Setelah Felix benar-benar pergi, David kembali turun ke bawah. Ia meminta pelayan untuk menyiapkan banyak makanan untuk Elyana, karena tadi kata Felix "Tidak ada makanan di perut wanita itu."
Di malam hari, Elyana sudah mulai tersadar. Ia membuka matanya menatap sekeliling ruangan yang nampak redup. Hanya ada lampu berwarna kuning keemasan—di samping tempat tidur—yang menerangi ruangan itu. Elyana tidak bisa melihat setiap sudut ruangan itu dengan jelas. Namun, ruangan itu nampak asing di matanya.
Ketika Elyana mencoba untuk bangun, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Apalagi kaki ... kakinya terasa ngilu dan juga perih.
"Sudah bangun? Apa kau lapar?" tanya seorang pria yang ada di dalam kamar sambil meletakkan majalah di atas meja, lalu ia berdiri.
David berjalan menghampiri Elyana.
Tiba-tiba Elyana terkejut melihat sosok tinggi dan besar itu berjalan ke arahnya. Jika tidak menyangka, ternyata ada seorang pria asing di dalam ruangan itu.
Elyana segera menarik selimut dan menggenggamnya dengan erat. Ia takut, jika pria ini adalah orang suruhan kakeknya yang akan membawanya kembali ke kota Lyon.
"Ka-kau ... siapa kau?" tanya Elyana dengan gugup. Tangannya masih menggenggam selimut dengan erat.
Tadi siang, Elyana sempat sadar beberapa belas menit. Ia dilayani oleh pelayan dan diberi makan, juga diberi obat hingga ia tertidur. Walau antara sadar dan tidak, namun ia yakin, tidak melihat pria itu di sini.
"Apa kau orang suruhan kakekku?" tanya Elyana lagi—memberanikan diri. Tubuhnya bergetar karena takut dan menahan rasa sakit.
"Aku tidak ingin pulang! Menyingkirlah dariku!" Elyana menggeser tubuhnya sedikit karena pria itu semakin mendekat.
"Hem, siapa kakekmu?" tanya David tidak mengerti dengan ucapan wanita di depannya.
"Apa kau kabur dari rumah?" tebak David dengan kening yang mengerut. Ia berdiri di samping Elyana, menatap tubuh wanita itu dengan teliti.
"Pantas saja, kopermu sangat besar. Barang di dalamnya juga cukup banyak!"
Ada senyum yang terlintas di wajah tampan itu. Tapi, Elyana sama sekali tidak bisa melihatnya. Bahkan, tidak bisa melihat wajah David dengan jelas.
"Apa yang kau lakukan pada koperku?" Elyana mendengar pria itu membahas tentang isi kopernya. Tiba-tiba, ia merasa bahwa pria ini begitu berani menyentuh barang milik orang lain.
"Kau tidak boleh membuka barang milik orang lain tanpa izin!" Elyana tidak suka barang pribadinya dibuka oleh orang lain. "Itu namanya 'tidak sopan'!"
David mengangkat kedua alisnya. Berkata dengan penuh godaan, "Jika kami tidak membuka kopermu, harus dengan apa kami mengganti pakaianmu? Di rumah ini tidak ada pakaian untuk wanita. Apa kau mau, memakai pakaianku? Hem?"
"Atau ... kau mau memakai pakaian para pelayan di rumah ini?" godanya lagi sambil mendekat. Tubuhnya membungkuk untuk menatap Elyana.
Mendengar kata "Pelayan" dari mulut David, Elyana jadi teringat sesuatu.
Tadi siang, sebelum menerima telepon dari Daniel, Elyana sedang melihat-lihat lowongan pekerjaan di ponselnya.
'Mengapa tidak mencari pekerjaan sebagai pelayan saja? Dengan begitu, orang suruhan Kakek tidak bisa menemukanku!'
Memikirkan tentang idenya itu, Elyana merasa bersemangat.
"Di mana pakaian yang tadi siang aku pakai?" Dengan berani ia bertanya tanpa rasa takut dan ragu lagi. Karena ternyata, pria itu bukanlah orang suruhan Yuan Louis.
"Sudah dibuang!" jawab David dengan singkat. Ia menegakkan punggunnya kembali, tidak lagi mendekati Elyana.
"Apa ... dibuang? Kemana kau membuang pakaianku?" Elyana menyibak selimut, laku bangkit berdiri, berniat untuk pergi mencari pakaiannya yang dibuang oleh David.
"Tempat sampah yang ada di luar rumah!"
"Apa???"
'Keterlaluan! Dia membuang pakaianku ke tong sampah? Dasar gila! ' maki Elyana dalam hati. Merasa kesal, juga sangat marah pada David.
Elyana segera berjalan menuju pintu keluar, berniat untuk mengambil pakaiannya di tempat sampah yang ada di luar rumah.
