"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m
"Kamu beneran ingin niat serius dengan adikku?" tanya Satria memastikan."Menurutmu? Apa mengajak seorang wanita menikah adalah sesuatu lelucon?" tanya Langit balik."Aku serius bertanya padamu!" geram Satria."Aku pun demikian. Meskipun kamu menentang kami, aku tidak akan menyerah. Selama ini aku membiarkanmu membawa Leta ke mana pun kamu pergi, tapi sayangnya kamu menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu selalu bilang kalau Leta tidak butuh aku, dan anak yang dikandung Leta tidak membutuhkan peran ayahnya. Nyatanya apa, bahkan kamu sendiri pun tidak mampu untuk membiayainya." Langit tersenyum sinis.Sedangkan Satria, pria itu tak terima dengan ucapan Langit. Dia mengepalkan tangannya."Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, huh?!""Kenapa? Nggak terima? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Apa selama ini kamu peduli dengan Leta? Kalau aku nggak ada di tempat yang sama dengan Leta waktu itu, aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Asal kamu tahu, beberapa kali bidan men
Menikah dengan Langit entah mengapa banyak keraguan yang menyusup di hati Leta.Wanita itu juga bingung dengan hatinya. Mungkin karena meragukan perasaan pria itu, atau dia kecewa karena mengetahui sebuah fakta bahwa suaminya terjerat kasus tabrak lari yang menimpa Mahendra, meskipun sebenarnya dia bersyukur karena ulah Langit, Mahendra belum sempat melakukan apapun padanya. Namun, di sisi lain dia merasa kurang suka dengan tindakan Langit. Intinya saat ini hati Leta benar-benar begitu bingung.Menurut Leta, Langit adalah pria yang sangat baik, lebih malahan. Selama menjadi istri pria itu, Langit tak pernah berbicara kasar, tidak memperlakukannya dengan tindakan semena-mena, yang ada malah Langit sangat tulus padanya. Lalu, mengapa Leta masih meragukan pria itu?Wanita itu menghela napas berat."Astaga! Apa yang aku pikirkan," gumam wanita itu seraya menggeleng pelan. Tak lama setelah itu ponsel Leta berdering, dia langsung mengambil ponselnya yang tak jauh darinya.Tanpa sadar bibir
"Jaga Leta ya, Langit."Langit mengangguk. "Ibu tenang saja, pasti aku akan selalu jaga Leta. Saat ini dia adalah prioritas utamaku.""Cuma saat ini aja?" tanya Satria dengan pandangan menyipit. "Atau sampai Leta melahirkan baru kamu kembali mengacuhkannya?""Selamanya." Langit melirik pria itu dengan sinis, ada saja tingkahnya yang membuatnya jengkel."Oh, siapa tahu, kan? Bisa aja--""Bang!" tegur Leta. "Apaan sih, nggak usah sinis gitu kenapa sama suami aku. Nanti kalau Abang punya istri, aku sinisin balik emangnya Abang terima?" Satria tersenyum kecut. "Bercanda aja kok, gitu aja--""Bercanda boleh aja, tapi lihat kondisi juga. Nggak mungkin, kan, Abang nggak bisa bedain yang mana waktunya serius sama yang mana waktunya bercanda?" Leta kembali menyela ucapan Satria."Iya, iya." Satria pasrah saja.Pria itu harus bisa menjaga perasaan adiknya karena selama Leta hamil, dia itu gampang sensitif."Udah, udah. Kalian ini kenapa sih ribut terus, nggak enak kalau didengar sama tetangga,
