Di ruang duka yang sunyi, Oliver dipindahkan dengan hati-hati dari ambulans ke sebuah peti mati kayu yang polos. Damian, yang masih terguncang oleh kematian tiba-tiba adiknya, berdiri di samping peti itu dengan tatapan kosong. Merry, yang masih penuh dengan kesedihan, duduk di kursi sebelahnya, menangis dengan histeris. "Dia seharusnya tidak mati, Damian," desah Merry di antara isakannya. "Ini tidak adil."Damian merangkul Merry erat, mencoba menenangkan kecemasannya sendiri sambil juga menghibur Merry. "Aku tahu, Merry. Tapi sekarang kita harus berusaha menerima kenyataan ini dan memberi Oliver perpisahan yang layak."Mata Damian tiba-tiba melirik peti mati di depannya dengan ekspresi yang menunjukkan rasa ketidakpuasan. Tanpa berkata apa pun, ia mulai mendekati peti itu, tangannya sudah meraih gagangnya.Sebelum ia bisa membuka peti mati, dokter dan perawat yang bertugas segera menyergapnya, menghalanginya dengan keras."Mohon maaf, Tuan Damian, tapi kami tidak dapat mengizink
Setelah Damian memberikan kabar yang mengejutkan, Merry merasa dunianya hancur.Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. Bagaimungkin bisa ada kesalahan dalam identifikasi mayat? Tapi saat Damian menegaskan bahwa itu bukanlah Oliver, Merry merasa pusing oleh gelombang kebingungannya."Damian, kamu pasti salah," ucap Merry dengan suara gemetar. "Bagaimungkin ini bukan Oliver? Mungkin ada kesalahan."Damian menggelengkan kepala dengan keras. "Aku yakin, Merry. Aku melihatnya sendiri. Kita harus menghentikan prosesi pemakaman ini sebelum terlambat."Merry terdiam sejenak, matanya memancarkan kecemasan yang mendalam. Namun, di balik kecemasan itu, ada ketegasan dalam hatinya. "Aku tahu ini sulit dipercaya, Dami, tapi kita tidak bisa membuat keputusan gegabah. Oliver akan memiliki pemakaman yang layak, bahkan jika ini memang bukan dia di dalam peti mati itu."Damian merasa putus asa. Dia tidak bisa memahami bagaimana Merry bisa tetap begitu tenang dalam menghadapi situasi yang m
Suasana pagi itu terasa hening di sekitar rumah Merry. Cahaya matahari perlahan mulai menyelinap masuk melalui jendela kamar, menyinari wajah Merry yang terbaring di atas tempat tidur. Namun, meskipun suasana terlihat tenang, di dalam hati Merry, ada kegelisahan yang tak terucapkan.Sejak peristiwa tragis yang mengguncang keluarganya, Merry merasa semakin terisolasi dan terpisah dari dunia di sekitarnya. Dia merasa bahwa dia tidak bisa lagi mengandalkan siapapun, bahkan Damian, untuk memberinya dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan.Merry menatap langit-langit kamar dengan ekspresi bingung. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan penting tentang hubungannya dengan Damian. Meskipun sebagian dari dirinya ingin tetap bersama Damian, ada bagian lain dari dirinya yang merasa bahwa dia harus hidup sendiri, tanpa ketergantungan pada siapapun.Setelah beberapa saat merenung, Merry akhirnya mengambil keputusan yang sulit. Dia memilih untuk hidup sendiri, mengejar kebebasan dan keman
Matahari terbit di langit, menerangi pasar dengan sinarnya yang hangat. Merry berdiri di antara kerumunan orang, berdandan layaknya seorang gadis desa. Pakaiannya sederhana, rambutnya dikepang dua, dan di tangannya tergenggam sekeranjang roti yang sengaja dia jajakan.Suasana pasar sangat ramai, dengan pedagang berteriak-teriak menjual barang dagangannya dan pembeli yang sibuk berjalan kesana-kemari. Merry mencoba mengamati setiap orang satu per satu, mencari tanda-tanda yang mungkin mengarahkannya pada keberadaan Oliver.Namun, kekacauan datang ketika segerombolan preman jalanan tiba-tiba mengganggu Merry. Mereka mengelilinginya dengan tatapan yang penuh dengan niat jahat, mencoba mengintimidasi gadis itu.Merry merasa ketakutan, namun dia memilih untuk tetap tegar. Dia menghadapi preman-preman itu dengan pandangan yang tajam, menolak untuk menunjukkan ketakutannya.Namun, sebelum situasi semakin memburuk, datanglah seorang pria tampan mengenakan sweater berwarna coklat. Dengan b
Keesokan harinya, Merry membuka kedai roti barunya dengan hati yang masih penuh dengan kesedihan dan kebingungan. Pikirannya masih dihantui oleh percakapan dengan Adam semalam. Namun, dia berusaha menyibukkan diri dengan bekerja, berharap bisa melupakan sejenak perasaannya yang kacau.Pagi itu, kedai roti Merry mulai ramai dengan pengunjung. Aroma roti segar yang baru dipanggang menguar di udara, menarik perhatian penduduk desa dan pelancong yang kebetulan lewat. Merry tersenyum tipis kepada setiap pelanggan yang datang, meskipun senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke matanya."Selamat pagi, selamat datang di Kedai Roti Merry," sapanya dengan suara lembut, sambil melayani seorang ibu yang membeli sekotak kue untuk anak-anaknya.Beberapa saat kemudian, pintu kedai terbuka dan bel kecil di atasnya berbunyi. Merry menoleh dan melihat Damian masuk bersama ibunya. Merry merasakan jantungnya berdebar-debar. Ia tahu kunjungan ini tidak akan mudah dihadapinya."Merry, kau terlihat sibuk se
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya