Rintik gerimis masih terlihat deras membasahi teras sebuah rumah besar bergaya eropa kuno. Terdapat banyak penghuni di dalamnya. Tak sekedar wanita dewasa, tapi beberapa gadis juga terpaksa ikut tinggal mengikuti ibu mereka di sana. “Merry, lekas ganti pakaianmu! Ini sudah saatnya!” perintah wanita paruh baya tapi masih terlihat cantik bernama Elena. Elena berteriak sekaligus melempar sepasang pakaian hingga mengenai wajah seorang gadis belia yang diajaknya bicara. “Tapi pakaian ini terlalu ketat, bahkan ukurannya terlalu minim, Bu! Aku tidak bisa,” tolak gadis belia bernama Merry yang kini rautnya berubah menjadi pucat pasi. Takut. Tentu saja. Geram, tentu saja Elena geram bukan kepalang. Ia tak suka perintahnya dibantah. Seketika tangannya yang semula gemetar langsung melayang menyambar rambut Merry dan menariknya kasar, hingga membuat Merry memekik kesakitan. “Aduh, Ibu … sakit, tolong lepaskan,” rengeknya sambil terisak-isak sementara kedua tangannya berusaha menahan rambu
POV MerryNamaku Merry, saat ini aku adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun. Entah sengaja ditinggalkan oleh Ayahku, atau sebenarnya aku sengaja dibawa lari oleh ibu tiriku, aku tak tahu pasti. Hanya kepingan kecil yang kuingat, saat bias hujan meninggalkan jejak di kaca jendela kamar. Terdengar pertengkaran besar antara Ayahku dan Ibu tiriku—Elena. Sejak saat itu, Ayahku menghilang entah ke mana, lalu Elena membawaku pindah ke tempat yang begitu jauh dan hidupku bagaikan di neraka.Siapa sangka jika hari ini hidupku semakin tragis sejak Elena menyerahkan aku kepada Pak Sameer—Pria menyeramkan yang membawaku ke mansion mewah yang asing.“Awas saja jika kau berani melarikan diri! Lebih baik menurut, ini demi kebaikanmu, Merry!” ancam Pak Sameer kala itu.Aku hanya bisa bergeming. Lagi pula aku tak bisa bicara dengan mulut tersumpal, apalagi kedua tanganku dalam kondisi terikat. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis.Kedua kakiku masih gemetar bukan kepalang, jantungku
Rintik-rintik embun masih menghiasi kaca jendela kamar hotel. Dinginnya cuaca pagi bahkan terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Akan tetapi, Merry sudah selesai bersiap meski matanya masih terasa perih, sembab sudah pasti. Ia menangis semalaman usai tragedi mengenaskan dalam hidupnya terjadi.“Permisi, taksi yang Anda pesan sudah menunggu di depan,” panggil sekaligus sapa seseorang di depan pintu yang seolah terdengar setengah berteriak.“Baik, terimakasih.”Segera, Merry mengayunkan kaki jenjangnya dengan cepat. Mengabaikan luka hatinya, meski rasa takut terhadap Elena yang ingin segera menemukan dirinya menggelayuni dan mendominasi pikirannya.“Ah, iya Nyonya, terimakasih sudah bersedia membantu,” sahut Merry sembari menyeret koper yang di genggamnya setelah membukakan pintu.Wajah seputih pualam itu tampak pucat, dengan cekungan yang melingkar di bawah matanya.Sedangkan di depannya seorang wanita yang berseragam sebagai pelayan hotel itu hanya tersenyum sembari setengah membungku
Hari berlalu begitu cepat. Kini usia kandungan Merry sudah berusia sekitar delapan bulan. Karena sebentar lagi ia akan memiliki bayi, ia memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar.Memang, uangnya masih lumayan untuk sekedar menghidupinya dan juga anaknya. Tapi, apa jadinya jika ia hanya berdiam diri? Semakin hari, uang akan habis juga.Hari itu Merry memilih untuk menyewa jasa asisten rumah tangga. Selain untuk membantunya pasca melahirkan, tapi nantinya juga bisa membantunya mengasuh bayi sekaligus menjadi teman hidupnya yang masih sepi."Non, kenapa melamun?" Suara Bi Ema, seorang perempuan paruh baya yang kini menemani Merry.Bi Ema adalah seorang janda yang tak memiliki kerabat. Semenjak bekerja pada Merry, ia merasa hidupnya yang nyaris mati mulai berwarna. Ia bahkan menganggap Merry sebagai anak sendiri."Jika nanti aku sudah melahirkan, aku ingin bekerja. Bisakah Bi Ema selain bekerja juga menjaga anakku?" Merry masih duduk meringkuk di sofa dekat jendela."Tentu, kenap