Lebih tepatnya, Elyana ingin mencari ponsel yang ada di saku celananya.
Baru tiga langkah berjalan, tiba-tiba Elyana merasakan sakit di kakinya.
"Awhhh!" ringisnya sambil berjongkok di lantai. Ia menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.
"Kau kenapa?" David cemas melihatnya. Ia segera menghampiri Elyana. "Kakimu masih cedera karena tertabrak mobil. Dokter bilang, kau harus banyak istirahat. Jangan bergerak dulu."
David segera menggendong Elyana, membawa tubuh ramping itu kembali ke atas tempat tidur.
Elyana merasakan sakit di kakinya. Tanpa sadar, tangannya melingkar di leher David, menahan agar dirinya tidak terjatuh.
"Ah, sakit!" ringis Elyana lagi. Tidak kuat menahan denyutan di tulang kakinya yang semakin lama semakin terasa sakit.
Elyana tidak melepaskan ikatan tangannya ketika sudah dibaringkan di atas tempat tidur. Ia terus memeluk leher David, seolah mencari kenyamanan di sana.
David pun hanya diam tanpa bergerak. Membiarkan tubuhnya membungkuk ditarik oleh Elyana. Posisi mereka sangat dekat, saling menempel satu sama lain hingga hembusan napas wanita itu bisa David rasakan.
Entah sudah berapa lama posisi seperti ini berlangsung, hingga rasa pegal mulai terasa di pinggang kekar pria itu.
"Kau masih tidak ingin melepaskan aku?" bisik David di telinga Elyana. Tidak berani melepaskan diri secara paksa karena takut menyakiti wanita itu.
"Kakiku sakit! Kau tidak bisa merasakannya!" balas Elyana dengan kesal.
Ia segera melepaskan tangannya dari leher David. Menatap pria itu sekilas, lalu menarik selimut, menguburkan diri di dalamnya.
Sebagai nona kedua di keluaranya, Elyana memiliki sifat manja. Ia paling tidak bisa menerima rasa sakit di tubuhnya. Luka sedikit saja, akan menjadi sebuah luka besar bagi dirinya.
Biasanya, jika Elyana sedang terluka, akan ada ibunya yang memeluk dan menenangkannya. Tapi sekarang, ibunya sudah meninggal dan dirinya berada di rumah orang asing. Elyana tidak bisa bersikap manja lagi pada pria itu—seperi di rumahnya sendiri.
Melihat Elyana meringkuk di bawah selimut, David segera menegakkan tubyhnya, memijat pinggang yang terasa pegal, lalu beranjak pergi. Ia menatap sekilas Elyana sebelum menutup pintu kamar.
Di luar kamar, David mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menuruni tangga sambil menghubungi seseorang.
Terdengar suara kemarahan dari seberang telepon, "Kau gila, ya? Meminta aku datang ke rumahmu sekarang, hanya untuk memeriksa wanita itu!"
"David! Apa kau tidak tahu ... ini sudah jam berapa, hah? Sekarang, sudah jam dua belas malam, waktunya aku tidur sambil memeluk istriku. Bukan waktunya bekerja sebagai dokter!" ucap orang itu lagi masih dengan berteriak. Terdengar kesal dan juga tidak suka.
"Tuan Muda David, usiamu sudah menginjak tiga puluh tahun. Sebaiknya, kau terima saja perjodohan yang lakukan oleh orang tuamu. Setelah menikah, kau bisa tidur nyenyak sambil memeluk istri, tidak perlu lagi merawat wanita yang kau temukan di jalan!" sindir orang dari seberang telepon dengan nada memprovokasi. Nada suaranya sudah mulai diturunkan, tidak lagi sekeras tadi.
"Hey, Felix! Mengapa malah mengguruiku? Kau bersedia datang ke rumahku atau tidak?" sergah David setelah mendengar ocehan Felix.
David tidak butuh omong kosong. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah dokter untuk memeriksa keadaan Elyana.
"Baiklah ... baiklah! Aku segera ke rumahmu. Puas?" teriak Felix, kesal. Dirinya tidak ada kekuatan untuk membantah perintah David. Jika Felix berani membantah perintahnya, mungkin besok, David akan memecatnya sebagai kepala rumah sakit milik keluarga Demino. Itu amat mengerikan dari apapun.
"Dua puluh menit! Harus sampai dalam waktu dua puluh menit. Tidak boleh lebih dari itu!"
"Apa?" Felix terkejut mendengarnya. "Hey, jangan bercanda. Mana bisa dua pul—"
Klik!
David segera menutup teleponnya. Ia tidak ingin mendengar alasan apapun dari Felix.
