Share

Kabur

Situasinya sekarang berbanding terbalik. Kegilaan Mayleen yang dia tunjukkan untuk membuat Devin illfeel malah membuatnya jadi gila.

Mayleen berdiri cemas di depan pintu apartemen ujung lorong bernomor 2031. Sambil menggigiti kuku jari telunjuk kanannya, Mayleen terus menghentakkan high heels setinggi 15 cm itu, saking cemasnya.

"Nggak mau masuk?" Tanya Devin setelah berhasil membuka pintu apartemennya.

Sekarang apa yang bisa Mayleen lakukan untuk melarikan diri dari pria gila yang sebelumnya dianggap polos itu?

Ternyata selama ini pria itu hanya berpura-pura polos dan bersikap naif. Sebenarnya malah aneh jika pria 'sesempurna' Devin bersikap sok polos layaknya anak di bawah umur.

Harus diakui, Devin memang tampan dan mapan, punya tubuh idaman para wanita, fitur wajar yang tegas, dan lain hal nya. Semua hal yang ada pada diri Devin adalah masuk dalam indikator pasangan yang sempurna.

Tapi tetap saja, Mayleen tidak boleh berakhir dengan Devin!

Bukan hanya Devin, pokoknya Mayleen tidak boleh menikah saat ini!

Jalannya masih panjang, prospek karirnya masih cukup luas. Bahkan cita-cita masa kecilnya belum sempat dia wujudkan. Jika menikah sekarang, boro-boro bisa berlibur keliling dunia dan hidup tenang di rumah, Mayleen jadi harus berbakti pada suami dan mertuanya. Iya, kalau mertuanya baik dan ramah terhadapnya, bagaimana kalau ternyata dia malah mendapat mertua galak yang banyak meminta? Bisa repot urusannya.

Tidak bisa! Hidup di keluarga konservatif yang masih memiliki adat patriarki sangatlah sulit bagi Mayleen.

"Mau berdiri terus disitu?" Devin masih menunggu di depan pintu yang terbuka. Matanya menatap Mayleen serius, tapi dia imbangi dengan senyuman yang hangat.

Mayleen pada akhirnya masuk ke apartemen itu.

Dia masih begitu gugup. Ini gila! Ini benar gila! Mayleen yang masih tidak mempercayai apa yang sedang terjadi saat ini, terus menyalahkan dirinya sendiri.

"Emm... Anu... Kenapa Anda ajak saya kesini?" Mayleen tak bisa menyembunyikan kegugupannya sendiri. Dia sudah sangat grogi saat ini. Telapak tangannya bahkan berkeringat hebat karena itu.

Dari awal ide ini memang gila. Tapi Mayleen tidak pernah menyangka jika ide gilanya itu akan ditanggapi dengan kegilaan lain oleh Devin.

"Mau pindah hotel saja?"

Dasar pria ini! Apa otaknya hanya memikirkan soal hal itu? Kenapa dia jadi mesum begini? Kemana Devin yang katanya konservatif itu?

"Hah?" Mulut Mayleen membuat huruf O sempurna, rasanya ada yang salah dengan pendengarannya. Pasti ini salah paham, iya kan? Mayleen terus bertanya pada hatinya sendiri soal itu.

"Ini apartemen pribadi. Keluargaku, bahkan papa sama mama, juga nggak tahu."

Jadi, maksudnya ini semacam tempat terpencil yang tidak bisa dijangkau oleh orang, begitu? Sepenuhnya tempat asing? "Mulai sekarang, ini nggak cuma tempat pribadiku. Kamu juga bisa pakai kalau mau. Ini..." Devin memberikan mastercard nya ke Mayleen.

"Oh! Ada satu hal yang pasti akan kamu suka disini!" Devin kemudian menarik tangan Mayleen, mengarahkannya ke kamar utama yang letaknya di samping dapur.

"Kupikir kamu sedikit terobsesi dengan ranjang, pas sekali karena aku punya king sized bed!"

Mayleen sudah mau pingsan rasanya. Seolah dia tak lagi punya kesempatan untuk kabur dari pria gila ini.

Devin mendekatkan wajahnya pada wajah Mayleen. Dekat sekali. Nafas mereka bertubrukan hingga menciptakan hawa panas disekitar wajah keduanya.

Mayleen makin mematung karena itu. Tubuhnya sepenuhnya beku di tempat. Dia tidak bisa bergerak satu inchi pun dari sana.

"Coba dulu ranjangnya, aku akan mandi sebentar..."

Kaki Mayleen saat ini sudah tidak bisa menopang tubuhnya lagi. Tubuh Mayleen ambruk, terduduk di lantai, tepat di depan Devin.

Ada senyuman puas di wajah Devin. Ternyata menggoda Mayleen cukup menyenangkan baginya, jauh lebih memuaskan dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.

"Huh..." Mayleen sudah kehilangan akal sehatnya saat ini. Pikirannya kacau. Jantungnya juga berdegup dengan sangat kencang karena saking terkejutnya.

Devin berusaha untuk membantu Mayleen berdiri lagi dengan kakinya sendiri. Tapi karena Mayleen masih begitu terkejut dengan apa yang terjadi disana, dia tidak berkutik sedikitpun.

Pada akhirnya, Devin inisiatif untuk menggendong Mayleen.

Mayleen langsung melirik ke arahnya, makin tidak percaya dengan segalanya. "A-apa yang Anda lakukan?"