"Pak Langit, ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Anda."Kepala Langit mendongak dari tumpukan surat di meja kerjanya dengan dahi berkerut."Siapa pun itu, aku tidak akan menerima tamu ketika sedang bekerja, aku harap kamu tidak melupakan tentang hal itu." Sudah menjadi kebiasaan bagi Langit, ketika sedang bekerja dalam keheningan, dia tidak suka jika ada yang mengganggunya.David Pratama, asisten Langit, yang saat ini tengah berdiri di ambang pintu ruangan pribadi Langit, tampak gelisah. Seperti ada yang ingin dia sampaikan, tapi takut jika akan dibentak oleh Langit."Tapi, Pak. Dia adalah ...."Langit menaruh pulpen itu dengan sentakan kasar, membuat ucapan David menggantung, David meneguk salivanya dengan susah payah."Jangan membuatku mengulangi kata-kataku lagi, David," geram Langit dengan suara tertahan. "Usir dia!""Baik, Pak."David keluar dari ruangan itu dengan sedikit kesal karena Langit tidak membiarkan dirinya berbicara sampai akhir.Fokus langit kembali pada sura
Leta duduk termenung di koridor rumah sakit. Ucapan Langit tadi terus terngiang di indera pendengarannya. Wanita itu seketika menggeleng seraya tertawa miris. "Nggak, Langit yang aku kenal bukan seperti itu. Aku tahu betul sifat Langit itu seperti apa. Yang tadi itu bukan Langit, yang tadi itu orang lain, bukan pria yang aku kenal," gumam wanita itu. Mau menyangkal seperti apapun kenyataannya yang tadi dia temui adalah Langit, pria yang dulunya begitu hangat, mempunyai senyum yang begitu menawan, siapapun akan terpesona pada pria itu, termasuk Leta sendiri. Namun ternyata sifat pria itu berubah dalam sekejap, Leta tahu betul mengapa saat ini Langit berubah menjadi dingin. Ya, karena semua itu ulah Leta sendiri."Apakah sekarang kamu menganggap diriku sebagai wanita yang begitu hina, Langit? Andai kau tahu apa yang aku rasakan saat ini, apakah kamu masih seperti ini? Kamu benar-benar berubah, kamu bukan Langit yang selama ini aku kenal," lirih wanita itu.Leta tersentak ketika mende
"Gimana, Let? Apa Langit bisa dihubungi?"Leta menggeleng lemah, ia terduduk lesu seraya menutupi seluruh wajahnya menggunakan kedua tangannya."Pasti dia lagi sibuk banget, makanya nomornya nggak aktif," lirih wanita itu."Ya udah, kita tunggu nanti aja ya. Semoga aja nomor Langit bisa dihubungi dan mau bantu kita," tutur ibu Leta, Tika.Leta tak menjawab, dia hanya mengangguk."Semoga aja Satria nggak apa-apa ya, Let. Tega banget sih yang nabrak abang, kenapa dia nggak bertanggung jawab sama apa yang dia perbuat," keluh wanita paruh baya itu."Iya, Bu. Semoga aja abang nggak apa-apa. Kita banyak-banyak berdoa aja ya, Bu, semoga ada keajaiban datang.""Keluarga Satria?"Leta dan ibunya, Tika, langsung berdiri dari duduknya ketika ada dokter yang menghampiri mereka."Iya, Dok, bagaimana dengan kondisi anak saya?""Begini, Bu, luka yang anak beliau alami cukup parah, kita harus segera operasi secepatnya. Bagaimana, Bu?" tanya dokter tersebut.Tanpa berpikir panjang, Tika langsung menga
"Bagaimana keadaannya, Dok?""Setidaknya ada kemajuan, Tuan."Langit menatap Mahendra dengan tatapan dingin. Sangat tak disangka, ternyata papa tirinya masih mempunyai keinginan untuk hidup. Padahal dia selalu berdoa agar Mahendra cepat mati."Bagus," katanya dengan suara tajam. "Selain aku, apa ada orang lain yang datang menjenguknya?""Ada seorang wanita muda yang datang menjenguknya, Tuan. Bahkan wanita itu juga yang melunasi tagihan Tuan Mahendra."Langit bisa menebak kalau wanita yang dokter maksud itu pasti Leta. Mengingat cek itu, membuatnya tersenyum menyeringai.'Masih ada cara lain untuk menghancurkanmu, Tuan Mahendra. Okelah Anda masih bisa hidup, tapi lihat saja, aku akan membuat hidupmu seperti berada di neraka,' batin pria itu dengan senyum licik."Apa dia sering datang ke sini?" tanya Langit lagi.Dokter itu tampak terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan. "Tidak, Tuan. Dia jarang menjenguk. Itupun kalau tidak karena pihak rumah sakit yang menghubunginya terlebih dahu