Benar saja, dalam waktu tiga puluh menit, Felix baru tiba di rumah David. Felix datang masih memakai pakaian tidur dengan tas hitam di tangannya. Terlihat bahwa dia pergi terburu-buru hingga lupa mengganti pakaian.
"Kau telat sepuluh menit!" ucap David dengan sinis ketika melihat sahabatnya itu berdiri di depan pintu. David duduk di sofa sambil melipat kedua tangan di depan.
"Hah ...." Felix membuka mulutnya lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Dasar gila! Hanya sepuluh menit saja, kau begitu perhitungan sekali."
David dan Felix berjalan bersama menaiki anak tangga menuju lantai dua—kamar David—untuk melihat keadaan Elyana. Di tangan kirinya, Felix memegang sebuah kantong plastik berwarna putih dengan hawa panas yang terasa disekitar plastik itu. Setelah sampai di depan pintu kamar, Felix segera menyerahkan kantor plastik kecil itu pada David. "Tadi di jalan aku membeli ini untuk wanita itu!" Felix mengulurkan tangan, memberikannya pada David. "Apa ini?" David menerimanya. "Bubur!" jawab Felix. "Untuk meredakan rasa sakitnya, wanita itu harus makan obat pereda sakit. Sebelum makan obat, dia harus makan dulu, kan? Jadi, aku membawakan ini, untuknya." Hehe! Ini adalah cara Felix untuk mendapatkan simpati dari David. Ia tidak ingin sahabatnya itu menyulitkan dirinya di kemudian hari karena kelancangannya tadi yang berani memarahi David. Jadi sekarang, Felix berperan sebagai teman yang amat sangat perhatian pada wanita yang David rawat. &nb
'Hah, David? Mengapa dia melakukan hal ini?' Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, membuat Elyana semakin bingung. Tidak ingin membuat pelayan itu kesulitan, Elyana akhirnya mengiyakan. "Baik, aku akan segera turun!" Setelah itu, pelayan pergi meninggalkan Elyana. Ketika Elyana kembali masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja rias. Ia segera mengambil ponsel dan melihat nomor asing di layar ponselnya. Elyana sedikit ragu untuk mengangkatnya. "Apa ini Kakek? Tapi, semua nomor orang suruhan Kakek dan Judis sudah aku blokir semua. Tidak mungkin mereka menghubungiku lagi." Terdiam beberapa saat, dering ponsel itu kembali terdengar. Tidak mungkin Elyana terus mengabaikan panggilan itu. Dengan penasaran, ia segera menekan tombol hijau pada layar. "Halo!" sapanya dengan ragu. Terdengar suara wanita paruh baya dari seberang telepon, "Apa benar ini dengan Eli?
Selama satu bulan bekerja di rumah keluarga Isabel, Elyana selalu menahan rasa marahnya atas perlakuan buruk Isabel karena dirinya adalah pelayan d rumah itu. Dan sekarang, Isabel berani merusak ponsel pemberian dari mendiang ibunya. Elyana jelas tidak akan memaafkan Isabel. Masalah pekerjaan, jika sampai dirinya dipecat, itu tidak masalah. Elyana masih bisa mencarinya di tempat lain. "Sekarang, ambil ponselku dari lantai. Cepat!" Elyana memerintah Isabel sambil menunjuk ke bawah. Memaksa Isabel untuk memungut ponselnya yang sudah rusak di lantai. "Hah, Eli, gadis jelek! Kau berani memerintahku? Atas dasar apa kau berani memerintahku mengambil ponsel jelekmu itu?" bantah Isabel dengan segera. Ia tidak terima dengan tingkah pelayannya yang bernai memerintah, bahkan menunjuk-nunjuk dirinya. Kemarin-kemarin, pelayannya ini terlihat sangat jelek dan lugu. Tapi sekarang ... dia bernai membentak Isabel. 'Apa Eli salah minum obat? Obat kesurupan!'
