Share

Pertanyaan

Bagian 4

Pertanyaan

Tersenyum Gusti Ratu Arunika, ia suka memandang wajah Azam. Lelaki keturunan Yaman dengan nama lengkap Teuku Azam Fachrurrazi itu memang memiliki wajah putih bersih seperti kakeknya, hidung mancung dan mata agak kebiruan. Selama di istana, Arunika hanya memandang laki-laki berperawakan terkutuk saja. Maksudnya, memang mereka tampan dan gagah, hanya saja perangainya dengan para wanita yang luar biasa bedebah. Hingga membuat penari itu muak. Dan baru kali ini ada yang menjaga pandangan ketika ia datang. Tergugahlah hati penari suci itu. Rasanya ia harus menyambutnya dengan lebih baik lagi.

Azzam kemudian menyerahkan surat penawaran penyebaran ajaran agama Islam pada salah satu petinggi istana yang laki-laki, lalu diulurkan pada dayang sang ratu hingga sampai ke tangan Arunika sendiri. Tertegun sedikit sang ratu, ia tak bisa membaca apa yang sudah dituliskan juru tulis Kesultanan Samudra Pasai. Jenis hurufnya berbeda. Lama jadinya ia diam membisu, ingin mengatakan tak bisa membaca takut dicemooh oleh petinggi lain dan ia dikatakan bodoh.

“Bagi para patih, adipati atau bangsawan lain yang tidak ada kepetingan lain, silakan meninggalkan balai istana. Kelihatannya ini akan menjadi urusanku saja,” ujar sang ratu. Namun, beberapa lelaki menolak. Mereka tak mungkin membiarkan sosok lelaki asing berpakaian aneh hanya bersama gadis muda yang beruntung saja duduk di singgasana raja.

“Kalian meragukan kemampuanku? Berarti kalian meragukan perintah dari Patih Aditya, juga mempertanyakan mandat dari Gusti Prabu Atma Prabangkara. Baik, kalau memang itu yang kalian mau.” Kontan saja apa yang dikatakan sang ratu membuat yang hadir sedikit gusar termasuk utusan dari Samudra Pasai. Sang ratu yang baru menjabat memang dikenal angkuh pada pejabat istana lainnya. Bukan apa-apa, Arunika hanya berusaha melindungi dirinya sendiri saja. Ia tak mau asal-asalan disentuh oleh sembarang orang, tepatnya merasa jijik dengan semua lelaki di dalam istana. Lalu orang-orang itu bubar juga pada akhirnya. Menyisakan gusti ratu dengan dua dayangnya, beberapa pelayan dan tiga orang utusan dari Samudra Pasai. Hening sejenak, gusti ratu bingung harus bagaimana apalagi Azam, ia pun bingung berhadapan dengan perempuan cantik dengan cara berjalan yang lemah gemulai.

“Siapkan perjamuan makan terlebih dahulu. Kelihatannya mereka haus, jangan lupa tuak terbaik, ya,” bisik ratu pada Puspa dan Jali. Dua dayang itu kemudian mengangguk. Tak lama setelahnya beberapa hidangan datang dan tiga utusan Samudra Pasai itu hanya saling memandang satu sama lain.

“Silakan duduk para Tuan. Sembari makan kita bisa membahas isi surat tersebut.” Sang ratu pun diberikan beberapa makanan yang dari aromanya saja sudah menggugah selera.

“Ada daging babi hutan yang baru saja kemaren diburu. Jika kalian tak suka, ada daging lainnya yang baru ditangkap. Sepertinya itu dari daging biawak. Mengingat kebiasaan lelaki sini yang suka makanan aneh-aneh. Katanya untuk menambah tenaga,” ujar ratu dari singgasananya. Ia sendiri juga menolak makanan seperti itu. Sebagai penari ia harus menjaga bentuk tubuhnya yang ramping, jadi selama hidup Arunika hanya makan sayuran dan buah-buahan saja jika ada.

Tadinya, Rahmat ingin menyentuh daging tersebut, tapi mendengar kata binatang haram yang disebutkan ia pun hanya menelan ludah saja. Berbeda dengan Azam yang dari tadi tak berkata sepatah pun.

“Atau kalian boleh mencoba tuak terbaik dari kami, Tuan. Rasanya manis, dan cocok sekali untuk kalian yang baru saja berjalan jauh.” Kembali Arunika berbaik hati. Kali ini Azam tak bisa hanya diam saja, ia harus menolak maksud baik dari sang ratu.

“Mohon maaf, Gusti Ratu. Tapi kami sedang berpuasa. Hanya akan makan di kala Maghrib masuk,” jawab lelaki itu tanpa memandang wajah Arunika. Ia hanya melihat telapak kaki perempuan yang menyibakkan lembaran bunga ke wajahnya. Itu pun putih bersih dan membuat jantungnya sedikit berdegup.

