Share

Lelaki Keturunan Yaman

Bagian 3

Lelaki Keturunan Yaman

Sejak ditinggalkan oleh Patih Aditya, banyak sekali perubahan yang dibuat oleh Gusti Ratu Arunika Baiduri. Istana itu semakin banyak tari-tarian yang ia ciptakan. Para petinggi istana hanya bisa menerima saja, sebab yang dilakukan oleh sang ratu juga tidak mengubah tradisi sama sekali. Begitu juga dengan beberapa dayang wanita yang kerap kali menjadi sasaran nafsu dan birahi gusti prabu, selama sang raja sakit, mereka tak lagi merasakan penderitaan. Tubuh para dayang tak lagi lebam akibat disiksa sebelum dibawa ke ranjang. Mereka mulai bisa tersenyum, bahkan berharap agar lelaki bengis itu tak usah sadarkan diri lagi. Seperti itu pula isi hati Gusti Ratu Arunika. Ia lebih memiliih menjadi perawan tua yang suci terjaga, daripada disentuh oleh lelaki kejam seperti yang kini sedang tidur di sebelahnya.

“Kanda,” panggil sang ratu dengan rasa malas, “mimpi indahlah di sana, kalau perlu jangan bangun lagi,” ucap penari itu untuk yang kesekian kalinya. Lalu Gusti ratu memejam, ia tidur setelah lelah seharian menari. Sang raja ditempatkan bersebelahan dengannya. Hanya tidur saja tidak melakukan apa-apa. Sebab sudah kewajibannya sebagai permaisuri menemani orang yang katanya telah menjadi suaminya.

Pagi harinya Gusti Ratu Arunika dibangunkan oleh para dayang. Pagi itu cuaca amat panas, sejak sang prabu sakit, sudah tiga bulan pula lamanya di sekitar wilayah Kerajaan Giri Dwipa tidak turun hujan. Memang sungai masih mengalir, tapi alirannya kecil, sumur bahkan ada beberapa yang mulai mengering. Namun, untuk kebutuhan makan dan minum istana tetap ada. Walau harus merampas milik rakyat. Gusti ratu tidak tahu akan hal itu, sebab petinggi istana lain yang mengurusnya.

“Sudah waktunya bersiap, Gusti Ratu.” Puspa dan Jali datang, mereka berdiri di sebelah Arunika yang masih enggan membuka matanya. Lalu dua dayang itu mencoba membangunkannya kembali.

“Haruskah bangun sepagi buta ini?” gumam sang ratu dari ranjangnya. Ia melirik ke sebelah, senang hati sang ratu ketika raja di sebelahnya masih tertidur lelap.

“Matahari sudah mulai tinggi, Gusti Ratu,” jawab Puspa sambil menangkupkan dua tangannya di dada.

“Iya, tapi karena sudah lama tak turun hujan. Lagi pula ke mana perginya para orang suci? Di kampungku jika hujan tak turun-turun, maka orang suci akan dipanggil untuk melakukan ritual, lengkap dengan memotong beberapa binatang untuk korban.” Gusti Ratu Arunika duduk setelah berusaha mengumpulkan semua nyawanya.

“Di sini tidak boleh ada orang suci, Gusti Ratu. Semuanya sudah dihabisi oleh Patih Aditya atas perintah Gusti Prabu,” bisik Jali pula.

“Cih, orang-orang tak berhati. Pikir kalian bisa bebas begitu saja setelah melakukan banyak kejahatan. Kau sakit itu karena dosa-dosamu dulu,” cicit penari muda itu tanpa beban.

“Pamali, Gusti Ratu, jaga bicara takutnya Gusti Prabu dengar.” Dua dayang itu mengingatkan pada tuannya. Sudah sering tuan mereka berbicara tanpa pikir pada siapa saja, sesuka hati asal beban hatinya keluar. Bertentangan dengan gelar seorang ratu yang seharusnya diemban.

“Biarkan saja, kalau dia sadar pun aku tak akan sudi disentuh olehnya.”

Sang ratu dibawa oleh kedua dayang setianya. Arunika memperlakukan Puspa dan Jali dengan baik. Sebab hanya mereka berdua yang bisa dipercaya dalam istana. Awal tiba, iba hati penari itu dengan nasib mereka berdua. Dibeli dengan amat murah, lalu dipaksa melayani sang raja bergantian, tentu sebelumnya disiksa terlebih dahulu. Bahkan menurut dua dayang itu, semua gadis di dalam istana tak suci lagi. Sebagian dicoba oleh sang prabu, sebagian lagi dicoba oleh para petinggi istana. Semuanya seiring sejalan, sama-sama kejam dengan perempuan lemah.

