Share

Bab 6 : Kesepakatan

Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah. 

Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut. 

"Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu. 

Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari. 

Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi. 

"Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan. 

"Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung. 

"Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tentang hal itu," usir Ghazi. 

"Mana minuman gue?!" bentak Divya. 

Ghazi mengulurkan air mineral dingin yang telah diminta olehnya tepat saat menyembulkan kepala di balik pintu kelas. 

"Div, Abangku udah balik. Cuma mau kasih info aja, sih. Kudengar kau bakal jadi kakak iparku kan?" katanya lagi. Siapa sangka kalau pengusiran Ghazi sama sekali tidak diindahkan olehnya. 

"What?! Sinting Lo?! Ngelindur, kalau mau kelas tuh minimal cuci muka dulu! Baru ngampus!" Divya terperanjat. Matanya melebar sempurna. Namun, sepersekian detik berikutnya ia mulai mengontrol diri dan kembali menjadi Divya yang bermulut dingin nun pedas. 

Ia bangkit dan sengaja menabrak bahu laki-laki yang tidak dia kenal. Sungguh, sekalipun Divya sudah hapal seluk beluk universitas tersebut. Akan tetapi mengenali manusia-manusia di sana tidak termasuk dalam ketertarikan Divya. Dia tak acuh pada semua orang yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya. 

"Div! Eh— Div. Aku baru mau nyusul! Kamu mau ke mana?!" Lengan Ivy lekas dicekal oleh sang pemilik nama. Kemudian menjauh dari bangku taman dan menuju ke parkiran. 

"Gue laper. Kita cari tempat makan yok! Suntuk banget di sini! Gerah!" keluhnya. 

Sebetulnya yang terjadi dia marah. Geram pada hari yang diluar kendalinya. Divya ingin lekas lepas dari kehidupan yang menjemukan ini. Dalam benaknya hanya ada kesenangan. 

Ghazi tidak lagi membuka pintu untuk Divya. Ia yakin betul bahwa gadis itu tidak akan mau. Namun—

"Pengawal macam apa Lo! Masuk sebelum majikan duduk tenang, huh?!" sergah Divya. 

Sang pengawal mengerutkan dahi. Alisnya yang tebal hampir bertubrukan. 

Ghazi mendengus lirih tanpa terdengar oleh Divya dan kembali keluar mobil hanya untuk membuka pintu. 

"Gue mau duduk di depan!" 

"Baik," sahut Ghazi tenang. 

"Lha, maksudya aku tetap di belakang sendiri? Dasar aneh," gerutu Ivy. 

Setelah dipastikan semuanya duduk dengan aman. Ghazi menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil merah tersebut. Menuju ke salah satu tempat yang Divya tidak pernah datangi. 

"Ke mana kita?" tanya Ivy. Dia memang tidak tahu banyak di Briona. Sejauh ini Divya yang selalu mengajaknya jalan-jalan. Tidak jarang pula Divya selalu mentraktir dirinya. 

"Tau'! Dia yang akan cari tempat makan buat kita sebelum balik! Ah— lelah banget hari ini, astaga!" keluh Divya untuk kesekian kalinya. 

"Tumben bener kamu ngeluh terus, deh. Keknya aku tahu, mau bulanan kamu, ya?"

Tak!

Jitakan yang tidak disangka, kembali dirasakan oleh Ivy. "Punya rem kagak?! Lo gila, yak! Ada Ghazi ngomongin bulanan! Setan lo!"

"Dih?! Sejak kapan peduli? Dari kemarin juga santai-santai aja, kan?"

"Diam, Ivy! Diam!" tekan Divya. 

Ivy mengangkat tangan. Mundur dan menyandarkan punggungnya pada head board. 

Setengah jam membelah jalanan kota. Ketiga mahluk yang kelaparan itu tiba di sebuah bendungan besar. Di sampingnya ada berderet-deret penjual makanan dengan berbagai menu. 

"Tunggu! Ini tempat apaan?! Lo gila?! Lo ngajakin gue makan di— tempat seperti ini?!"

"Makanannya tidak buruk." Ghazi melirik jam di tangannya. Seharusnya jam kerjanya usai tepat pukul lima. Itu sebab dia mengucapkan kata-kata yang tidak formal pada Divya. 

Di luar jam lima, Ghazi bisa memperlakukan Divha selayaknya teman. Tidak perlu berucap terlalu kaku. Semua sudah tertulis dalam kontrak yang telah disetujui oleh Hendery. Ghazi adalah pria terjadwal. Dia bisa sangat patuh pada aturan. 

