Share

3. Roda yang Berputar

"Huh! Dasar anak kurang ajar!" Gerutu Bu Ratna yang pergi meninggalkan kami sembari melangkah dengan menghentakkan kakinya.

Setelah perdebatan panjang yang kami lalui tadi, akhirnya Bu Ratna memilih untuk pergi meninggalkan kami. Hal itu bisa membuktikan bahwa ternyata ia tidak gila. Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya itu.

Para pembeli dan juga pedagang yang dari tadi melihat aksi ca ci cu ca ci cu pun mulai membubarkan diri tanpa harus diberi komando.

Andai saja tadi ibu tidak menahanku, mungkin pertikaian itu akan terus berlanjut lebih parah daripada hanya sekedar beradu mulut. Aku benar-benar merasa sakit melihat Bu Ratna merendahkan dan menghinaku dan juga ibuku seperti itu. Seolah kami begitu tidak ada artinya, sehina itukah? Tanyaku pada diri sendiri.

Apa yang dikatakannya tadi? Tidak selevel? Apakah aku harus mengingatkannya tentang bagaimana ia dahulu selalu datang kerumah setiap harinya? Dengan wajah memelas untuk meminta bantuan kepada almarhum bapak agar mau mau meminjamkan uang pada suaminya.

Sebenarnya keluarga kami adalah kerabat jauh. Mereka juga tidak kami anggap sebagai orang lain. Pak Rudi adalah sepupu jauh dari bapakku, mereka masih terikat hubungan saudara dari pihak kakek yang ada di Semarang.

Kehidupan keluargaku dahulu tidak pernah merasakan kekurangan. Untuk ekonomi, keluarga kami bisa dibilang orang yang berpunya. Kami bukan termasuk orang yang kesusahan, karena kebetulan almarhum bapakku merupakan anak tunggal dari kakek. Setelah kakek tiada, seluruh warisan, tabungan, tanah, rumah, serta sawah seluruhnya jatuh ke tangan bapak sebagai pewaris tunggal.

Namun, entah terbuat dari apa hati mendiang bapakku ini. Kebaikan hatinya seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali pak Rudi dan juga Bu Ratna.

Almarhum bapak memiliki jiwa sosial yang terlampau tinggi. Dengan sifat tidak teganya itu, beliau tak kuasa menolak saat pak Rudi dan Bu Ratna datang untuk meminjam sejumlah dana untuk melangsungkan kegiatan kampanye sebagai seorang lurah.

Dengan beberapa desakan dan juga janji-janji yang diberikan oleh pak Rudi, akhirnya bapak menjual beberapa petak sawah peninggalan kakek untuk mendapatkan sejumlah dana untuk kampanye pak Rudi. Akan tetapi setelah pak Rudi berhasil menjabat menjadi seorang lurah, uang tersebut tak kunjung dikembalikan. Ada saja alasan yang mereka berikan kepada bapakku.

Mereka selalu saja mengelak dan berdalih bahwa nantinya keluarga kami akan berbesan dan menjadi satu keluarga. Bukankah sedari dulu Deva dan Kinara sudah saling dijodohkan. Itulah yang selalu mereka katakan, hingga lagi-lagi bapak merasa tak enak hati untuk menagihnya.

Hubunganku dan Deva memang semakin dekat setelah itu. Sejak dulu, sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar memang kami sudah sering bersama-sama hingga kami sama-sama duduk di bangku SMA.

Kehidupan ekonomi pak Rudi menjadi lebih baik setelah ia menjabat sebagai seorang lurah sejak 3 tahun yang lalu. Namun demikian, hutang yang pernah dipinjamnya tak kunjung juga dikembalikan. Bahkan sampai akhir hayat bapak, sepeserpun mereka tidak pernah mengembalikannya meskipun sekarang pak Rudi bisa disebut sebagai orang yang sukses.

Bagaikan roda yang berputar, kehidupan keluarga kami dan kehidupan keluarga pak Rudi seolah tertukar. Aku yang dulu menganggap diriku seorang gadis beruntung yang selalu berkecukupan. Kini harus rela membanting tulang dan membantu ibu berjualan sayur. Harapanku untuk kuliah 3 tahun yang lalu, harus ku pupus. Aku harus merasa puas dengan ijazah tamatan SMA karena memang keterbatasan biaya untuk masuk universitas. Sedangkan Deva, keberuntungan sedang memihak kepadanya hingga dia bisa melanjutkan kuliahnya di kampus ternama yang ada di kota.

Bapak yang dahulunya segar bugar, perlahan mulai sakit-sakitan. Tak sedikit waktu, tenaga dan juga biaya yang kami keluarkan untuk biaya pengobatan bapak. Tak apa kami kehilangan semuanya, asalkan bapak diberikan kesembuhan. Satu persatu aset yang ditinggalkan oleh kakek mulai terkikis. Tanah, sawah, bahkan juga usaha pemotongan kayu nya juga ikut habis kami jual untuk biaya operasi bapak pada waktu itu.

Namun kembali lagi, seberapa kuat pun kita berjuang, jika yang kuasa sudah menentukan jalannya maka kita sebagai hamba bisa apa selain menerima ketetapan-Nya. Dan pada akhirnya, bapak pun harus berpulang karena sudah terlalu lelah dan juga menyerah dengan sakit yang dideritanya.

Entah kata apa yang tepat untuk aku sematkan kepada bapak dan juga ibuku atas kemalangan yang menimpa kami ini.

Di ujung jalan keluar dari pasar ini, masih kudengar beberapa omelan dari mulut pedas Bu Ratna. Perempuan yang tadinya akan berstatus sebagai ibu mertuaku itu berjalan dengan menenteng tas kremes kawe warna hitam. Dia berjalan menuju mobil berwarna putih yang terparkir tepat di samping pintu keluar.

"Jedharrr"

Terdengar suara pintu mobil yang dibanting dengan keras. Mobil berwarna putih tersebut mulai melaju meninggalkan tempat parkir.

"Nak, harusnya kamu biarkan saja Bu Ratna, nggak usah di ladenin dan nggak perlu kamu berantem kayak tadi, dilihatin banyak orang seperti itu, nanti malah urusannya jadi panjang loh. Kayak nggak tahu aja kamu gimana sifat Bu Ratna," ucap ibu kepadaku disaat suasana sudah mulai tenang.

Para pedagang yang sedari tadi melihat pertikaian kami sekarang sudah diam dan kembali melanjutkan aktivitasnya masing-masing.

"Ibu itu loh, harusnya ibu jangan diem aja Bu dihina dan direndahkan seperti itu. Ibu harus berani melawan Bu Ratna, jangan mau diinjak-injak. Kinara nggak suka jika harga diri kita diinjak-injak seperti itu, apalagi itu karena harta dan status saja. Apa Bu Ratna pernah ngasih makan kita Bu? Enggak kan? Berani-beraninya dia maki-maki ibuku yang baik hati ini,"

Ucapku sambil sedikit memainkan alis menatap dengan senyum kepada ibu. Mendengar rayuan maut dari mulutku, membuat ibu langsung tersenyum dan lantas memeluk erat diriku.

"Aku Kinara Larasati memanglah seorang wanita Jawa asli yang ada gambar badaknya. Dan aku adalah seorang gadis yang suka ceplas ceplos kalau bicara. Apa yang aku suka ya aku suka, tapi apa yang aku tidak suka ya aku selalu bilang tidak suka. Itulah aku!"

Kinara Larasati putri dari Pak Budiman dan Bu Wati.

-----

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status