Share

2

Simpan maafmu agar kesalahanmu tidak terlihat. Kata-kata itu Leora camkan untuk Raja. Alih-alih harus banyak omong, ucapan tajamnya telah mewakili.

Leora tidak banyak berkutik. Ia hanya mengikuti keputusan yang di buat papinya. Bukan bermaksud durhaka. Pikirnya, sebagai seorang sulung, Leora hanya ingin menunjukkan sikap baik sebagai contoh adik-adiknya. Meski faktanya tidak demikian.

Sejak kecil, Leora selalu mendapatkan apa yang dirinya mau. Bukan tidak mungkin kesempatan berleha-leha bisa dirinya rasakan. Sayangnya, kekeraskepalaan yang maminya turunkan menepiskan segala pemikiran untuk bersantai.

Sejauh ini, Leora selalu berusaha mandiri. Tanpa melibatkan nama besar papinya atau keluarga besar Yudantha yang menaungi.

Pernah mendengar jargon the power of orang dalam—itu sangat Leora hindari eksistensinya. Selama bersekolah hingga mengenyam Pendidikan tingkat tinggi pun namanya selalu ia sembunyikan. Syukur-syukur papinya tidak marah. Pengaruh maminya sangat besar.

Pastinya banyak yang bertanya, kenapa akses sepenting itu bisa Leora singkirkan. Sederhana saja. Jika papinya sangat kekeuh untuk dirinya menyebutkan nama belakangnya maka maminya sebagai pawang untuk menghalau segala titah gila papinya. Nilailah bucin. Leora sampai seiri itu dengan kekuatan cinta kedua orang tuanya.

Alasan klasik lainnya ialah; kebebasan tidak bisa di beli dengan materi sebesar apapun nominalnya.

Kisah masa lalu menancap di relung Leora. Di mana maminya sangat kesakitan dalam bertahan. Hampir gila karena sebuah kenyataan. Dan sesayang itu seorang Barella Yudantha memertahankan kewarasan untuk Leora. Agar—katanya—putriku tidak boleh merasakan kerasnya hidup. Leora tergugu. Perkataan maminya tercurah arti: semakin dewasa seseorang, membuatnya belajar merelakan hal-hal yang sebatas angan.

Dari situ Leora mengerti, berharap saja tidak cukup tanpa iringan doa dan usaha.

Itu pun berlaku pada situasi yang saat ini dirinya alami. Lelaki itu Raja—Laraja Putra Anggoro. Perempuan mana pun akan bertekuk lutut di depannya. Leora tahu namun juga sesal bercokol di hatinya. Seandainya panjatan doa yang selalu dirinya rapalkan bisa sesuai dengan usahanya mungkin saja perjodohan ini takkan terjadi. Tapi, lagi-lagi ia berpikir, bukankah ini suatu jalan menuju kebaktian? Bukan bermaksud sok, Leora hanya tidak ingin menjadi durhaka. Toh selama ini, papinya selalu menuruti semua keinginannya.

“Kamu nggak perlu masak, nggak perlu nyiapin apapun di rumah ini. Nggak perlu nyapa aku juga. Kita masing-masing ketika di dalam rumah.”

Serumit itu cara pikir seorang Raja. Lelaki sempurna yang di detik pertama pertemuan menghipnotis Leora. Yang kejamnya dalam satu kali tarikan napas menancapkan belati tepat di dadanya. Darah Leora berdesir. Ubun-ubunnya panas.

“Oke.” Yang sialnya hanya jawaban itu meluncur dari bibir mungilnya.

Telaga bening matanya mengerjap begitu sepatu pantofel Raja beradu dengan lantai. Tubuh tegapnya menaiki tangga satu per satu.

“Leora …” Sengaja menjeda. Raja belum membalikkan tubuhnya. “Maaf.”

Oh, itu sesuatu sekali di pendengaran Leora. Lantas cepat tersadar, Leora membalas, “simpan saja maafmu. Setidaknya, ketika perasaan bersalah menaungi, jangan tunjukkan salahmu.”

***

Bukan tanpa alasan Leora membalas perkataan Raja sedikit sarkas.

Raja yang meminta maaf bukan suatu keajaiban melainkan hal aneh di pendengaran Leora. Pun seseorang yang meminta maaf memiliki arti bahwa telah benar-benar melakukan kesalahan. Leora tidak suka pengucapan maaf apapun bentuknya.

Entah Raja serius membuat kesalahan atau hanya perasaan tidak enaknya.

Raja terkenal sangat dingin.