"Dih! Nggak! Balik atau gue bakal aduin lo ke bokap gue!" ancam Divya. 

"Iya, Tuan. Kami sedang makan di dekat bendungan Briona. Apakah Nona Divya diizinkan untuk singgah?"

"Tentu saja, Ghaz. Biarkan anak gadisku menyatu dengan semua yang ada di dunia ini kecuali dunia malam," tandas Hendery dari seberang telepon. 

Tepat saat Divya memberontak, Hendery menghubungi Ghazi. Memastikan bahwa laki-laki itu melakukan tugas dengan baik. Pasalnya dua jam lalu, terakhir kali Ghazi melapor. 

Divya geram, ia mengepalkan genggaman jari dan menghentakkan kakinya. Kemudian berlalu meninggalkan Ivy dan Ghazi. 

"Huh— sabar-sabar, ya, Babang ganteng. Divya, tuh aslinya baek, kok."

"Santai aja, Iv. Ini sudah tugasku, tidak ada hal sulit dalam menanganinya," timpal Ghazi. 

Kali pertama pria itu menyahut ucapan Ivy dengan santai dan tetap dalam pembawaannya yang tenang. 

"Oke! Yok! Kita makan, kalau di mari mah, uang sakuku nggak bakal menjerit!" kelakar Ivy. 

Ghazi menimpalinya dengan setengah senyum sebagai stabilitas diri. Supaya Ivy tidak terlampau malu juga. 

Mereka duduk dalam satu meja. Pemandangan yang disuguhkan benar-benar genangan air yang luas. Bola raksasa di cakrawala itu mulai redup tertelan oleh singasana kegelapan. Namun, sorot jingga pekat itu masih mampu menyinari seraut wajah Divya yang terlampau loyo. 

Makanan mereka telah siap. Divya memesan kepiting asam manis. Ivy dengan gurame pedas manis. Sementara Ghazi hanya memesan penyetan lele dengan sambal ijo. 

"Mau aku bantu pisahkan tulang dan dagingnya, Divya?" tawar Ghazi dengan tutur kata yang tenang selayaknya berucap dengan Ivy sebelumnya. 

Divya bungkam. Pikirannya masih berkecamuk. Di tengah kesibukan Ghazi memisahkan tulang dan daging kepiting itu, tiba-tiba suara Divya meluncur. 

"Dia adik temen papa yang mau dijodohin ama gue? Sumpah, gue nggak mau nikah muda! Ini— gila!" gerutu Divya. Namun, ucapannya bisa ditangkap telinga Ivy dan Ghazi. 

Pria itu menghentikan aksinya dan membersihkan tangannya. 

"Siapa? Maksudmu, Sunu?"

"Sunu? Nama apaan, tuh? Huh— siapapun dia, bodoamat! Gue kagak mau dijodohin ama siapapun!" tandas Divya. Ia melipat kakinya dan menggenggam ujung jari kakinya yang terasa dingin. 

Angin memang berembus dengan cukup kencang. Segar dan aroma air tawar itu seperti hujan mengguyur tanah kering. 

"Emang bokapmu positif bakal ngejodohin, kamu sama anak temennya? Barangkali ini hanya gertakan," ujar Ivy menenangkan. 

"Nggak, Iv. Papa serius. Selama ini dia yang menentang aku dengan hubungan-hubungan berstatus. Tapi, malam itu, dia bener-bener kalap banget."

"Tapi, kamu tenang aja. Aku yakin, pria itu adalah orang baik. Kalau nggak, nggak mungkinkan bokapmu milih dia."

"Nggak juga, kadang pilihan orang tua tidak selalu benar," timpal Ghazi dengan tenang tanpa dosa. Bahkan dia sudah hampir melahap habis makanan yang telah dipesan. 

"His! Bang ganteng, bisa nggak kita sefrekuensi nenangin, temenku?" bisik Ivy seraya menyikut lengan Ghazi. 

Sumpah demi apa pun lengan itu terasa sangat keras. 

"Gue juga kira gitu. Oke, Ghaz. Kita punya kesepakatan kan tadi? Sekarang gue mau buat kesepakatan itu. Hitam diatas putih!" terang Divya, yang mulanya kehilangan semangat. Seolah kini kembali membara dengan secercah harapan. 

"Nah gitu, kek dari kemarin, akur. Kalau gini kan, aku bisa tenang," tutur Ivy. Ia mulai mencomot daging gurame yang sudah disiram dengan rempah-rempah berwarna merah. Sangat menggoda lidah untuk lekas mencicipnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status