"Apa kau menyukai kejutan dari kami?" bisik Rosyana dengan kerlingan mata penuh godaan sambil berjalan di atas karpet merah mendampingi Elyana.
"Anggap saja ini sebagai hadiah dari kami atas kembalinya El setelah lima tahun menghilang!" timpal Yuan Louis dengan santai. Tidak terdengar nada keras seperti yang biasa pria tua itu katakan.
Ucapan dari kakak dan kakeknya itu membuat Elyana hampir pingsan karena terkejut juga terharu.
"Jadi ... ini???"
"Ya, ini adalah hari pernikahanmu dan David! Kami sudah menyiapkan ini dari empat hari yang lalu. Walau terkesan mendadak, namun aku dan Daniel sudah menyiapkan pesta pernikahan ini dari empat bulan yang lalu. Jadi sekarang ... berbahagialah, ini semua untukmu dan David! " Rosyana menjawabnya tanpa ragu.
Rosyana dan Daniel sepakat untuk membuat akta pernikahan tanpa ada pesta pernikahan. Mereka ingin menghadiahkan pesta ini untuk Elyana dan David. Bahkan, mereka mencetak ulang dan menyebar undangan ya
Selesai. Maaf atas semua ketidak nyamanannya saat membaca karya saya. Semoga kalian semua terhibur. I Love U ˚✧₊⁎❝᷀ົ≀ˍ̮ ❝᷀ົ⁎⁺˳✧
Dini hari, di kota Lyon Prancis, seorang wanita muda berusia dua puluh tiga tahun sedang mengemas semua barang-barangnya, lalu dimasukkan ke dalam koper. Setelah selesai, ia keluar dari dalam kamar sambil menarik kopernya yang terasa berat. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuruni anak tangga. Elyana terus berjalan menuju pintu keluar dengan mengendap-endap. Matanya penuh waspada menatap kiri dan kanan bagaikan seorang pencuri yang takut tertangkap oleh sang pemilik rumah. Di persimpangan jalan, sudah ada mobil hitam yang menunggunya dengan dua orang—pria dan wanita—di dalamnya. "Elyana, ayo cepat masuk!" teriak Arani ketika melihat tubuh ramping tersorot oleh lampu jalan berwarna kuning keemasan itu berjalan mendekat sambil menarik koper berwarna merah muda. Arani segera membuka pintu mobil untuk Elyana, lalu teman prianya membantu memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. "Apa kau sudah siap?" tanya Arani setelah mereka masuk ke dalam mobil.
"Baik, Tuan!" Judis segera membawa Daniel ke sebuah ruangan. Dia memaksa Daniel untuk segera mengatakan "Di mana tempat tinggal Arani" secara lengkap. Setelah itu, Daniel dihajar hingga babak belur oleh dua orang yang tadi membawanya ke rumah Yuan Louis. Ia dilempar ke jalan dengan darah dan luka di sekujur tubuhnya. Tidak diantar pulang oleh mereka, Daniel tertatih menghentikan taksi yang lewat. Melihat kondisi Daniel yang menyedihkan, tidak ada satu taksi pun yang mau berhenti dan membawa Daniel pergi. Mereka takut disalahkan karena membawa seorang penumpang yang penuh luka di tubuhnya. Masih untung jika orang itu tidak mati di dalam taksi. Jika mati? Sopir taksilah yang akan disalahkan. *** Di siang hari, Elyana terburu-buru keluar dari dalam rumah Arani sambil menarik kopernya. Ia memegang ponsel dengan tangan bergetar sambil mendengar seseorang berbicara dari seberang telepon. "Sekarang, aku dir
Setelah Felix benar-benar pergi, David kembali turun ke bawah. Ia meminta pelayan untuk menyiapkan banyak makanan untuk Elyana, karena tadi kata Felix "Tidak ada makanan di perut wanita itu." Di malam hari, Elyana sudah mulai tersadar. Ia membuka matanya menatap sekeliling ruangan yang nampak redup. Hanya ada lampu berwarna kuning keemasan—di samping tempat tidur—yang menerangi ruangan itu. Elyana tidak bisa melihat setiap sudut ruangan itu dengan jelas. Namun, ruangan itu nampak asing di matanya. Ketika Elyana mencoba untuk bangun, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Apalagi kaki ... kakinya terasa ngilu dan juga perih. "Sudah bangun? Apa kau lapar?" tanya seorang pria yang ada di dalam kamar sambil meletakkan majalah di atas meja, lalu ia berdiri. David berjalan menghampiri Elyana. Tiba-tiba Elyana terkejut melihat sosok tinggi dan besar itu berjalan ke a
