Share

2. Jebakan Pernikahan

.

.

.

Maharani. Itulah namaku. Dulu aku tidak tahu yang namanya kehidupan. Setelah lulus bangku SMA, tiba-tiba saja seorang pengusaha muda melamarku. Ckck … waktu itu aku masih berusia 18 tahun. Apa yang kutahu tentang kehidupan? Begitu polos dan lugu aku menerima lamarannya. Meninggalkan mimpiku dan rencana kuliahku, hanya untuk hidup sebagai isteri dari Adam Kanzani.

Cinta. Dulu aku tergiur olehnya. Hanya satu bulan berkenalan kemudian kami menikah. Dikala itu aku bahagia dan semua orang tertawa, menyangka bahwa kehidupanku akan berubah layaknya cerita putri Cinderella. Tetapi siapa yang menyangka jika di dalamnya, bukan kemewahan yang kudapat. Bukan manis madu, dan juga bukan rangkaian bunga!

Penuh kepalsuan. Cintanya kepadaku tidak begitu dalam bagai embun pagi yang menetes dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan! Rapuh dan tidak bisa digenggam. Andai aku dulu tahu akan menjadi seperti ini, mungkin aku tidak akan tergiur dengan paras tampannya itu!

Tetapi nasi telah menjadi bubur. Sekarang usiaku sudah 25 tahun. 7 tahun kusia-siakan menjadi ibu rumah tangga yang hanya melakukan pekerjaan rumah. Tidak memiliki pendidikan tinggi. Tidak punya keahlian khusus. Dan tidak memiliki pergaulan. Bagai seekor burung gelatik buruk rupa aku terkungkung dalam sangkar.

Sedangkan dia, Adam Kanzani, suamiku itu, dia masih sangat tampan. Menginjak usia 30 tahun kariernya begitu berjaya. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, pekerjaannya, kawan-kawannya, dan juga hobinya. Mungkin saja, begitu banyak wanita sedang menunggunya untuk menjadi duda.

Rasa-rasanya, aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri. Mengusap air mataku, aku lalu memandang ke hadapan cermin di depanku. Pantulan diriku sendiri membuatku tersentak. Maharani, dimanakah dirimu yang dulu? gumamku kepada jiwaku yang sedang sengsara.

Tenanglah hai jiwaku, tenanglah hai batinku! Esok hari, kau akan menjadi pribadi yang baru. Seraya bergumam, aku mengelus hatiku untuk mengurangi rasa sakitnya. Setelahnya, kutanggalkan semua baju lusuh itu, kubuka ikat rambutku untuk melihat seberapa banyak aku telah berubah.

****

Adam POV

Pada waktu yang sama di kamar sebelah ….

“Shit!” teriakku di dalam kamar.

Keputusan hakim mediator hari ini membuatku naik darah. Awalnya aku berpikir bahwa program mediasi yang dimaksud hanyalah akan berupa sesi kelas bagi kami. Tetapi siapa yang menyangka, hakim itu malah meminta dia untuk menjadi sekretarisku di kantor.

Aku mengacak rambutku karena merasa jengah. Di rumah saja, aku sudah mengecap rasanya api neraka. Wanita itu selalu menyulut emosiku dan merusak suasana hatiku. Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selama tiga bulan ke depannya bersama wanita itu.

Sesekali hatiku memberontak. Bagai seorang petinju aku ingin menghancurkan kertas bermeterai dihadapanku. Memukulnya, menginjakkan, dan bahkan merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Sayangnya tidak bisa! Aku telah terikat hukum dengan menanda-tanganinya.

Bagai sebuah drama, pengadilan menyuruhku untuk bersamanya di kantor. Ckck ... aku menertawakan ide konyol itu. Semua hanya akan menjadi kesia-siaan. Jika dengan pertemuan singkat saja kami selalu terlibat adu mulut, bagaimana dengan kebersamaan yang begitu panjang di dalam kantor?!

Berbaring sejenak, aku ingin menenangkan diriku sejenak. Hari ini terlalu melelahkan bagiku. Semua emosi dan pikiranku terkuras hanya untuk mengurusi masalah perceraian. Padahal hidupku tidak tentang hal itu saja. Ada begitu banyak proyek besar yang menungguku di depan. Pikiranku tidak boleh terpecah, dan fokusku tidak boleh terbagi! 

Hanya tiga bulan, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk bertahan. Setelah itu, aku akan terbebas dari belenggu berat yang mengikatku.

Maharani atau biasa kupanggil Rani. Dia adalah isteri yang kunikahi 7 tahun lalu. Waktu itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia begitu lucu, lugu dengan memakai seragam SMA yang sudah dicorat-coret dengan spidol warna-warni. Benar, saat itu adalah hari kelulusannya. Entah mengapa saat itu hatiku berdegup kencang dan aku mengikutinya dari belakang. Setelah mengetahui alamatnya, aku langsung melamarnya begitu saja.

Bagai sebuah jebakan, aku masuk ke dalamnya. Rani ternyata bukanlah isteri idamanku. Dia masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Baru beberapa tahun bersama, aku sudah merasa lelah dengannya. Kami tidak satu pikiran maupun satu tujuan. Aku bahkan tidak bisa mengerti ada apa di otaknya yang kecil itu.

Semakin hari, dia semakin lusuh dan tidak bisa diajak bicara. Sinarnya memudar dan aku menjadi hilang hasrat dengannya. Salahkah aku jika menyuruhnya untuk pindah ke kamar lain? Sudah tiga tahun kami tidak tidur seranjang, dan dia masih tidak mengerti akan hal itu.

Yang ada dipikirannya hanyalah memasak dan memasak. Memang, menu masakannya selalu bertambah dan semuanya enak. Tetapi apa dia kira aku akan senang dengan semua makanan itu?!

Bukan itu! Aku tidak butuh makanan buatannya. Yang kuperlukan hanyalah ketenangan dan pengertiannya, bukannya ocehan yang membuatku tidak berselera makan setiap harinya.

“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku,” gumamku dengan lirih.

Percuma kami bersama! Bagai dipersimpangan jalan, aku harus memilih, antara dia atau kebahagiaanku. Dan aku telah memilih untuk bahagia. Tentu saja, tanpa dia di dalam hidupku. Apapun akan kulakukan untuk menyingkirkan keberadaannya yang menjemukan itu dan keluar dari jebakan pernikahan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status