Bab 68Elang berjalan dengan langkah tergesa menuju ruang ICU, tempat di mana Kayla sedang dirawat. Matanya hanya fokus pada jalanan di depannya agar bisa lekas sampai di ruangan tersebut. Pikirannya sudah lebih tenang sebab Sabrina sudah ditemukan.Beberapa kali ponselnya berdering dari sang mama, bertanya di mana posisinya sekarang. Dan itu membuat Elang makin cemas dengan kondisi Kayla.Biasanya, Bu Laras dan Pak Rahardjo cukup bisa diandalkan dalam hal apapun. Tapi dering ponsel yang terus berbunyi itu membuat Elang merasa bahwa orang tuanya tak bisa mengatasi keadaan itu dan mengharuskannya berada di sisi Kayla secara langsung.Elang pun makin mempercepat langkahnya."El," sapa Bu Laras kala matanya melihat Elang mendekatinya. Tangannya terangkat untuk memeluk sang putra. Ketika berada dalam rengkuhan putranya, air mata Bu Laras tumpah seketika."Kayla, El. Kondisinya mengkhawatirkan," ucap Bu Laras dalam isakan. Ia begitu cemas melihat busa yang keluar dari mulut Kayla secara la
Bab 69Elang menuntun Sabrina berjalan di jalan setapak di antara makam yang berjajar. Dadanya kebak akan rasa haru atas apa yang sudah terjadi. "Hati-hati, Sayang," ujar Elang saat Sabrina berusaha menghindari makam yang ada di samping jalanan.Tangan Sabrina menggenggam erat lengan Elang yang ada di sampingnya. Kondisinya yang baru saja pulih membuat badannya masih terasa lemas dan sesekali harus menyandarkan badannya agar tidak roboh. Seharusnya Sabrina banyak beristirahat, tapi rasa bersalahnya tak lagi dapat menahan langkah kakinya untuk berjumpa dengan Kayla sekalipun sudah berbeda alam."Ini makamnya," ucap Elang seraya menunjuk satu makam yang masih tinggi gundukannya. Kembang setaman yang ditaburkan kemarin masih banyak berjajar di atas makam itu. Bahkan aromanya sesekali masih terhirup oleh hidung Sabrina juga Elang.Sabrina menatap makam itu dengan hawa panas yang mulai merambat ke sekujur tubuhnya. Kepergian Kayla setelah apa yang dilakukannya pada Sabrina membuat Sabrina
Bab 70Hari-hari baru telah dilalui oleh Sabrina dan Elang di rumahnya yang sebelumnya ia tempati. Kehidupan baru dengan status baru, yaitu sebagai satu-satunya istri dari Elang Hastanta.Pernikahan mereka baru saja di sahkan setelah satu bulan kepergian Kayla. Hal itu membuat Sabrina merasa lega sebab statusnya telah sah dimata hukum. "Terima kasih atas hadiah ini, Mas," ucap Sabrina setelah kembali ke rumah. Buku nikah telah ia dapatkan ditangan. Ia bukan lagi menjadi wanita simpanan, melainkan sebagai satu-satunya istri sah yang dimiliki Elang.Bibir Elang mengulum senyuman. Ia mengusap pipi Sabrina menggunakan ibu jarinya dengan halus dan lembut."Sama-sama, Sayang. Tidak ada lagi alasan untukku tidak menjadikanmu sebagai satu-satunya istri sah. Mas janji akan selalu menjaga diri agar tidak lagi melakukan kecerobohan yang menyebabkan hidup Mas jadi berantakan seperti kemarin. Mas juga janji akan membahagiakan kamu dan anak kita nanti," ucap Elang sambil mengusap perut Sabrina yan
Sabrina berjalan dengan kaki yang masih sedikit gemetar. Sesekali ia melirik ke arah Elang untuk menghalau gelisah yang sedang menderanya. Tangan Sabrina memegang lengan kemeja polos yang melekat di badan laki-laki gagah di sebelahnya dengan erat."Itu dia! Usir saja dari kampung ini! Bikin malu saja," teriak sebuah suara yang membuat rasa gelisah dalam diri Sabrina kian meningkat.Dahi Elang terlihat mengerut, tapi ia mencoba untuk tetap tenang agar Sabrina tak kembali dihampiri rasa cemas yang berlebihan."Jangan, Pak. Tolong jangan usir anak saya," teriak suara seorang perempuan. Pemilik suara itu langsung menghampiri Sabrina yang sedang berjalan menuju dirinya. Perempuan paruh baya itu mengamati putrinya dengan seksama dari atas hingga bawah dengan tatapan khawatir. Ia harus memastikan bahwa anaknya tidak kenapa-kenapa."Rin, apa yang terjadi denganmu," teriak Bu Mila, pemilik suara itu."Sabrina ngga apa-apa, Bu." Sabrina menjawab sambil melirik laki-laki yang ada di sebelahnya.