Selesai mandi dan berendam dengan air kembang. Tubuh Arunika diberikan wewangian yang berasal dari cendana. Rambutnya diasapi juga agar kering dan juga berbau harum. Kemudian, kain-kain sutera indah dibalutkan sebanyak tiga lapis. Dua di bagian kaki, lapis awal berwarna gelap, yang kedua berwarna merah muda. Pakaian bagian atas pula hanya sebatas dada. Rambut wanita itu disanggul dan diberi melati segar. Bibir dan pipinya diberi perona yang berasal dari Cina. Gadis muda itu jadi terlihat lebih dewasa dan matang berkat sentuhan tangan para dayangnya.

“Ampun, Gusti Ratu, ada beberapa tamu dari Kerajaan Samudra Pasai yang ingin bertemu. Mereka membawa surat dari Raja mereka, hendak diberikan pada Gustri Ratu.” Seorang dayang menyampaikan apa yang diutarakan oleh prajurit laki-laki di luar kediaman Arunika. Gadis itu tengah memilih mana giwang emas yang akan dia gunakan pagi itu.

“Kerajaan mana?” tanya sang ratu sambil menunjuk dua giwang baru di nampan tersebut.

“Samudra Pasai, Tuanku. Mereka tiga orang lelaki, kelihatannya masih muda, mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan cara kita, satu di antaranya bahkan wajahnya seperti orang asing.”

“Samudra Pasai itu di mana? Banyak sekali yang harus kukerjakan dan pelajari sejak jadi ratu. Menari pun aku tak bisa bebas seperti dulu, menyebalkan sekali duduk di singgasana yang aku tak suka ini,” gerutu sang ratu perlahan.

“Gusti Ratu, bagaimana? Utusan dari kerajaan tidak baik jika ditolak.” Dayang wanita itu menunduk usai mengingatkan sang pemimpin.

“Utus lima orang penari untuk menyambut mereka. Siapkan jamuan makan dan tuak terbaik untuk mereka. Jika tiga lelaki itu berniat tinggal di sini, siapkan griya kita yang paling baik. Aku akan ke sana usai para penari menghibur mereka. Aku ada yang harus dilakukan terlebih dahulu. Pergilah!” perintah sang ratu pada dayangnya.

Usai Puspa memasang dua giwang baru pada telinga sang ratu, penari tersebut mengajak si kembar untuk memasuki pustaka kerajaan. Meskipun Arunika tidak terlalu pintar, setidaknya ia tidak boleh kelihatan tidak tahu apa-apa di depan para utusan. Ia mempelajari sedikit tentang Kerajaan Samudra Pasai walau waktunya singkat. Gadis itu sejak tiga bulan lalu dinobatkan sebagai ratu, dipaksa untuk bisa baca tulis oleh guru di kerajaan. Katanya agar semakin berwibawa.

***

Azam, Nuh dan Rahmat menunggu sang ratu di dalam balai istana. Beberapa petinggi istana telah menerima kedatangan mereka yang menggunakan pakaian serba tertutup sampai di atas mata kaki. Namun, sang ratu yang ditunggu tak kunjung datang juga.

“Ke mana ya Gusti Prabu mereka. Lama sekali kita menunggu dari tadi,” bisik Rahmat pada Azam.

Lelaki keturunan Yaman itu tak tahu juga, ia sedikit gugup sebenarnya. Biasanya Syarif yang akan berbicara dengan yang duduk di singgasana, kini sudah menjadi gilirannya. Ia takut lidahnya kelu dan tak bisa meneruskan niat baik dalam menyebarkan Islam. Berkali-kali ia sudah lafadzkan doa yang bisa menghilangkan gugupnya.

“Rabbisyrahlii shadrii wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatan min lisaanii yafqahuu qaulii.” Berulang kali Azam ucapkan itu. Jika sang raja yang akan berhadapan dengannya bengis dan kejam, maka setelah tawaran damai tak diterima ia akan memberikan pilihan perang pada akhirnya. Seperti itu urutan yang kerap kali Syarif bahas padanya.

Beberapa pelayan laki-laki masuk, mereka membawa gamelan dan alat musik lainnya. Semua yang hadir di sana sudah paham kecuali tiga orang Samudra Pasai tersebut. Bunga-bunga wangi dan aneka warna ditaburkan di lantai. Kemudian masuk lima orang penari perempuan dengan memakai pakaian terbuka dan selendang yang dililitkan di pinggang. Mereka serempak memberikan salam hormat pada tiga orang utusan itu. Para ulama muda tersebut hanya menunduk saja. Ditolak tidak enak, diterima juga hati mereka takut dosa.

