Kanayya berjalan cepat meninggalkan basement yang menjadi parkiran apartemen. Dia berjalan ke arah tangga darurat, tak mau menggunakan lift karena tiba-tiba saja dia merasa takut pada Dean yang tadi menatapnya dengan penuh intimidasi.
Seolah dia sudah berbuat salah saja. Pria itu benar-benar mengerikan. Menaiki tangga, Kannaya berdesis saat merasakan kakinya sakit saat melangkah naik. Dia berhenti di undakan tangga kelima dan menarik napasnya beberapa kali."Aku lupa kalau Mas Dean sudah melakukan hal itu padaku. Bagaimana aku akan menaiki tangga untuk sampai di lantai atas?" Kannaya menghela napasnya pelan lalu melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan.Gadis itu menelan ludahnya. Dia harus cepat karena pembelajaran dikampusnya akan dilakukan jam sepuluh nanti. Kembali berjalan, dia menaiki anak tangga perlahan-lahan. Hal yang sengaja dia lakukan agar bisa menghindari Dean. Dia merasa kalau dekat dengan pria itu hanya akan membuat masalah lagi. Dia tak mau Dean malah teringat pada apa yang terjadi tadi malam, lalu pria itu akan memarahinya karena hal itu.Padahal 'kan dia yang pulang dalam keadaan mabuk, tapi Dean kadang suka melakukan playing victim. Menyebalkan sekali."Hufftt, satu lantai lagi." Kannaya menatap tangga yang ada diatas sana, dia kembali menaikinya dan membawa bag belanja yang ada ditangannya.Peluh keluar dari pelipisnya. Kannaya menarik napas beberapa kali dengan sesak, sebelum akhirnya tiba di atas dan menatap pintu apartemen yang merupakan milik Dean.Langkahnya tertatih, dia yakin Dean tak ada lagi karena sudah pergi ke kantor atau universitas. Entahlah, pasti pria itu sudah pergi karena tiap pagi dia selalu meninggalkan apartemen usai sarapan pagi dan membiarkan Kannaya mengerjakan tugas rumah dan membersihkan apartemen."Eh, kenapa pintunya tidak dikunci?" tanyanya bingung sambil mendorong daun pintu apartemen itu hingga benar-benar terbuka. "Apakah Mas Dean lupa menguncinya? Kenapa dia tiba-tiba ada di lantai bawah tadi? Apakah mungkin berpikir kalau aku ada di dalam?"Kannaya bertanya sambil berjalan masuk kedalam dan meletakkan bag itu di lantai. Dia melihat asap rokok yang terbang ke dekatnya dan dari aroma asapnya yang terasa antara campuran bau mint dan juga aroma khas yang biasa dia cium, Kanayya tahu kalau itu adalah asap rokok yang biasa digunakan oleh Dean."Mas Dean ada dirumah? Dia belum pergi?" batinnya dengan hati yang mulai berdegup.Dia menatap ke arah sekitarnya dan menemukan seseorang yang tampak santai duduk di sofa. Membelakanginya dan tampak acuh, tapi auranya terasa mencekam seolah mau memakannya saja.Kannaya menarik napas, seraya melangkah masuk ke dalam apartemen. Sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara langkah, karena takut mengganggu kenyamanan pria itu."Pagi, Mas ..." sapanya dengan sopan seraya menunduk sedikit dan menahan debaran jantungnya.Dean menatap ke arahnya, tanpa ekspresi dan tampak tajam membuat Kannaya menarik napasnya pelan dengan rasa dingin yang tiba-tiba merambat di dahinya. Tatapan Dean tampak tajam membuatnya mau tak mau tersenyum dengan canggung."Ma-Mas kenapa belum berangkat? Apa butuh sesuatu lagi?" tanyanya pelan dan hal itu membuat Dean memalingkan wajahnya ke arah depan."Setelah kau meletakkan belanjaan, kembali kemari. Ada yang mau kubicarakan denganmu," ujarnya dingin membuat Kannaya menelan ludah.Dia mengangguk pelan, lalu berjalan pergi dengan gerakan pelan. Dean melihat kaki gadis itu saat berjalan hingga senyuman kecil terbit di bibirnya saat melihat bagaimana Kannaya berusaha menyembunyikan semuanya.Kannaya sendiri tampak memegang dadanya saat sudah tiba di dapur. Sungguh, sebelumnya dia tak pernah segugup ini saat bicara dengan seseorang. Namun, setiap kali dia berbicara