“Puasa, Maghrib, benda seperti apa itu, Tuan? Di tempat kami tidak ada kata-kata seperti itu.” Gusti ratu mengurungkan niatnya untuk memakan sebuah jeruk. Ia lebih tertarik mendengar penjelasan dari bibir Azam, lelaki keturunan Yaman yang berwajah seteduh sinar rembulan.

“Bang, sepertinya kali ini akan sedikit lebih mudah, nampaknya Gusti Ratu menyukaimu. Lihat saja dari tadi dia tersenyum ke arahmu,” bisik Rahmat.

“Istri orang, istighfarlah kau, jangan menghayal yang tidak-tidak,” bantah Azam.

“Oh, iya, maaf.” Tadinya rahmat ingin menyantap pisang yang matang, tapi berkat perkataan Azam yang mengatakan mereka puasa, jadinya ia urungkan karena dari pagi memang belum makan dan minum apa-apa.

“Maghrib itu di saat senja kala masuk, langit akan kemerahan Gusti Ratu, waktunya hanya sebentar saja, sampai malam benar-benar datang,” jelas Azam.

Gusti ratu mengingat-ingat setiap senja kala masuk. Ia biasanya akan melihat tubuh Gusti Prabu akan banjir keringat hingga sampai langit yang berwarna kemerahan menjadi gelap, barulah tubuh itu tenang dan tidur kembali.

“Ooh, apa yang terjadi di waktu Maghrib itu hingga kalian harus apa kata Tuan tadi, puasa? Apa pula itu?”

“Tidak ada yang terjadi, Gusti Ratu, kami hanya beribadah saja sesuai tuntutan. Lalu puasa di saat Maghrib kami membatalkannya. Dalam hal ini kami menahan lapar dari waktu Shubuh sampai Maghrib, dan saat waktunya tiba kami makan dan minum.”

“Ooh seperti orang pati geni, hanya saja waktu kalian lebih singkat,” tukas Arunika. Ia dulu juga kerap seperti itu saat akan melakukan ritual tarian untuk para leluhur. Tujuannya agar para arwah yang akan menghuni tubuhnya sementara lebih mudah masuk.

“Iya, seperti itu kira-kira. Lalu maafkan kelancangan kami, Gusti Ratu, bagaimana dengan surat penawaran dari Sultan. Apakah engkau menerimanya?” tanya Azam setelah sekian lamanya tak memeperoleh jawaban.

“Ehm, sejujurnya, Tuan, aku tak bisa membaca surat ini. Hurufnya tak jelas di mataku, terlihat aneh.” Gusti Ratu Arunika memperlihatkan selembar surat dengan huruf Arab Melayu tanpa harakat sama sekali pada Azam.

Lelaki berhidung mancung itu menarik napas panjang. Memang tak salah jika penari itu tak bisa membacanya. Beda agama beda jenis huruf. Ia pun lupa meniru cara Syarif, membacakan isi surat itu kehadapan para raja. Ya, begitulah, Azam sedikit bingung ketika dihadapkan pada seorang raja yang ternyata wanita.

“Maksud surat itu adalah penawaran damai, Gusti Ratu. Engkau menerima tawaran dari kami untuk menyebarkan ajaran Islam di dalam istana yang engkau pimpin. Percayalah, ini demi kebaikan semua umat.”

Gusti ratu di dalam pustaka memang sudah mempelajari sedikit tentang seluk beluk Kerajaan Samudra Pasai. Disebutkan bahwa wilayah itu menganut agama yang dulunya dibawa oleh orang dari padang pasir. Agama tersebut begitu sederhana hingga banyak orang yang memutuskan untuk belajar dan masuk ke dalamnya. Hanya saja ada beberapa yang menolak dan timbul peperangan. Di mana Samudra Pasai selalu memperoleh kemenangan. Seharusnya hal seperti ini diatasi oleh Gusti Prabu Atma Prabangkara atau Patih Aditya, sayangnya dua orang penting itu sedang tidak ada di tempat. Ragu-ragu Arunika harus bagaimana. Mengobarkan perang ia tak tahu, menerima saja ia takut dengan ancaman Patih Aditya. Karena itulah ia banyak bertanya mencari tahu apa itu sebenarnya ajaran yang dibawa oleh utusan Samudra Pasai tersebut.

“Kalau kami menolak, tentu engkau akan mengobarkan peperangan, bukan?” tanya gusti ratu.

“Tidak seperti itu juga, Gusti Ratu, kita masih bisa membicarakannya baik-baik sebelum langkah terakhir diambil,” jelas Azam. Ia sebisa mungkin meredam adanya pertumpahan darah.

“Baik, kalau begitu izinkan aku bertanya banyak hal sebelum mengambil keputusan.”

“Silakan.” Dengan senang hati Azam akan menjawab. Ia senang jika ada yang banyak bertanya padanya, tapi jika wanita biasanya dulu akan dijawab oleh Syarif. Azam lebih banyak menjawab pertanyaan laki-laki saja.

