Share

6. Pak Tua

Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan.

"Shut up!" teriaknya.

Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar.

"Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada.

Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mendekati ranjang Clay.

"Apa yang terjadi, Nak? Kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Abi El lembut.

"Apa kalian bodoh! Suara kalian mengganggu tidurku," bentak Clay. 

Abi El menghela nafas dan terus beristiqfar melihat sikap putranya yang kini menjadi sangat pemarah.

"Abi sedang mengaji dengan Umi, meminta pada Allah untuk kesembuhanmu. Apa kamu terbangun karena ingin sholat subuh? Abi bisa membantumu untuk berwudhu," ucap Abi El tetap berusaha sabar menghadapi sikap Ezra yang berbeda. 

"Sholat, sholat apa itu. Aku tak mengenalnya. Lebih baik pergi kalian dari sini, aku ingin tidur. Aku juga ingin segera sembuh tanpa doa atau apapun itu dari kalian,," ucap Clay berapi-api.

Membuat Abi El dan Umi Salimah menjadi semakin sedih. Seamnesia-amnesianya seseorang bukankah kebiasaannya yang telah lama dilakukan tidak hilang begitu saja. Itulah yang membuat Abi El dan Umi Salimah semakin bersedih. 

Ezranya bahkan seolah lupa akan Tuhannya. Tak sekalipun sejak sadar ia mengucapkan kalimat dzikir yang biasa dilantunkan olehnya walau sedang duduk memandang langit sekalipun. Yang ada sejak kembali sadar, Ezranya marah-marah dan membuat ia dan istrinya serba salah.

Ezra tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai hamba Tuhan yang harus tunduk dan patuh akan ketentuan dariNYA. Tetapi kenapa Ezranya begitu mudah melupakan semua itu. Tak lagi bisa menahannya, bulir-bulir air mata mengalir dipelupuk matanya. tanpa bisa dicegah.

Di usia senjanya Abi El ingin tenang dan menyerahkan urusan Pesantren Jingga pada putra satu-satunya itu setelah pernikahan Ezra dan Khansa digelar. Hanya ingin fokus beribadah dan berniat sementara waktu akan tinggal di Kota Suci Mekkah minimal dalam jangka satu tahun ke depan. Namun, sepertinya semua rencana hancur seketika. Harapannya luruh seiring sikap Ezra yang sangat asing baginya.

"Pergi!!" usir Clay.

Abi El masih tak bergeming, ia segera mengusap air matanya dan melihat ke arah Clay.

"Abi bantu ambil wudhu ya, setelahnya sholat dan dizkirlah. Biar hatimu tenang tidak marah-marah terus."

Masih dengan suara lembut Abi El membantu Clay berwudhu dengan cara tayamum. Walau Ezra menatap tajam dan raut wajah tak senang ia tetap melakukannya. Istrinya hanya memperhatikan suaminya, tentu perasaannya kini bercampur aduk antara iba dan tak tega. Tetapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa.

"Pergi sialan! Apakah kau tidak tau kata pergi hah?" suara Clay makin kencang saat usapan telapak tangan Abi El ke wajahnya. Suara Clay menggema dalam ruangan kamar VVIP itu. Abi El membuang nafas kasar setelah selesai melakukan tahap tayamum pada Clay. 

"Ckk menganggu saja," ujar Clay dengan melirik Umi Salimah yang langsung tertunduk.

"Pak Tua apa yang kau lakukan hah? Kau ingin aku membunuhmu segera? Jangan kau pikir setelah kau menolongku, aku akan iba. Jika tubuhku bisa bergerak, akan kupastikan kau mati di tanganku."

Kalimat demi kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir Clay tak membuat tekad Kyai besar itu mundur. Disela rasa sedih dan sakit akibat perlakuan Clay, ia akan berusaha tetap mengingatkan putranya itu.

Jadi ia diam saja dan terus melakukan tahap demi tahap mewudhukan Clay. Membuat Clay makin berang tapi tak bisa berbuat apa-apa. Jari-jemarinya yang kemarin sempat bergerak kini mendadak kaku lagi. Ia hanya bisa mengumpat dan memarahi Abi El yang keras kepala.

