Share

2. Perkenalan

Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'

Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. 

"Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Saat melihat siapa yang berdiri di luar pintu, Oma Beth menerbitkan senyum lebar. 

"Hai, Lau. Senang sekali kamu mau berkunjung ke rumah Oma." Wanita itu menoleh ke pria yang masih menatap tajam ke manik abu-abu Laura. "Mengapa tidak kamu suruh masuk tamu kita, Rick?" Lantas ia menarik tangan Laura ke dalam. "Ayo, masuklah, Sayang."

Laura tak menolak. Ia melewati pria itu dengan memasang wajah permusuhan. Bahkan penuh berani ia menentang mata yang tak berkedip itu.  Laura menduga pria itu papanya Cla yang cerewet itu. Menurutnya, pria itu tak cuma cerewet, tapi bermulut pedas. 

Oma Beth membawa tamunya ke sofa beludru yang bisa diduduki dua orang sehingga mereka duduk bersisian. 

"Kamu ingin minum teh atau kopi, Nak?" tawar Oma Beth dengan senyum ramahnya yang selalu menghias wajahnya. 

Laura menggeleng. "Tidak usah, Oma. Aku ke sini cuma sebentar karena ada perlu, tapi...." Laura menatap pria yang masih berdiri di pintu yang sudah tertutup itu. "Aku cuma mau bicara empat mata saja, Oma," sambungnya. 

Oma Beth menoleh ke pria yang masih memandang tajam ke Laura. 

"Sebentar lagi nasi goreng sudah matang. Bisakah kamu bangunkan Cla?"

Pria di pintu tak menyahut permintaan Oma Beth, tapi kakinya yang panjang segera melangkah menuju ke salah satu kanar yang berada di sisi kanan tempat Laura duduk. 

"Apakah ada yang bisa Oma bantu, Lau?" Oma Beth menatap Laura kembali. 

Laura mengangguk. "Aku butuh pekerjaan sementara, Oma. Aku mesti mengumpulkan duit untuk biaya hidup sehari-hari karena uangku sudah habis. Jadi aku berniat mau bekerja jadi pembantumu, Oma. Aku sangat berharap sekali Oma mau menerimaku. Sungguh, aku benar-benar butuh duit." Laura melayangkan tatapan memohon. "Oma bisa menahan kartu Identitasku jika tak percaya denganku," sambungnya dengan ekspresi sungguh-sungguh. 

Oma Beth tak lekas menyahut. Mata setengah tuanya memindai Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki dan Laura membiarkannya. 

"Kamu minta gaji berapa, Nak?" Setelah cukup lama Oma Beth berpikir, ia melemparkan tanya. 

Gaji? Ah! Mata Laura jadi berbinar senang. Segepok uang terbayang di palpebra. Ia akan kaya dalam waktu dekat. Jadi, berapa gaji yang harus ia minta? 

'Sialan! Gue tidak pernah bertanya berapa gaji Bik Marni dan Bik Bedah. Berapa ya kira-kira? Tiga juta? Lima juta? Aduh, gue benar-benar buta gaji pembantu!' Laura menggaruk-garuk kepalanya yang memang gatal. Sudah seminggu ini ia memakai sampo murahan yang sasetan karena tak bisa membeli sampo mahal seperti biasanya. Perubahan sampo yang ia pakai membuat kepalanya seperti ada koreng, gatal bukan main. 

Oma Beth menyunggingkan senyum tipis melihat ekspresi bingung di wajah cantik Laura. Ia yakin sekali, gadis berkulit halus itu tak pernah bekerja menjadi pembantu. Dari cara bercakap dan pakaian yang dikenakan setiap mereka bertemu, Laura tampak anak orang kaya. Gadis itu tadi berkata sangat membutuhkan uang. Jika sampai gadis itu ingin melamar jadi pembantunya, berarti telah terjadi masalah besar dalam kehidupannya. Sebagai orang yang baru kenal, Oma Beth sungkan mengorek kehidupan gadis itu lebih dalam. Satu hal yang coba ia yakini, Laura orang yang jujur.

"Oma biasa menggaji asisten sebesar dua juta, tapi khusus memegang pekerjaan rumah saja, sedangkan urusan Cla, dipegang Oma. Kalau kamu setuju gaji dua juta, kamu bisa bekerja di sini mulai Senin besok."