dan bertatap muka dengan Dean maka seluruh sendinya seolah rapuh dan dia tak mampu untuk bicara apapun."Aku sengaja berlama-lama saja," batinnya seraya memejamkan mata. "Tetapi kalau lama aku malah bisa terlambat kuliah? Mana aku belum makan, aku lapar sekali," gumamnya seraya melihat cake yang dia beli."Lebih baik aku makan dulu, nanti saja disusun saat aku pulang. Lagipula ..." Kannaya melihat ke arah meja dan makanan yang dia buatkan untuk Dean sudah dimakan oleh pria itu. "Mas Dean juga sudah memakan makanannya. Jadi aku harus makan sebelum ke kampus."Kannaya bergerak cepat, mengambil cake yang dia beli untuknya tadi dan mulai memakannya sambil berdiri. Cake itu hanya dua potong, harganya lumayan mahal tapi Kannaya tak memakai uangnya untuk membeli ini, dia menggunakan uang Dean.Lagipula uangnya hanya sedikit. Walaupun dia diam-diam membuka usaha makanan dengan salah satu teman yang dia kenal di kota ini, tapi dia menggunakan uang hasil penjualan itu untuk biaya kuliahnya selama ini."Apakah masih lama? Kau mengira waktuku sangat banyak sampai bisa menunggumu makan, ya?"Kanayya terperanjat, dia tersedak cake yang dimakannya dan menoleh ke arah pintu antara dapur dan ruang tengah, dimana pria itu berada dan tampak sedang mempelototinya."Mas ..." panggilnya panik seraya memakan sisa cakenya dengan cepat dan segera minum, karena Dean masih mempelototinya dengan tajam. "Maaf, Mas ... aku lapar sekali. Tadi tidak sempat makan karena bahan makanan habis. Aku belanja dulu dan baru sempat makan sekarang," ujarnya dengan wajah yang tampak cemas dan berjalan mendekat usai menghabiskan makanannya.Dean bergeming pelan, dia menatap mata gadis itu yang tampak ketakutan dan panik. Memalingkan wajahnya, Dean jadi tahu kalau gadis ini langsung pergi setelah terbangun tadi dan itu adalah cara untuk menghindarinya setelah apa yang terjadi malam tadi. Dan tentunya, Dean tahu kalau tenaga Kannaya habis akibat ulahnya hingga gadis itu butuh makan."Mas mau bicara apa?" tanya Kannaya pelan membuat Dean menatapnya lagi yang tampak menautkan jemari dengan ekspresi yang gugup tak bisa menyembunyikan kalau ada yang mengganggu hatinya."Ikut aku."Kannaya mengangguk pelan, berjalan ketika Dean sudah berjalan ke arah sofa dimana pria itu duduk tadi. Dia berdiri di sisi seberang, menatap Dean yang sudah duduk dan tampak menyandar dengan santai, merentangkan tangannya ke lengan sofa tunggal yang dia duduki."Duduk."Kannaya berkedip pelan, wajahnya tampak terkejut dan itu tak luput dari pandangan Dean yang menatapinya. Hingga, dapat dia lihat wajah Kannaya sebenarnya memiliki ekspresi kekanakan yang membuatnya terlihat lucu dibalik wajah cantiknya yang terlihat sedikit tegas dengan bulu matanya yang lentik."Duduk, Mas? Di sofa?" tanyanya tak percaya membuat Dean menatapnya tajam."Lakukan saja apa yang kuperintahkan," titahnya dingin membuat Kannaya dengan cepat tersadar dan teringat kalau dia tak boleh membantah ucapan pria ini.Duduk di sana, Kanayya tampak menautkan jemarinya dan menunggu apa yang akan Dean katakan."Aku ingin membahas soal perceraian."Deg!Kannaya mengangkat kepalanya, menatap Dean yang sudah menatapnya dengan dagu dan alis terangkat. Dia bertanya, membuat Kannaya meremat jemarinya yang saling bertaut sebelum bertanya."Emm, mau dipercepat, ya, Mas?Dean mengerutkan wajahnya mendengar ucapan itu. Dipercepat? Haha, mimpikah? Atau ... ada hal yang ingin Kanayya lakukan makanya dia menginginkan perpisahan secepatnya?"Kenapa? Kau menginginkan perceraian dengan cepat agar bisa menikah dengan satpam itu?" tanyanya datar membuat Kannaya mengerutkan dahinya tak paham."Satpam? Satpam mana, Mas?" tanyanya membuat Dean mendengus.Pria itu melipat tangannya di dada. "Pura-pura polos, ya?"Kannaya menghela napas. "Aku benar-benar tidak tahu siapa, Mas. Kamu mungkin bisa katakan siapa, agar aku bisa ingat siapa yang kamu maksud," ujarnya pelan membuat Dean menarik napas dalam-dalam.Dia menatap wajah Kannaya yang tampak benar-benar sungguhan. Seolah dia benar-benar tidak tahu siapa yang Dean maksudkan. Namun, itu malah bagus. Artinya pria itu tidak ada didalam hati gadis ini."Kembali ke pembahasan awal soal perceraian. Sepertinya aku mau mengubah surat kesepakatan," ujarnya datar membuat Kannaya menaikkan alisnya."Bagaimana, Mas?""Seperti