Mobil Elang melaju dengan kencangnya membawa Bu Mila ke rumah sakit. Hatinya turut cemas melihat apa yang sedang menimpa orang tua Sabrina itu, ditambah dengan Sabrina yang terus saja menangis sambil mendekap badan yang tak sadarkan diri.Seorang petugas rumah sakit menyambut mobil Elang dengan sebuah brankar. Dengan sigap petugas itu memindahkan badan Bu Mila ke atas kasur dorong untuk dibawa ke ruangan IGD."Tunggu diluar ya," ucap petugas itu saat Sabrina hendak turut masuk menemani ibunya."Tapi sa—" ucapan Sabrina terhenti karena tangan Elang menyentuh pergelangan tangan Sabrina."Sebaiknya tunggu diluar," ucap Elang yang membuat Sabrina urung meronta.Sabrina menurut. Ia duduk di kursi tunggu bersama Elang dengan cemas. Air matanya tak henti mengalir membayangkam kondisi wanita yang telah melahirkannya itu terpejam tanpa gerakan. Hanya deru napas yang keluar teratur dari bibir ibunya."Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan ibu, Mas? Aku ngga akan bisa maafkan diriku sendiri!""I
"Mari Mas Elang, silahkan duduk di sana sebelum acara akad dimulai." Seorang petugas datang memberi instruksi pada laki-laki yang masih tampak kacau itu."Pergilah, soal istrimu, anggap kamu menikah untuk mendapatkan keturunan. Toh selama beberapa tahun kamu menikah dia tidak kunjung memberiku cucu." Pak Rahardjo berujar sambil menatap Sabrina yang sedang menunggu kepastian.Elang terperanjat mendengar ucapan papanya. Dibalik kalimat yang biasanya terdengar santai, ternyata ada sepucuk ingin yang dirasakan Pak Rahardjo, yaitu menimang cucu.Tak memiliki pilihan lainnya, Elang pun terpaksa menuruti perintah mereka. Ia benar-benar duduk di depan meja yang berhadapan dengan jenazah almarhumah Bu Mila. Sementara itu, di samping Elang ada Sabrina yang sedang tertunduk pilu. Air matanya tak henti mengalir. Dadanya sesak oleh kejadian demi kejadian yang menyayat hatinya.Disatu sisi, Sabrina lega bisa menikah dengan Elang. Tapi di sisi lainnya ia sedih karena harus menikah di depan jenazah
Elang meletakkan ponselnya di atas kursi. Ia lantas berjalan menghampiri wanita yang belum lama ia nikahi."Kamu belum tidur?" tanya Elang pada Sabrina yang sedang berdiri di ambang pintu."Yang telepon itu istri Mas?" Sabrina bertanya sambil memaku pandangan pada Elang.Suami Sabrina itu mengangguk, lalu mengajak Sabrina masuk ke kamarnya."Tidurlah, kamu lelah," titah Elang saat Sabrina hanya mematung."Aku ngga bisa tidur," lirih Sabrina. Duka masih menyelimuti hati dan jiwanya. "Biar Mas temani," ucap Elang. Ia menggandeng tangan istrinya menuju ranjang."Tidurlah dengan tenang, ada aku yang akan menemanimu."Sabrina menurut. Ia berbaring di sisi ranjang sedang Elang duduk di sampingnya. Perempuan yang baru saja kehilangan orang tua itu memiringkan badannya, merangkul guling dan berharap matanya segera terpejam.Perlahan mata Sabrina memejam, akan tetapi pikirannya malah kembali pada kejadian saat di gedung kemarin."Jangan berteriak, Sayang. Diam dan rasakan sentuhan kami. Kamu
"Sa," panggil Elang lirih. Ia yang sedikit terpejam terpaksa kembali membuka matanya sebab suara Sabrina yang mengusik ketenangannya."Kamu kenapa?" Tangan Elang menepuk pipi Sabrina agar kembali terjaga."Mas, pemuda itu, Mas!" lirih Sabrina ketakutan. Ia kembali duduk lalu memeluk Elang dengan eratnya."Tenanglah, kamu cuma mimpi.""Aku takut mereka akan datang lagi," balas Sabrina. Ia menenggelamkan kepalanya dalam dada bidang milik laki-laki yang sedang ia peluk."Tidak akan. Mas akan membawamu ke kota setelah tujuh hari kematian ibumu. Kita akan tinggal di apartemen," ucap Elang yakin. Sebab ia tak mungkin membawa Sabrina tinggal dalam satu rumah bersama keluarganya."Benar kah, Mas?" Sabrina masih belum percaya."Iya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini," ucap Elang seraya mengusap punggung Sabrina.Gadis yang baru saja melepas masa lajang itu merasa senang karena tiba-tiba bisa menikah dengan laki-laki yang tampan dan mapan. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam benaknya a