'Dua juta? Terlalu kecil. Jauh dari ekspektasi, tapi cukup lumayan sampai gue dapat pekerjaan yang lebih layak dan bergaji puluhan juta. Untuk saat ini, gue cuma perlu memikirkan perut, kebutuhan mandi, paket internet, dan bayar kos karena Papi cuma membayar tiga bulan saja.'

"Aku mau, Oma. Tapi, apakah aku dapat makan dan wifi gratis?"

Senyum di bibir Oma Beth melebar. Gadis di depannya ini tampak kelaparan. "Tentu saja. Kamu bisa memakai internet sepuas hatimu."

"Oke, Oma. Aku siap bekerja besok." Angguk Laura mantap. Walau ia buta sekali pekerjaan rumah, tapi ia nekat akan melakukannya. Pikirnya, sekadar menyapu dan mengepel, mencuci pakaian dan piring, tidaklah terlalu sulit. Bahkan Bik Marni dan Bik Bedah bisa melakukannya sambil menelepon. 

"Kalau begitu, Oma akan mengenalkan penghuni rumah ini agar kamu tahu kebiasaan dan makanan favorit mereka." Oma Beth segera menuju kamar yang tadi dimasuki pria yang telah menghina Laura. Tak sampai tiga menit, Oma Beth keluar dan berjalan ke kamar sebelahnya. Lantas Oma Beth muncul bersama dua lelaki dengan postur jauh berbeda. Yang satu sedikit lebih gemuk dan wajah klimis, tanpa bulu sedikit pun. Tingginya juga standar sekitar 170cm. Kedua lelaki yang berdiri di sisi kanan dan kiri Oma Beth menatap Laura hampir tak berkedip. 

"Lau, sebelah kanan Oma bisa kamu panggil Rick. Dia papanya Clarissa. Sudah tiga tahun menduda. Sedangkan yang sebelah kiri Oma, kamu bisa memanggilnya Jeff. Oma cuma memiliki dua anak lelaki dengan usia terpaut lima tahun. Rick berumur 33 tahun, jadi Jeff masih 28 tahun. Jeff sangat cerewet untuk banyak hal. Oma berharap mentalmu kuat...."

Kalimat Oma Beth belum selesai, Rick sudah memotongnya. 

"Dia siapa sehingga Mami menjelaskan kami sampai detail?" Sebelah alis Rick meninggi. 

"Dia Laura, berniat bekerja di sini...."

Lagi-lagi kalimat Oma Beth diinterupsi oleh Rick. "Oh, mau jadi pembantu?" Bibir tipis kehitaman itu mencebik. Kakinya terayun melangkah ke arah Laura. "Coba kamu berdiri!" perintahnya tajam. 

Sebenarnya Laura alergi dengan pria di depannya, jadi tak sudi sekali menuruti perintahnya. Sialnya, pria cerewet itu adalah anaknya Oma Beth, calon bosnya. Dengan berat hati, Laura akhirnya berdiri dan menentang tatapan pria yang memindai tubuhnya sambil berjalan berputar. 

"Kamu tampak seperti pengemis ...."

"Cukup, Rick!" potong Oma Beth dengan suara lantang. Wajah putih pucatnya tampak memerah samar. Ia cukup kesal dengan penghinaan Rick kepada Laura. 

"Mundur, Rick! Mami belum selesai bicara dengan Laura!" perintah Oma Beth. 

Rick bergeming. Tatapannya yang semakin tajam menembus ke kedalaman mata Laura yang juga menentangnya tanpa gentar. Lantas, Rick berjalan mundur sebelum suara maminya melengking lagi. 

"Banyak makanan yang tidak disukai Rick. Di dapur, ada catatan lengkap makanan sangat dihindari Rick. Untuk sarapan, ia lebih suka telur ayam kampung setengah matang yang sudah dicampur merica halus dan madu. Sedangkan minumannya ia cuma menyukai teh dan susu...."

"Kecuali susu wanita muda." Celetukan yang ditutup dengan tawa bernada cemooh itu keluar dari mulut pria yang berdiri di sisi kiri Oma Beth. 

Mata Laura terbelalak mendengar gurauan mesum itu. Ia menoleh ke Rick. Wajah putih itu memerah. Cuping hidungnya kembang kempis dengan mulut terkunci rapat. Mungkin pria itu sedang menggeletukkan gigi. 

"Tutup mulutmu, Jeff!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status