David dan Felix berjalan bersama menaiki anak tangga menuju lantai dua—kamar David—untuk melihat keadaan Elyana. Di tangan kirinya, Felix memegang sebuah kantong plastik berwarna putih dengan hawa panas yang terasa disekitar plastik itu. Setelah sampai di depan pintu kamar, Felix segera menyerahkan kantor plastik kecil itu pada David. "Tadi di jalan aku membeli ini untuk wanita itu!" Felix mengulurkan tangan, memberikannya pada David. "Apa ini?" David menerimanya. "Bubur!" jawab Felix. "Untuk meredakan rasa sakitnya, wanita itu harus makan obat pereda sakit. Sebelum makan obat, dia harus makan dulu, kan? Jadi, aku membawakan ini, untuknya." Hehe! Ini adalah cara Felix untuk mendapatkan simpati dari David. Ia tidak ingin sahabatnya itu menyulitkan dirinya di kemudian hari karena kelancangannya tadi yang berani memarahi David. Jadi sekarang, Felix berperan sebagai teman yang amat sangat perhatian pada wanita yang David rawat. &nb
'Hah, David? Mengapa dia melakukan hal ini?' Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, membuat Elyana semakin bingung. Tidak ingin membuat pelayan itu kesulitan, Elyana akhirnya mengiyakan. "Baik, aku akan segera turun!" Setelah itu, pelayan pergi meninggalkan Elyana. Ketika Elyana kembali masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja rias. Ia segera mengambil ponsel dan melihat nomor asing di layar ponselnya. Elyana sedikit ragu untuk mengangkatnya. "Apa ini Kakek? Tapi, semua nomor orang suruhan Kakek dan Judis sudah aku blokir semua. Tidak mungkin mereka menghubungiku lagi." Terdiam beberapa saat, dering ponsel itu kembali terdengar. Tidak mungkin Elyana terus mengabaikan panggilan itu. Dengan penasaran, ia segera menekan tombol hijau pada layar. "Halo!" sapanya dengan ragu. Terdengar suara wanita paruh baya dari seberang telepon, "Apa benar ini dengan Eli?
Selama satu bulan bekerja di rumah keluarga Isabel, Elyana selalu menahan rasa marahnya atas perlakuan buruk Isabel karena dirinya adalah pelayan d rumah itu. Dan sekarang, Isabel berani merusak ponsel pemberian dari mendiang ibunya. Elyana jelas tidak akan memaafkan Isabel. Masalah pekerjaan, jika sampai dirinya dipecat, itu tidak masalah. Elyana masih bisa mencarinya di tempat lain. "Sekarang, ambil ponselku dari lantai. Cepat!" Elyana memerintah Isabel sambil menunjuk ke bawah. Memaksa Isabel untuk memungut ponselnya yang sudah rusak di lantai. "Hah, Eli, gadis jelek! Kau berani memerintahku? Atas dasar apa kau berani memerintahku mengambil ponsel jelekmu itu?" bantah Isabel dengan segera. Ia tidak terima dengan tingkah pelayannya yang bernai memerintah, bahkan menunjuk-nunjuk dirinya. Kemarin-kemarin, pelayannya ini terlihat sangat jelek dan lugu. Tapi sekarang ... dia bernai membentak Isabel. 'Apa Eli salah minum obat? Obat kesurupan!'
Ada kepanikan di dalam hati Elyana ketika menyadari bahwa pria itu adalah David—pria yang bersamanya satu bulan yang lalu. Waktu itu, Elyana pergi tanpa pamit dari rumah David. Padahal pagi harinya, pria itu melarang Elyana meninggalkan rumah dan berjanji akan mengajaknya makan malam untuk merayakan kesembuhannya. Tapi, Elyana teta pergi dari rumah mewah tersebut. Di siang harinya sebelum Elyana pergi, David mengirim makanan yang sangat lezat untuk dirinya. Dan sekarang .... 'Bagaimana aku menghadapinya?' "Eli, ayo!" bisik Nosy sambil menarik lengan Elyana. Ia sedikit mencubitnya agar menyadarkan wanita itu. "Kau tidak bisa mudur di tengah jalan seperti ini. Uang satu juta dolar sudah kami transfer ke rekeningmu. Jika sekarang berubah pikiran, kau harus membayar tiga kali lipat," ancam Nosy dengan mengeratkan gigi. Ia menarik tangan Elyana, memaksanya untuk berjalan. Mendengar ancaman dari Nosy, Elyana segera tersadar. Ia mel
"Sudah! Tuh, lihatlah!" ucap Felix sambil mengarahkan ponselnya ke wajah Edwin. Jarak dari ponsel ke wajah Edwin sangatlah dekat, hingga pria itu mundur ke belakang untuk menghindar. "Ya, Tuan! Tapi maaf, singkirkan ponselnya dari wajah saya!" Edwin memiringkan tubuhnya ke belakang, menghindari tangan Felix yang semakin lama semakin mendekat. "Aku hanya khawatir, kau tidak bisa melihatnya dengan jelas. Coba, lihat satu kali lagi. Kelihatan atau tidak?" Felix masih mempermainkannya. Membuat Edwin semakin memiringkan tubuhnya ke belakang. "I-iya, Tu-Tuan! Saya sudah melihatnya. Ahhhhh—" Tiba-tiba, terdengar suara gaduh diiringi tubuh Edwin yang terjungkal ke belakang bersama dengan kursi duduknya. Semua orang segera menoleh untuk melihat keributan itu. Edwin berbaring di lantai dengan kaki yang mengacung ke atas, karena kursinya masih diduduki. Ia segera menatap kiri dan kanan, melihat semua orang sedang memperhatikan dirinya.