Kelima penari itu melenggak-lenggokkan pinggulnya di depan para lelaki. Semuanya menikmati suguhan yang diberikan oleh sang ratu. Para penari itu telah dilatih oleh Arunika hingga gerakannya sudah sangat memesona dan menyihir siapa saja yang memandang. Dua orang penari melewati Azam dan teman-temannya. Mereka semakin menunduk dan beristghfar berkali-kali. Di kerajaannya, penari perempuan hanya boleh dilihat oleh perempuan saja. Jika kedapatan lelaki ikut melihat maka bukan tak mungkin akan dijatuhi hukuman.

“Dilihat dosa, tak dilihat barang bagus,” ujar Rahmat sambil menoleh ke kanan dan kiri.

“Diamlah. Alihkan saja pandanganmu. Aku lebih memikirkan bagaimana nanti harus menghadapi sang raja. Bang Syarif memberikan amanah yang begitu berat untukku.” Azam meremas tangannya berulang kali. Gugupnya semakin menjadi ketika para penari wanita itu tersenyum ke arahnya satu demi satu.

Kelima penari perempuan itu berbaris membentuk satu garis. Dua tangan mereka tertangkup di dada. Tarian telah usai, mereka bergeser ke kiri dan kanan. Pada saat itu Gusti Ratu Arunika muncul bersama dua dayangnya. Penari tersebut berjalan dengan anggun. Ia langsung bisa mengenali siapa utusan dari Samudra Pasai tersebut, dari cara berpakaian juga sudah amat jelas perbedaannya.

“Bang, ada perempuan cantik yang berjalan kemari.” Nuh menyikut Azam yang dari tadi masih sibuk berdoa.

Azam berdiri dari duduknya, begitu juga dengan Nuh dan Rahmat, mereka heran mengapa perempuan lagi yang menyambutnya. Mana para lelaki atau sang raja?

Gusti Ratu Arunika menatap lurus ke arah Azam, lelaki itu gugup bukan main dibuatnya, senyum dari bibir tipis dan merona sang ratu ia dapatkan. Semakin dekat penari itu dengan mereka. Rasanya Azam ingin melompat saja dan lari, kemudian menyerahkannya semuanya pada Syarif.

Tiba sudah sang ratu di dekat para utusan dari Samudra Pasai tersebut. Gadis suci itu menghaturkan dua tangan, memberi hormat pada utusan yang ia anggap membawa niat baik.

“Selamat datang di Kerajaan Giri Dwipa, para Tuan dari Samudra Pasai. Aku Gusti Ratu Arunika Baiduri yang memerintah di sini untuk sementara waktu. Kalian pasti kelelahan, nikmatilah jamuan makan dari kami terlebih dahulu. Setelahnya baru kita berbicara ada apa gerangan kalian kemari,” tutur sang ratu dengan lemah lembut. Penari tersebut memandang Azam dan lainnya, menanti jawaban keluar dari bibir salah satu utusan tersebut. Namun, semuanya hanya diam membisu. Azam yang tadinya sudah mempersiapkan jawaban ketika bertemu sang raja, nyatanya hilang begitu saja ketika yang menyambutnya merupakan seorang perempuan dengan senyuman yang amat manis.

“Bang, jangan diam saja.” Nuh kembali menyikut Azam. Lelaki keturunan Yaman itu pun berusaha menjawab sebisanya. Ia ucapkan terima kasih walau sedikit gugup.

“Aku paham kalian pasti lapar dan haus. Karena itulah mari kita makan bersama-sama,” ajak sang ratu. Penari tersebut berbalik. Ia berjalan sambil menyibak kain panjang di kakinya. Jadilah bunga-bunga yang ditaburkan di lantai itu terangkat dan mengenai wajah Azam berulang kali. Sudah biasa bagi seorang penari seperti Arunika untuk berjalan seperti itu, dengan lemah gemulai dan pinggul yang berlenggak-lenggok. Tersenyum Gusti ratu dalam perjalanannya menduduki singgasana emas. Ia bisa menilai tiga orang utusan dari Samudra Pasai tersebut berkelakuan baik dan tak seperti lelaki lain di dalam istana. Sementara itu, Azam membersihkan bunga-bunga yang terlempar ke wajah dan bajunya. Bingung ia bagaimana caranya menghadapi seorang raja yang ternyata perempuan. Rasanya lebih baik ia berhadapan dengan seorang bandit saja.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status