Kannaya mengusap air matanya setelah kepergian Dean. Dia masih terisak pelan beberapa kali lalu menatap sekitar apartemen yang kosong. Meninggalkan bekas aroma asap rokok yang dipakai oleh pria itu tadi."Dia hanya terbawa-bawa tentang kesan malam pertama tadi. Aku bisa memastikan kalau itu hanya kata-kata iseng. Mana mungkin Mas Dian mau dengan seorang gadis biasa sepertiku. Sebaiknya aku tidak usah terlalu banyak bermimpi, ini semua tidak mungkin." Kannaya memegang kepalanya yang terasa pusing lalu duduk di sofa itu.Semangatnya untuk pergi ke kampus seolah redup karena dia harus mendapatkan kenyataan itu."Aku tidak bisa jika seperti ini, aku yakin dia akan membenciku nanti. Sebaiknya aku mulai melakukan sesuatu yang bisa dibencinya. Dia sangat tidak suka ada mahasiswa yang tidak masuk ke dalam kelasnya, dengan aku yang tidak masuk maka dia tidak akan suka denganku." Merenung di sofa yang ada di ruangan itu, Kannaya menetralkan jantungnya lebih dulu baru kemudian dia melangkah ke a
Kannaya merasakan Dejavu akibat apa yang dilakukan oleh Dean saat ini. Dia merapatkan bibirnya sementara Dean sudah tahu kalau wanita ini akan menolak. Dia mengasak tubuh Kannaya hingga menghimpitnya."Buka mulutmu, Sayang ..." geramnya menahan gairahnya yang mulai naik.Kannaya menggeleng, masih merapatkan bibirnya hingga Dean melepaskan ciumannya dan menatap wajah Kannaya berkeringat dan terlihat begitu menggemaskan.Dean tampak tersenyum, mengungkungnya separuh menunduk dan menatap wajah Kannaya yang berusaha untuk menjauh sebisa mungkin walaupun tubuhnya sudah mentok di sandaran kursi pria itu.Tangan Dean terangkat dan mengusap wajahnya dengan lembut. Hal itu membuatnya Kannaya jantungan, tak menyangka kalau Dean akan melakukan ini lagi padanya."Kenapa kamu tidak masuk ke kelas dan malah ada di taman?" tanya Dean membuat Kannaya tak mau menjawab. "Kenapa tidak menjawab? Apakah karena kucium tadi sudah menghilangkan suaramu?" tanyanya lagi tapi Kannaya tak mau bicara.Dia tak mau
Kannaya tak menjawab, dia berusaha untuk memikirkan cara yang mungkin bisa berguna. Pria ini harus dikasari supaya dia tahu kalau apa yang dia mau tidak semudah itu. Tetapi ketika dia sedang berpikir, Dean malah membuka jasnya masih sambil mencium bibir Kannaya. Dia melepaskan kancing kemejanya membuat Kannaya membulatkan matanya."Mas mau apa?" tanya Kannaya susah payah diantara ciumannya yang belum usai."Apalagi?" Dean terengah pelan dan menatap mata Kannaya dengan tatapan penuh nafsu. "Aku akan memberikan hukuman karena kamu tidak masuk ke kelasku, tidak menjawab pertanyaanku dan tidak menjawab penawaranku, kamu hanya diam saja. Maka dari itu aku akan menghukummu sekarang," ujarnya lalu menekan sandaran kursinya hingga menjadi lurus untuk telentang.Setelahnya dia mendorong Kannaya, lalu menaiki tubuh gadis itu dan menatap wajahnya dengan serius sebelum memagut bibirnya lagi. Kannaya memberontak tak senang, mau sampai kapanpun dia tidak akan mau mengulang malam itu lagi."Apa yang
