Mohon maaf lahir dan batin karena jarang update selama bulan kemarin. Insyaallah novel ini akan lanjut lagi dan update setiap hari. Terima kasih.
BAGIAN 48 “Belagu amat istrimu, Yan! Kelakuannya sudah seperti nyonya besar saja! Mengerikan! Bekas janda punya anak bawaan aja, bisa sesok ratu ini ke suami. Istighfar, Mil!” Mbak Reva ngomel-ngomel panjang kali lebar. Suara cemprengnya yang terdengar seperti kaleng rombeng atau radio butut itu membuat telingaku sangat kebisingan. Namun, bukan Mila namanya kalau tidak memberikan perlawanan. “Hati-hati kalau bicara, Mbak. Biasanya, kalau ada orang yang ngata-ngatain janda, habis itu bisa ikutan jadi janda juga, lho.” Aku sengaja menoleh. Kuberikan senyuman tersengit yang pernah kumiliki kepada Mbak Reva. Perempuan berambut pirang itu langsung mengecimus bibir tebalnya. Dia masuk dan duduk di bangku belakang, kemudian membanting pintu dengan kasar. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Kalau pintu mobil ini sampai lepas, berarti dia yang harus mengganti. Mas Sofyan terlihat agak gopoh memasuki mobil. Rautnya berubah agak cemas. Dia duduk di ku
BAGIAN 49 Sepanjang perjalanan menuju rumah baruku dan Mas Sofyan, kami berempat saling diam seribu bahasa. Mbak Reva yang semula berapi-api dan penuh energi negatif, mendadak jadi bisu. Aku bersyukur karena Mas Sofyan akhirnya berani menegur perempuan kasar itu. Coba kalau dibiarkan terus-terusan. Bisa semakin besar kepala dia. Sesampainya di halaman parkir rumah, aku dan Syifa bergegas keluar dari mobil. Anakku sudah tidak menangis lagi. Namun, dari raut wajahnya, tampak betul bahwa si Syifa masih badmood dan sedih. Kasihan dia. Masih kecil, tapi harus ikut-ikutan tertekan di tengah situasi genting yang orangtuanya hadapi. Tanpa menghiraukan Mas Sofyan apalagi Mbak Reva, aku mengajak Syifa untuk masuk. Kupimpin tangannya menuju kamar. Di dalam kamar yang bernuansa serba pink dan dihiasi dengan banyak mainan-mainan berbentuk karakter Minnie Mouse itu, Syifa tampak lesu tak bersemangat. Kuantar dia hingga ke atas ranjangnya yang beralaskan sprei war
BAGIAN 50 “Nggak, Sayang. Papa nggak akan pergi dari sisi kita. Tante Reva adalah orang yang baik. Bunda yakin, pasti beliau tidak akan tega membuat Papa pergi dari Syifa maupun Bunda.” Kubujuk Syifa dengan segenap perasaan luluh lantak di jiwa. Anak ini sangat pintar. Dia begitu peka, meski usianya masih terbilang sangat kecil. Waktu yang telah menempanya menjadi lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Aku betul-betul kasihan kepada Syifa. Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu kamar Syifa diketuk dari luar sebanyak tiga kali. Bergegas aku turun dari ranjang anakku. Syifa pun ikut turun juga. Dia berjalan di belakang tubuhku dengan gerakan mengendap. Kubuka pintu perlahan. Ternyata Mas Sofyan. Lelaki itu telah berganti pakaian dengan kaus oblong warna marun polos dan celana jins pendek di bawah lutut. Suamiku tersenyum santai sembari menatapku dalam. “Bunda sayang, kita sebaiknya keluar dulu, yuk? Ngobrol-ngobrol sama Tante Reva. Aj
BAGIAN 51 “Ini nasinya, Tante Reva. Jangan bengong begitu, dong. Nanti lalatnya masuk ke mulut.” Kupastikan senyuman yang terukir di bibir ini sangat menusuk Mbak Reva. Piring yang kusodorkan ke arah Mbak Reva pun disambar dengan gerakan yang sangat kasar. Perempuan berpakaian seksi dan sangat tidak sopan itu langsung mengerucut masam bibirnya. Mukanya berubah merah padam. Penuh dendam sekaligus amarah. Terserah, Mbak. Jengkelnya hatimu bukan tanggung jawabku. Inilah aku dan segala isi rumah tanggaku. Kamu tidak suka? Silakan angkat kaki dari sini! Kulihat, Mbak Reva menyendok lauk pauk dengan semau hati. Kuahnya sampai berceceran ke mana-mana. Bi Dilah yang kebetulan mengantarkan air minum untuk kami pun kulihat melirik sekilas ke arah meja yang ditempati Mbak Reva. Semuanya kotor sekaligus berantakan. Cangkang kepiting saja dia letakan di atas meja, padahal sudah disiapkan wadah kotornya. “Silakan minumannya, Mbak Mila.” Bi Dilah menua