Degup jantung Merry masih terasa memburu. Dengan tangan gemetar, yang terlihat jelas saat meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan, bisa diterka jika ia sedang cemas sekaligus takut berada di mobil orang asing."Siapa gerombolan perundangan tadi, Nona?"Suara bariton itu, seketika membuyarkan lamunan Merry. Membuatnya seketika menoleh ke arah sumber suara."Ummm, ceritanya panjang. Terimakasih sudah menolongku, turunkan saja di sini," sahut Merry, masih dengan raut wajahnya yang cemas.Kening si pemuda yang kini sedang duduk di balik kursi kemudi seketika berkerut.Sedang bermasalah? Mungkin."Apakah kau tidak ingat, Nona? Nyawamu sedang dalam bahaya. Lagi pula hujan baru saja turun. Sebaiknya ikut aku sebentar, nanti pasti ku antar pulang."Entah apa yang dipikirkan oleh Merry saat itu. Mendengar ajakan pria di sampingnya, bukannya tenang, kini ekspresi wajahnya mendadak berubah cemas. Ada guratan takut yang pemuda itu tangkap.Rona merah seketika menyebar di pipinya."Tidak, saya h
Merry masih tetap berdiri, di sebuah ruangan besar sambil mendekap dirinya sendiri yang menahan gigil.Tubuhnya yang basah tanpa sengaja membuat bagian tubuh seksinya terekpos sempurna."Pakai handuk ini untuk mengeringkan tubuhmu di kamar mandi sebelah sana! Ganti pakaianmu dengan ini." Eric menyodorkan pakaian ganti dan juga handuk.Tentu saja hal itu membuat Merry gugup, apalagi dia memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Gadis itu segera berlalu, tanpa berani menatap lawan bicaranya begitu saja.Beberapa menit berselang, Merry telah kembali dengan setelan kaos berwarna pink serta celana pendek selutut.Ia mendapati Eric sudah duduk di sofa, lengkap dengan dua cangkir teh panas dengan asap mengepul yang tersaji. Tak lupa ia melengkapi dengan kudapan."Duduk, kau pas memiliki banyak pertanyaan," ungkap pemuda tampan tapi ramah itu."Ya, tentang kaos pink ini dan juga celana pendek selutut yang ku kenakan. Bukankah ini milik perempuan?" tanya Merry dengan raut setengah menye
Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang."Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya."Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi."Wah, baik sekali ya, Merry,"
Pagi ini, Merry sibuk merias diri. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Bi Ema, yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu sambil menggendong bayi Dave."Kenapa ke kafe sepagi ini?" tanya Bi Ema, membuat jemari lentik yang semula menggerakkan kuasa dipaksa berhenti.Merry mengalihkan yang menatap sendu ke arah wanita paruh baya yang terlihat kebingungan atas sikapnya."Oh, maaf, Bi ... mungkin aku lupa bilang, kalau sejak kemarin, aku sudah tidak bekerja di kafe lagi. Mengenai alasannya, aku diperlakukan tidak adil di tempat itu," cetus Merry.Pengakuannya membuat wanita tua yang sudah seperti ibunya entah sejak kapan itu terbelalak."Lalu, mau ke mana kamu sepagi ini? Merry, ingat ya, Elena dan anak buahnya masih berkeliaran di luar sana. Kecuali, jika kamu mau mencari Ayah anakmu."Bi Ema berbicara sambil mengguratkan isyarat wajah cemas. Terpampang jelas dari matanya yang redup."Bukankah kemarin Bi Ema sudah bertemu Eric? Dia Managerku sejak hari ini? Aku akan menjajal dunia