Memikirkan soal ini saja, Mayleen sudah mau gila. Ditambah lagi, berpikir soal apa yang akan terjadi besok di kantor.

Devin dan Mayleen bekerja di satu kantor yang sama. Kesempatan keduanya untuk saling bertemu di kantor sangatlah tinggi. Dan itu benar-benar membuat Mayleen stress saat ini.

Devin membawa Mayleen ke arah ranjang dan mendudukkannya di salah satu sisi ranjang tersebut.

"Seperti katamu, Bed Date! Ah... Tapi sepertinya kamu harus bersabar sebentar. Aku harus mandi dulu karena banyak berkeringat hari ini." Devin menjawabnya dengan suara maskulin yang dalam, "santai saja. Bukannya sudah kubilang kalau rumah ini juga rumahmu sekarang? Artinya, ranjang itu juga akan menjadi milikmu.... Aku akan segera kembali."

Devin keluar dari kamar itu, meninggalkan Mayleen sendiri dengan jiwa yang seakan terlepas dari raganya. Saat ini Mayleen sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Bagaimana bisa seorang pria dewasa dari keluarga terpandang nan konservatif mengatakan hal seperti itu pada wanita yang baru saja ditemuinya sekali?

Rumahku adalah rumahmu juga? Jangan gila! Bahkan pasangan yang sudah bersama sekian tahun pun tidak mudah memutuskan hal seperti itu.

Apa karena Devin adalah orang kaya raya, sampai-sampai dia bisa memberikan unit apartemen pada sembarang wanita?

Tring!

Pesan yang masuk ke ponsel Mayleen menyadarkannya dari lamunannya.

"May, besok tolong handle tugasku ya? Aku kurang enak badan karena tadi kena hujan deras pas balik ke rumah. Nggak banyak kok! Cuma perlu approval dari Direktur, dan beres deh! Hehe! Thank you adikku sayang!" Bunyi pesan itu.

Tunggu dulu! Yang dimaksud dengan Direktur dari pesan Marissa itu adalah Devin kan?

Mayleen menghembuskan napas beratnya. Hari ini saja dia berulang kali berpikir untuk kabur dari Devin. Dan sekarang dia harus berurusan dengan pria itu di kantor? Tamat sudah!

"Kabur?" Otak Mayleen memproses keluhannya. Berpikir soal kabur membuat kewarasannya kembali. Kalau dia bisa kabur dari sini, setidaknya dia bisa menghindari Devin dan idenya untuk melakukan Bed Date itu kan?

Iya, Mayleen harus kabur sekarang!

Mayleen buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing berwarna pink yang dibawanya sedari tadi. Dia juga melepaskan sepatu hak tinggi yang dipakainya, agar memudahkannya untuk berlari pergi nanti. Terakhir, Mayleen membuat simpul pada tali yang mengikat blazer panjangnya, sehingga mini dress yang dikenakannya bisa tertutup sempurna.

Iya, sempurna! Ini adalah rencana kabur yang paling sempurna.

Mumpung Devin masih sibuk di kamar mandi, Mayleen melipir keluar dari apartemen itu dengan penuh hati-hati.

"Hufttt... Sudah aman!" Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mayleen merasa sangat lega. "Kenapa kabur terasa sangat melegakan?"

Setelah cukup memuji aksinya sendiri, Mayleen berlari menuju lift dan turun ke lobi.

Tring!

Ada pesan masuk lagi. Pengirimnya masih sama, Marissa.

"May? Kenapa nggak jawab, padahal sudah lihat? Ini kalau kamu nggak bisa, aku tetep berangkat deh. Proposal penting soalnya. Meskipun lagi flu juga, aku bela-belain berangkat deh!"

Ada apa dengan wanita ini? Kenapa dia selalu berakting seolah dirinya sendiri lah yang paling menderita di dunia ini?

Mayleen langsung menelpon Marissa.

Di seberang telepon, terdengar Marissa yang terbatuk-batuk dengan suara bindengnya. "Halo, May... Gimana?"

"Siapa sayang?" Ada suara yang melipir di belakang suara Marissa.

"Yakin lagi sakit? Atau karena pengen ngabisin waktu doang sama Kak Bima?"

"Hahaha ketahuan deh! Ah tapi tolong dong May! Besok papa sama mama Bima mau kesini. Kasian kan, sudah jauh-jauh datang dari Belanda tapi akunya kerja. Boleh ya?"

Jika saja Direktur itu bukan Devin, Mayleen pasti akan langsung menyetujuinya. Selama ini Marissa banyak membantunya di kantor, dan sudah menjadi sosok kakak yang sangat Mayleen hormati. Tapi permintaan tolong kali ini sangat berlebihan bagi Mayleen yang sedang berusaha menghindar dari Devin.

"Aku kan nggak minta tolong setiap saat. Bukan permintaan yang sulit juga kok!" Seperti biasa, Marissa mengeluarkan jurus memelasnya untuk menarik hati Mayleen.

Mayleen pun sebenarnya tidak enak hati pada Marissa. Seharusnya dia sudah cuti sejak minggu lalu. Tapi karena proyek yang dikerjakan tim nya belum selesai, dia harus menunda cuti pernikahannya itu.

"Ini kan proposal buat proyek tim kita. Ya? Boleh ya May?"

"Ah, baiklah! Aku lakuin ini karena Kaksa mau nikah! Kaksa utang 1 hal pokoknya!" Mau tidak mau, Mayleen menerimanya juga. Soal besok, biar nanti dia pikirkan lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status