BAGIAN 52 “Duh, malah pada ngobrol, ya!” Mbak Reva tiba-tiba mendatangi kami. Perempuan itu tadinya kami biarkan asyik duduk di meja sembari memainkan ponselnya, setelah puas menandaskan lauk pauk yang terhidang di meja. Untung saja, pagi tadi kami masak banyak. Masih ada yang kami sisihkan dan disimpan dalam wadah bertutup rapat. Itulah yang rencananya bakal dihidangkan untuk makan siang tadi. Aku dan Bi Dilah yang sedari tadi bercakap-cakap dengan suara pelan pun mendadak menoleh ke belakang. Mbak Reva yang berpakaian seperti cabe-cabean pinggir jalan itu ternyata dengan sangat tahu dirinya tengah membawa piring dan gelas kotor miliknya tadi. Kupikir, setelah kami selesai membereskan meja dan mengangkut semua wadah kotor terkecuali piring serta gelas miliknya, perempuan itu akan meninggalkan benda kotor tersebut di atas meja begitu saja. Ya, aku tidak berharap kalau dia mau usung-usung barang kotor itu sampai ke wastafel. Sudah bisa menebaklah, seperti apa ta
BAGIAN 53 “Insyaallah nggak akan marah, Ummi. Ada apa, Mi? Aku sampai deg-degan dengarnya,” ucapku sembari memegang dada sendiri. “B-begini … Mil. Maaf ya, Mila sebelumnya. Ummi sama Abi kehabisan beras, gas, sama bumbu-bumbu dapur. Sedangkan, Ummi nggak pegang uang sepeser pun. A-apa boleh, Ummi pinjam uangnya Mila dulu?” Aku langsung mengembuskan napas lega. Oh, ternyata hanya mau pinjam uang, toh? Aku kira ada apa! Ummi membuatku terkejut saja. “Ya Allah, Mi. Ternyata, hanya itu masalahnya, toh?” tanyaku kepada Ummi. “I-iya, Mila. Ummi nggak enak mau ngomongnya ke kamu. Takut kalian risih. Soalnya, ini kan, masalah sensitif, Mila. Suamimu kira-kira ngebolehin nggak, ya?” Nada bicara Ummi terdengar sangat hati-hati. Dia pasti merasa sangat segan dan tak enakan. Apalagi, sekarang statusku bukanlah menantunya lagi. Namun, bagiku semua itu tidak ada masalah. Dia adalah nenek kandung dari anakku, Syifa. Apa salahnya untukku mem
BAGIAN 54 “Ckckck! Hebat kamu, Mila. Betul-betul hebat sekali. Mulutmu sangat membuatku terkejut, lho. Aku benar-benar syok rasanya!” ucap Mbak Reva sambil terus menerus menggelengkan kepalanya. Aku mendengus. Dia pikir, hanya dia yang syok? Dia pikir, cuma dia saja yang bisa menyudutkan orang lain dengan lidahnya yang setajam pedang itu? “Apa yang Mbak tuai adalah hasil dari apa yang Mbak tabur. Mbak lupa, seperti apa perkataan Mbak Reva barusan kepadaku? Kalau Mbak pengen aku hormat kepada Mbak, tolong lakukanlah penghormatan itu terlebih dahulu kepada lawan bicaranya Mbak. Maaf, di sini aku tidak mau berkelahi atau adu mulut.” Aku berucap dingin. Memperhatikan wajah Mbak Reva yang masih pias itu dari atas hingga ke bawah dengan ekspresi sengit. “Aku hanya ingin mengingatkan ya, Mila. Karma itu ada!” Aku terkekeh kecil. Aneh manusia ini. Apa-apaan dia membawa-bawa karma segala? Memangnya, aku habis melakukan apa?
BAGIAN 55 “Maaf ya, Mas. Sepertinya, dari ucapanmu ada yang salah dan membuatku kurang berkenan.” Kujawab dengan sangat sinis omongannya Mas Sofyan. Pria itu mendadak terkesiap. Ada penyesalan di air mukanya. “Bukan begitu—” “Bukan begitu apanya?” potongku bersungut-sungut. “Satu, aku tidak pernah memaksamu supaya menolong Mas Faisal. Dua, yang pertama mengajak untuk menemui dia di RSJ kan, kamu sendiri. Tiga, tolong jangan membuat aku yang seolah-olah sudah membebanimu dengan masalah ayahnya Syifa, ya! Sama sekali nggak apple to apple untuk membandingkan masalah Mbak Revamu yang berisik dan kurang ajar itu dengan masalahmu yang menolong Mas Faisal. Aku nggak suka kamu bikin seolah-olah aku punya utang budi yang besar gara-gara kamu menolong mantan suamiku, Mas!” Kutuding wajah Mas Sofyan tanpa ragu. Sebenarnya, aku enggan berbuat kurang ajar kepadanya seperti ini. Akan tetapi, rasa-rasanya ucapan Mas Sofyan yang tadi agak keterlalua