"Nah sudah selesai dan bersiaplah sholat. Jika tubuhmu tidak bisa digerakkan maka cukup kedipkan saja bola matamu. Tetapi tetap tahapan rukun dan syarat sahnya sholat harus kau jalankan.

Allah Maha Tahu keadaan setiap hambaNYA. Abi yakin kelak saat kesadaranmu kembali seperti dulu, kau akan berterima kasih pada Abi dan Umimu. Kau tidak lupa kan, bacaan-bacaan sholatnya?"

Clay melengoskan wajah, tak lagi berteriak-teriak. Rasa haus membuatnya menahan diri. Ini masih sangat pagi, jam di dinding menunjukkan pukul lima lewat nol lima menit. Tapi suaranya sejak bangun sudah ia buat untuk memarahi lelaki tua di hadapannya itu. Abi El sama sekali tak terpengaruh atau merasa takut akan amarah dan ancamannya. Abi El seolah mengerti, tanpa berkata ia mengambil gelas di nakas dan menuangkan air minum di dalamnya.

Ia berjalan kembali mendekatkan gelas itu ke bibir Clay. Tetapi gengsi dan kemarahannya sangat tinggi. Saat gelas mendekat ke arahnya, ia menanduk gelas itu hingga isinya tumpah. Sudah pasti air itu tumpah mengenai tubuhnya. Rembesan air mengenai tubuh bagian atasnya, masuk menyentuh kulit dan terus mengalir ke bawah.

"Sialan, kau sengaja Pak Tua? Kau balas dendam padaku dengan cara murahan seperti ini hah?" maki Clay.

Padahal jelas dirinyalah yang salah. Tetapi mana mau dia menyalahkan dirinya sendiri walau tau itu adalah kesalahannya. Abi El benar-benar diuji kesabarannya. Ia terus beristiqfar tanpa menjawab makian dari Clay. Ia pun segera meletakkan gelas yang sudah kosong itu di nakas. Mengambil tisu dan mengelap tubuh Clay yang terkena air minum.

"Jangan sentuh tubuhku Pak Tua. Berani-beraninya menyentuh tubuhku yang berharga ini," ucap Clay masih memarahi Abi El.

"Jika bukan Abi yang menyentuh mau siapa lagi? Perawat? Waktu mereka terbagi-bagi, tentu saja mereka tidak bisa menjaga dan merawatmu dua puluh empat jam. Hanya Abi dan Umi yang ada di sisimu Nak. Jadi tolong hargailah kami dengan tidak berkata kasar."

Abi El terus berbicara menasehati Clay dengan tangan yang juga bergerak mengeringkan air yang mengenai tubuh anaknya. Ia juga menggantikan baju Clay, agak kesusahan. Umi Salimah pun membantu saat melepaskan dan mengenakan pakaian dari rumah sakit tersebut. Membuat Clay memalingkan wajah ke kanan. Tak ingin melihat pasangan suami istri itu dengan telaten, sabar dalam merawatnya. Apa itu artinya Clay mulai tersentuh, tentu saja jawabannya tidak. Ia membiarkannya saja tanpa suara karena dalam hati mengakui jika dirinya butuh bantuan pasutri itu.

"Sudah selesai, sholatlah mumpung masih pagi. Abi akan duduk di sana, jika ada apa-apa panggil saja."

Abi dan Umi Salimah pun kembali ke tempat duduk semula yang tak lain adalah sofa. Keduanya diam dengan tangan saling menggenggam. Saling menguatkan hati dan mental dalam menghadapi perubahan Ezra yang luar biasa di luar ekspektasinya.

Clay sendiri tidak sholat. Jangankan menunaikannya, kata sholat saja asing di telinganya. Mana dia tau gerakan sholat itu seperti apa. Jadi ia memilih memejamkan mata sambil menahan haus. Berharap perawat akan segera tiba dan ia bisa meminta bantuan mereka. Dalam benaknya ia bertanya-tanya, sampai kapan dia berada di pembaringan dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan.

"Aku harus segera menghubungi Jonas dan membawaku pergi dari sini, tapi bagaimana caranya?" monolog Clay dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status