Share

Terjebak Cinta Saudara
Terjebak Cinta Saudara
Author: Aililea (din din)

Naraya

"Jika dia tidak kembali, aku akan mencarinya meski ke ujung dunia sekalipun." 

***

Rabu, pukul 06:15 pagi.

'Malam tak selamanya kelam, siang tak selamanya terang. Pada kenyataannya semua hanya angan, saat nasib tak mau berpihak dan memisahkan hati yang hampir terikat.'

Sulur surya merayap menembus jendela hingga menyilaukan mata, menggoda insan yang masih terlelap. Kelopak dengan bulu mata lentik itu bergerak, terganggu dengan sang surya yang seakan enggan membiarkannya tidur.

Hingga pemilik bulu mata lentik itu membuka mata lebar, teringat dengan kejadian sebelum dirinya merasa jatuh dalam mimpi.

"Tunggu! Di mana aku?" Seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis dan bulu mata lentik itu bertanya-tanya dalam hati.

Ia berbaring dengan posisi miring, tatapannya hanya melihat jendela yang tak tertutup gorden. Sampai ia menengok ke tubuh, di mana pakaian yang dikenakan semalam sudah berubah menjadi bathrobe berwarna hitam. Ia panik dan langsung menutup mulut.

"Tunggu, aku ada di hotel, tapi kamar siapa?" Gadis itu bertanya-tanya lagi.

Hingga ia memberanikan diri menggeser posisi berbaring, dengan perlahan ingin melihat apa ada orang lain yang bersamanya. Gadis itu semakin panik dan syok, terlebih ketika melihat seseorang berada dalam satu ranjang dengannya. Ia menatap punggung yang berbalut kaus putih tipis, seorang pria berada satu ranjang dengannya.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati, karena tak mengingat sama sekali apa yang terjadi sebelumnya.

Gadis itu sangat ketakutan, hingga memilih turun dari ranjang secara perlahan agar pria yang masih terlelap itu tak terbangun. Ia kebingungan karena pakaiannya tidak ada di kamar itu, tidak mungkin baginya keluar dari sana dengan hanya memakai sebuah bathrobe.

Gadis itu mencoba masuk ke kamar mandi, sampai melihat pakaiannya yang tergantung di kamar mandi tapi setengah basah.

"Basah, basahlah. Daripada aku pakai bathrobe," gumamnya.

Ia pun nekat memakai pakaian yang merupakan seragam kerjanya di hotel itu, sebelum kemudian mengendap keluar dari kamar itu selagi pemilik kamar yang entah siapa dan seperti apa tampangnya masih tertidur pulas, ia tak berkeinginan mencari tahu atau melihat sekilas wajah pria itu.

Begitu keluar dari kamar itu. Gadis itu berlari menyusuri koridor untuk segera pergi dari sana.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa nasib buruk selalu menimpaku." Gadis itu mengeluh dalam hati.

***

"Apa Semalam Nara tidak pulang?" tanya seorang wanita berumur hampir lima puluh tahun, kepada gadis yang duduk di hadapannya.

"Entah, memangnya aku penjaganya yang harus tahu ke mana dia atau kapan dia pulang!" ketus gadis bernama Nayla dengan air muka tak senang karena ditanya soal kakak sekandung beda ayah.

"Nay, dia itu kakakmu, kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya wanita paruh baya itu.

Nayla meletakkan sendok dengan kasar ke meja, menatap ibunya dengan perasaan kesal. Merasa hidupnya sial karena memiliki ibu yang cacat dan tidak bisa bekerja untuk memberinya uang, kemudian harus sering dibandingkan dengan kakak sekandung yang selalu dibenci olehnya.

"Kalau Ibu cemas, kenapa tidak ikat saja dia di rumah? Bukankah Ibu memang melakukannya secara tak langsung! Lantas kenapa sekarang pura-pura mencemaskan, sedangkan Ibu sadar jika sudah membelenggunya!" Nayla mengungkap rasa kesalnya.

Seorang gadis terlihat berdiri di depan pintu yang sudah usang dengan cat mengelupas. Ia adalah gadis yang terbangun di sebuah kamar hotel bersama seorang pria. Naraya harus memiliki kesabaran ekstra menghadapi adik yang tak menyukainya, serta ibu yang kini hanya bisa mengandalkan dirinya.

Naraya menarik napas panjang, sebelum kemudian mengembuskan perlahan dan membuka pintu perlahan.

"Aku pulang!" Naraya melepas sepatu dan memberi salam, sebelum kemudian masuk ke rumah yang ditinggalinya selama beberapa tahun ini bersama Ibu dan adiknya.

"Tuh pulang! Kenapa harus dicemaskan!" Nayla melirik Naraya yang baru saja masuk.

Rumah mereka yang kecil, membuat ruang makan, dapur, dan ruang tamu menjadi satu. Sedangkan di sana hanya ada dua kamar berukuran kecil dengan satu kamar mandi.

"Kok baru pulang, Ra?" tanya Ibu.

"Lembur," jawab gadis itu singkat. Ikut duduk di meja makan dan ingin makan karena perutnya keroncongan sejak semalam.

"Wah, enak ya. Pulang-pulang tinggal makan!" cibir Nayla, memicingkan mata ke arah Naraya.

Naraya sudah mengambil sepotong roti dan ingin memasukkan ke mulut, tapi kemudian memilih meletakkann kembali ke piring.

"Aku ingin mandi dulu." Naraya kembali berdiri dan masuk ke kamar yang ditempatinya bersama sang ibu.

"Mandi jangan boros air, ingat bayar air mahal!" Nayla berteriak keras ketika melihat Naraya masuk ke kamar.

Ibu melotot mendengar ucapan Nayla, tak mengerti kenapa putrinya itu sangat membenci Naraya.

"Kamu kenapa ngomong begitu sama Nara? Kasihan dia baru pulang kerja," lirih Ibu.

"Kasihan apanya? Kalau bukan karena dia, Ibu tidak akan cacat! Kenapa dulu Ibu harus membawanya? Bukankah dia sudah hidup enak, kenapa dia harus membawa kesialan untuk kita!" Nayla terlihat begitu marah saat mengetahui ibu mereka selalu membela Naraya.

Gadis berumur dua puluh tiga tahun itu lantas berdiri dan menyambar tas, memilih pergi dari rumah itu ketika Naraya berada di rumah.

Ibu hanya bisa memegangi kening, keputusannya sepuluh tahun lalu memang membawa perubahan besar untuknya.

Di dalam kamar. Naraya berdiri seraya menyandarkan punggung di daun pintu yang tertutup, gadis itu menahan air mata agar tak luruh. Meratap sekarang pun tak ada guna, karena sejak awal semua pilihan memang dia yang memutuskan.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nafasal
segitunya ya Nayla benci ke Naraya. Memang apa yg sudah dilakukan Naraya? ...
goodnovel comment avatar
vieta_novie
nayla kyk nya benci banget ma naraya...
goodnovel comment avatar
aniek mardiana
baca udah sedih ajahh ai,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status