Sudah sepatutnya menjadi dingin tanpa banyak kata. Itu membuang-buang tenaga. Lagi pula, Leora akan menjadi sangat asing di mata Raja demikian dengan dirinya yang tidak mengenal Raja—di dalam rumah mereka. Aneh, kan?

Pernikahan mereka memang seaneh itu. Terjadi karena perjodohan, pemenuhan janji masa lalu dan entah alasan apa yang harus Leora jabarkan. Ingin menolak. Leora sangat ingin melakukan itu. Tapi lidahnya kelu padahal tidak bertulang. Setidaknya menggeleng ia jadikan sebuah alternatif. Sayangnya tidak bisa semudah bayangannya.

Seakan sudah terdoktrin untuk dirinya patuh dan tunduk. Walaupun maminya berkata, “kalau nggak suka bisa di tolak. Mami sama papi nggak akan maksa.”

Bodohnya Leora malah tersenyum sangat lebar dan menjawab, “Aku nggak kepaksa. Pasti berat buat mami pernah besarin aku sampai sekarang ini. Kalau nggak sekarang, aku bakal berbakti ke mami kapan lagi?”

Kilasan-kilasan itu Leora rutukkan mala mini. Di dapur rumah Raja yang luas dan remang. Pintu yang menghubungkan langsung dengan taman belakang rumah terbuka lebar. Semilir angin memeluk tubuh Leora tanpa sadar netra seseorang yang memerhatikan.

Raja telan ludahnya kelat. Rasanya sulit sekali. Tidak biasanya seperti ini. Tapi memandang Leora memercikkan sebuncah emosi yang terpendam, kesakitan yang nyalak bagaikan api di matanya. Raja … sepatutnya benci dengan perempuan ini. Menantang permintaan papinya bukan malah menerimanya.

Karena siapa kekasihnya mati?

Karena siapa dirinya sakit?

Karena siapa dendam berkobar di hatinya?

Leora …

Satu nama itu Raja keramatkan dalam-dalam.

Hukum menuliskan: darah di balas dengan darah. Nyawa di balas dengan nyawa.

Seharusnya Raja mengambil nyawa Leora di hari itu juga. Bukan malah menikahinya.

Lagi-lagi Raja menggeram marah. Kesakitannya memuncak. Tidak ada cara lain. Leora harus menderita di tangannya. Harus mati sama seperti kekasihnya.

***

Namanya … tidak perlu kita sebutkan.

Hanya sebatas perempuan teman tidur yang akan Raja jadikan saluran sakitnya.

Belum sepenuhnya memasuki area kamar tamu, tubuhnya limbung ke belakang. Tanpa aba-aba Raja mengikatnya. Menjambak rambutnya untuk mendongak. Dan begitu beringas Raja tunggangi. Mengabaikan teriakan ketidaksiapan si perempuan, pikir Raja itulah gunanya pelacur. Untuk ia siksa. Untuk ia lampiaskan seluruh napsu bejatnya.

Siapa yang akan peduli jika seorang Raja sudah menggila. Bahkan ketika perempuan dalam kuasanya meninggal, tidak akan ada belas kasihan yang Raja tampakkan. Terpenting di sini, kesakitannya tersalurkan. Dendam kesumatnya memuncak.

Seiring dengan tusukannya yang mematikan, jambakan pada rambut merah si perempuan menggila. Bukan desah kenikmatan yang keluar melainkan rintihan sakit. Tapi konsekuensi sebagai wanita panggilan benar-benar sedang berjalan.

“Jalang tetaplah jalang.”

Si rambut merah takkan tersinggung karena itu profesinya.

“Pembunuh tetaplah pembunuh.”

Agaknya racauan si klien membuat rambut merah menciutkan nyalinya. Kedua tangannya menggapai apa saja yang bisa dirinya raih. Mulutnya menggeram. Tenggorokannya sakit. Yang lebih parah lagi, entah sejak kapan ada kain yang menyumpal di mulutnya. Sehingga menyulitkan dirinya berteriak.

Setidaknya, ia butuh menyalurkan teriakan guna meredam rasa sakit di intinya.

“Ini belum seberapa di banding dengan sebuah kematian. Menyiksa nggak akan bikin kamu mati. Tapi lihat! Penderitaan yang akan saya ciptakan. Kamu harus mati! Kamu harus mati!”

Tusukan Raja kian menggila. Satu kali tempur tidak akan membuatnya puas. Raja terus melakukannya tanpa merasakan lelah. Mengabaikan keringat yang mengucur deras, Raja terus menunggangi. Ketika si rambut merah lunglai, dengan bengis akan Raja paksa untuk berdiri. Tunggangannya mengerikan.

Esok … ranjang rumah sakit menambah satu pasien lagi karena Raja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status