Ada kepanikan di dalam hati Elyana ketika menyadari bahwa pria itu adalah David—pria yang bersamanya satu bulan yang lalu. Waktu itu, Elyana pergi tanpa pamit dari rumah David. Padahal pagi harinya, pria itu melarang Elyana meninggalkan rumah dan berjanji akan mengajaknya makan malam untuk merayakan kesembuhannya. Tapi, Elyana teta pergi dari rumah mewah tersebut. Di siang harinya sebelum Elyana pergi, David mengirim makanan yang sangat lezat untuk dirinya. Dan sekarang .... 'Bagaimana aku menghadapinya?' "Eli, ayo!" bisik Nosy sambil menarik lengan Elyana. Ia sedikit mencubitnya agar menyadarkan wanita itu. "Kau tidak bisa mudur di tengah jalan seperti ini. Uang satu juta dolar sudah kami transfer ke rekeningmu. Jika sekarang berubah pikiran, kau harus membayar tiga kali lipat," ancam Nosy dengan mengeratkan gigi. Ia menarik tangan Elyana, memaksanya untuk berjalan. Mendengar ancaman dari Nosy, Elyana segera tersadar. Ia mel
"Sudah! Tuh, lihatlah!" ucap Felix sambil mengarahkan ponselnya ke wajah Edwin. Jarak dari ponsel ke wajah Edwin sangatlah dekat, hingga pria itu mundur ke belakang untuk menghindar. "Ya, Tuan! Tapi maaf, singkirkan ponselnya dari wajah saya!" Edwin memiringkan tubuhnya ke belakang, menghindari tangan Felix yang semakin lama semakin mendekat. "Aku hanya khawatir, kau tidak bisa melihatnya dengan jelas. Coba, lihat satu kali lagi. Kelihatan atau tidak?" Felix masih mempermainkannya. Membuat Edwin semakin memiringkan tubuhnya ke belakang. "I-iya, Tu-Tuan! Saya sudah melihatnya. Ahhhhh—" Tiba-tiba, terdengar suara gaduh diiringi tubuh Edwin yang terjungkal ke belakang bersama dengan kursi duduknya. Semua orang segera menoleh untuk melihat keributan itu. Edwin berbaring di lantai dengan kaki yang mengacung ke atas, karena kursinya masih diduduki. Ia segera menatap kiri dan kanan, melihat semua orang sedang memperhatikan dirinya.
"Pergi ke mana, Elyana?" tanya David dengan perasaan tidak enak. Ia khawatir akan kehilangan wanita itu lagi. "O, iya! Dari mana kau tahu bahwa Elyana sudah pergi? Jangan-jangan, kau menguntit Elyana di hotel?" tuduh David pada Edwin. Tuduhan itu membuat Edwin tidak enak. "Tuan! Jika sekarang saya tidak mengikuti Nona Elyana, mungkin Anda akan segera membunuh saya. Sekarang, taksi yang ditumpangi Nona Elyana mengarah ke jalan selatan. Saya masih menguntit taksi mereka dari belakang," jawab Edwin dengan berani. Ia tidak ingin dituduh sebagai penguntit oleh majikannya, karena itu terlalu kejam. "Hah? Jalan selatan?" tanya David dengan pelan. Juga merasa lega karena asistennya sedang mengikuti taksi yang ditumpangi oleh Elyana. "Ya, Tuan! Taksi Nona Elyana berjalan menuju jalan selatan." Edwin masih memegang roda kemudi dan menggerakkannya dengan lincah. Walau mata tertuju pada taksi yang ada di depan mobilnya, namun telinga tetap fok
Eyana merasakan jantungnya berdetak kencang ketika mendengar ucapan David tentang "Membuat perhitungan dengannya". Seolah ada sebuah hantaman yang sangat keras di dalam dadanya membuat napasnya terasa sesak dan berat. Apa yang harus Elyana lakukan? Elyana menarik napas panjang, berkata pada David, "Baik! Besok siang, kita bertemu lagi untuk membicarakan masalah ini. Sekarang aku lelah, ingin pulang ke rumah untuk istirahat. Bisa, kan?" Lebih tepatnya, Elyana ingin mencari hotel terdekat untuk dirinya menginap. Tidak mungkin Elyana pulang ke rumah Alex dan istirahat di sana, kan? Toh, ia hanya seorang pelayan di rumah keluarga Danu, bukan benar-benar putri mereka. David bersikap acuh. Ia tidak menjawab perkataan Elyana hingga mereka keluar dari gedung rumah sakit. Itu membuat Elyana merasa lega. "Sampai bertemu besok Tuan David! Hati-hati di jalan," ucap Elyana dengan melambaikan tangan ketika mereka sudah berada di luar.
Elyana bergidik ngeri ketika David terus menggosok pipinya dengan jari yang sudah diludahi. Ia segera menarik tangan David agar menyingkir dari wajahnya. "Sudah hentikan! Lepaskan aku." Elyana sudah tidak tahan lagi. Ia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pria itu. Tapi David tidak mendengar. "Diamlah, sedikit lagi!" ucap David masih dengan memegang wajah Elyana. Setelah menggosok dua kali, barulah ia melepaskannya. "Nah, sudah bersih!" "Hah?" Elyana terdiam sambil melihat pria itu. David membersihkan tahu lalat yang sudah dirinya buat. Ketika Elyana akan berbicara pada David, terlihat Alex dan istrinya sudah berdiri di halaman rumah sambil menatap mereka yang masih berada di dalam mobil. Elyana dan David pun tidak membuang waktunya lagi, segera turun dan berjalan menghampiri kedua orang tua Isabel. Nosy berdiri sambil melipat kedua tangan di depan, menatap Elyana—yang berj