sedih dan Winda sepertinya juga bisa merasakannya.

“Astaga Ran. Lalu dimana kau sekarang?” tanyanya dengan begitu khawatir.

“Aku masih di rumah Win. Aku sedang mengemasi barang-barangku. Apakah kau bisa menjemputku Win?” dengan nada lirih, aku memohon kepadanya.

“Tentu saja Ran, aku akan kesana sekarang juga,” katanya langsung menutup sambungan telepon kami.

Setelah selesai memasukkan ponsel milikku ke dalam tas kecil kesayanganku, aku lalu mengarahkan pandanganku ke seisi rumah itu. Semuanya terasa sedikit berbeda saat aku pertama kali masuk didalamnya. Sambil menunggu Winda, aku kemudian menata ulang perabot dirumah itu kembali seperti sedia kala. Sebelum aku ada disana. Sebelum aku mengubahnya. Dan sebelum aku masuk untuk menjadi isteri dari tuan rumahnya. Sebisa mungkin kuhapus semua jejakku. Bahkan sehelai rambutku-pun tidak kubiarkan jatuh di tempat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status