“Kalian memuja apa. Aku sendiri memuja arwah leluhurku. Mereka begitu dekat dengan pemilik langit, jadi doa dan keinginanku akan disampaikan oleh mereka.”

“Kami memuja langsung pemilik langit tanpa perantara,” jawab Azam.

“Bukankah dengan begitu engkau tak sopan, Tuan. Engkau mengabaikan keberadaan arwah leluhur yang sudah lebih dahulu tiada. Bukankah kita harus menghormati mereka?” Lagi gusti ratu bertanya.

“Sebab Tuhan kami maha mendengar. Ia tak perlu perantara apa-apa. Cukup hanya kita yang berdoa langsung, Gusti Ratu.”

“Siapa Tuhan kalian, aku merasa dia sedikit angkuh dibandingkan yang lain?”

“Ilah kami Allah, hanya satu tidak ada tandingannya.”

“Hmm, Allah, begitu ya, selain itu apa yang kalian bisa berikan pada kami jika andaikata aku menerima ajaran kalian di sini, wahai para Tuan.” Semakin tertantang ratu dengan jawaban yang diberikan Azam. Ia dari dulu memang suka belajar banyak hal, hanya saja karena ia perempuan suka dilarang ini dan itu oleh kedua orang tua yang sudah menjualnya. Tugasnya hanya satu, menari untuk para leluhur.

“Banyak tanya juga, ya, kalau perempuan yang jadi raja,” bisik Rahmat pada Azam. Lelaki keturunan Yaman itu berpikir sejenak, ia ingin menanyakan apa yang terjadi pada penduduk di Kerajaan Giri Dwipa, mengapa kurus-kurus dan bermuram durja.

“Jika kami boleh tahu, apakah yang sedang terjadi di kerajaan ini, Gusti Ratu. Sepanjang jalan—”

“Kami sudah kekeringan selama lebih tiga bulan lamanya.” Belum selesai Azam bertanya sudah dipotong oleh Arunika. Penari itu sedikit gemas dengan pembawaan Azam yang tenang saja. Meski dalam hati lelaki itu bergemuruh luar biasa. “Mungkin sebentar lagi akan diadakan ritual untuk meminta hujan, Tuan. Rakyat dan semua di dalam kerajaan ini butuh makan dan minum.”

“Ritual seperti apa jika kami boleh tahu.”

“Ritual mengorbankan nyawa seseorang, darah dibayar dengan tetesan air hujan.”

“Kalau begitu biar kami saja yang melakukannya, Gusti Ratu. Tidak perlu ada darah yang tumpah. Sangat disayangkan mereka yang tak tahu apa-apa mati karena meminta hujan. Hargailah sebuah nyawa walau hanya rakyat jelata.”

“Sebagai gantinya kalian akan melakukan apa, para Tuan?”

Dua orang itu sibuk saling tanya jawab, hingga membuat yang di dalam balai saling melihat mereka bergantian.

“Kami akan shalat meminta hujan, Gusti Ratu.” Tegas Azam.

“Shalat, apa pula itu?” Gusti ratu mulai bepikir keras. Dari tadi ada saja kata asing yang ia dengar.

“Memohon, dan berdoa pada Allah agar hujan diturunkan.”

“Dengan itu, apa yang kalian perlukan. Hewan, tumbal atau apa, katakan, biar aku sediakan?”

“Tidak perlu apa-apa. Gusti Ratu.”

“Oh, ya, kapan akan kalian laksanakan ritual itu?”

“Sebentar lagi juga bisa.”

“Hmm, aku mencium kesombongan pada diri kalian. Kalian begitu percaya diri bisa meminta hujan turun tanpa persembahan apa-apa. Mari kita lihat apa yang kalian sembah itu begitu berbaik hati menurunkan air langit tanpa pertukaran apa pun.”

“Jika hujan turun seperti yang engkau inginkan. Maka saat itu juga engkau tak bisa menolak ajaran yang kami bawa, harus diterima di dalam istana sebelum menyebar pada masyarakat Giri Dwipa. Bagaimana, Gusti Ratu?”

Bingung Arunika, jika ia terima kedepannya ia akan berhadapan dengan murka Patih Aditya. Namun, untuk menjawab tidak bisa jatuh wibawanya. Lalu ia pun berpikir, dari dulu ritual meminta hujan tak selalu berjalan mulus meski sudah menumbalkan nyawa orang, terkadang hujan turun beberapa bulan kemudian saat semuanya sudah kering kerontang. Ia pun berpikir utusan dari Samdura Pasai akan mengalami kesulitan yang sama.

“Baiklah, buktikan kalau begitu perkataan kalian. Aku tunggu saat ini juga. Jika berhasil kalian memegang perintahku untuk menyebarkannya di dalam istana.” Jawaban yang keluar dari bibir tipis Arunika. Azam tersenyum, setidaknya ia harus mencoba terlebih dahulu. Tawaran yang diberikan ratu jauh lebih baik, sebelumnya rombongan mereka pernah dihadang oleh para bandit dan hampir dibunuh, dulu.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status