Kannaya terengah, mendesah di bawah kungkungan suaminya yang menghujamnya dengan penuh nafsu dan semangat. Tangan pria itu tak tinggal diam, ikut meremas buah dadanya dengan gerakan yang masih naik turun. Dia menatap wajah istrinya yang tampak terengah menahan kenikmatan hingga senyumannya terlihat diantara wajahnya yang menampilkan kepuasan."Ah ... Ah ... Mas," desah Kannaya seraya memegang sisi kanan kirinya yang merupakan pinggiran kursi yang dia tiduri.Sementara pria itu malah makin terpacu semangatnya ketika dia mendengar Kannaya memanggilnya dengan balutan desahan yang mendominasi bibir seksinya yang terbuka itu."Kamu itu nikmat, ini nikmat, Sayang. Kamu rasakan, bukan?" ujar Dean dengan suaranya yang serak.Kannaya tak bisa berpikir jernih, dia hanya menganggukkan kepalanya seolah setuju dengan apa yang dikatakan Dean. Pria itu tampak tersenyum lagi, seraya meremas buah dada Kannaya hingga tubuh gadisnya itu menggelinjang dibawah kuasanya."Ah! Emmhh ..." Kannaya melepaskan
Kannaya menarik napas panjang dan tak mau melihat Dean yang masih ada di atas tubuhnya, mereka masih menyatu hanya saja sedang menahan diri agar bisa menikmati sisa-sisa pelepasan itu.Setelah beberapa saat, Dean menatap wajah Kannaya yang sudah kelelahan dengan keringatnya yang masih mengalir deras di pelipis."Bagaimana?" tanyanya dengan suara serak dan seksi yang membuat telinga Kannaya merinding. "Aku berhasil memuaskanmu, 'kan, Sayang?" tambahnya lagi dengan jemari yang menelusuri leher Kannaya yang sudah penuh dengan ciumannya.Kannaya menarik napas, menggigit bibirnya karena merasa tidak nyaman dengan milik suaminya yang masih ada di dalam miliknya. Dia menatap wajah Dean yang juga menatapnya hingga dia bisa melihat tatapan penuh pesona dari pria mapan yang ada di atas tubuhnya saat ini."Mas juga sudah puas, 'kan? Kalau begitu kita impas," ujar Kannaya dengan suara lemahnya karena sejak tadi dia sudah berteriak dan mendesah tanpa kendali. "Anggap saja kita sudah saling memuask
Kannaya diam di gendongan Dean, selain karena tubuhnya lemah, tidak etis bila pria ini menciumnya di depan umum. Dean yang melihatnya patuh dengan senyuman menang terlihat menatap sekitarnya dan menemukan seorang satpam yang sudah biasa menyapa Kannaya dengan centil itu di dekat resepsionis dan sedang memperhatikan mereka. Dean tampak menatap tajam wajahnya sebagai peringatan, hingga satpam itu terlihat menatap wajahnya dengan alis berkerut."Terjadi sesuatu dengan Kannaya, Pak? Biar saya saja yang menggendongnya, bukankah dia pembantu anda?" tanya Satpam itu dengan tatapan penuh prihatin.Dia sama sekali tidak mempedulikan tatapan tajam dari Dean dan malah mengajukan dirinya untuk menggendong Kannaya. Dan itu tentu saja membuat emosi memuncak di kepala Dean. Sementara Kannaya, dia lebih mementingkan dirinya karena perutnya yang sakit dan rasa lemah yang menggerogotinya."Sebaiknya kau jaga jaraknya darinya sebelum aku memanggil atasanmu agar kau dipecat!" ujar Dean tajam membuat pr
Kannaya menatapnya yang balas menatap wajahnya. Dia sudah tahu kalau Dean pasti tidak akan terima, maka dari itu dia menunggu kemarahan suaminya.Namun beberapa lama dia menunggu, Dean tak kunjung bersuara melainkan hanya diam dan menyiapkan lagi red Velvet itu padanya. Kemarahan pria ini biasanya meledak-ledak, kalau dia hanya diam artinya dia belum marah."Berhentilah melakukan hal konyol, Mas. Kamu pantas mendapatkan yang lebih dariku," ujar Kannaya tanpa menerima suapan itu padanya. "Hal konyol apa?" Dean menaikkan alisnya tak mengerti. "Memangnya kita melakukan sesuatu yang konyol?""Tentu saja, aku-""Kamu mendesah tadi ketika kita bercinta juga konyol?"Wajah Kannaya memanas mendengarnya, dia tampak menatap wajah pria itu yang sudah menaikkan alisnya, seolah menjadi sebuah hal tak dia pahami. Hal itu membuat Kannaya berhenti bicara dan tak mau membuat masalah apapun. Dia akui kalau dia menikmati percintaan tadi tapi itu bukan berarti kalau hatinya luluh."Makanlah agar kamu seg