Naila buru-buru meneguk minumannya untuk menetralisir kecamuk rasa yang bergejolak di dadanya.
"Nayra ngomong apa sih?" sergahnya.
"Insya Allah kalau Mama ada uang, Nayra bisa makan ayam goreng. Kita tidak perlu menunggu om Ammad mengajak jalan," ucapnya sambil mengelus rambut anak itu.
"Tapi beda rasanya, Mama," bantah Nayra. Wajahnya mendadak murung.
"Beda apanya, Sayang? Kan sama saja makan ayam goreng juga," sahut Naila.
"Beda, Ma. Kalau makan ayam goreng dengan om Ammad bisa sambil ngobrol macam-macam. Kan rame, Ma," sambungnya.
Naila seperti tertohok. Barulah ia paham dengan maksud pembicaraan putri semata wayangnya.
Gadis kecilnya merindukan sosok seorang ayah di dalam kehidupannya. Sosok seorang ayah yang tak akan pernah di temui seumur hidupnya. Naila menatap putri kecilnya dengan perasaan iba.
"InsyaAllah, nanti om Ammad mengajak jalan lagi. Nayra berdoa saja ya," hibur wanita muda itu, meskipun ia tengah berusaha mati-matian menahan airmatanya.
Nayra menganggukkan kepala.
❣️❣️❣️Pembicaraan dengan gadis kecilnya pagi ini masih saja memenuhi pikirannya. Dia sadar betul, seumur hidupnya Nayra tak pernah melihat ayahnya dan tak pula merasakan kasih sayang seorang ayah.Sejujurnya Naila merasa iba. Hanya saja, apa yang bisa dia perbuat?
Beberapa orang kerabat pernah memberi saran kepadanya untuk menikah lagi. Entahlah. Entah kenapa hatinya masih terasa berat. Dia masih teringat sosok Rasyid, suaminya yang sudah meninggal dunia, lebih dari tujuh tahun yang lalu.
Rasanya tak adil, jika dia menikah dengan laki-laki lain, tapi bayang-bayang suaminya yang dulu masih memenuhi pikiran.
"Naila."
Suara ibu Diana membuyarkan lamunannya. Naila mengusap wajah demi menyamarkan beberapa tetes yang diam-diam jatuh dari sudut matanya.
"Memikirkan apa, Nai? Dari tadi ibu perhatikan seperti orang bingung gitu," tegurnya.
Naila menggelengkan kepala.
"Hanya soal Nayra, Bu. Biasalah. Seperti tidak tahu Nayra saja."
Wanita setengah baya itu menyerngitkan kening.
"Ada apa dengan Nayra?"
"Nayra pengen makan ayam goreng lagi sama Bang Ammad," ucap Naila. Wajahnya tertunduk lesu. Dia menghela nafas panjang.
"Gak papa lah, Nai. Namanya juga anak-anak. Apalagi anakmu itu tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah."
"Iya, Bu. Naila juga kasihan melihatnya."
"Makanya nikah dong, Naila. Biar Nayra ada ayahnya," ucap perempuan separo baya itu.
"Entahlah, Bu. Entah kenapa hati Naila masih terasa berat. Lagi pula, siapa juga yang mau menikahi Naila? Janda anak satu. Hanya jadi beban aja buat suami Naila nanti." Perempuan itu berujar lirih. Dia balas menatap ibu Diana.
"Tidak semua lelaki berpikiran seperti itu, Nai. Banyak mereka yang bahkan mau menerima dan menjadi ayah sambung buat anak istri dari suaminya yang terdahulu. Apalagi Nayra anak yatim. Pahala lo Nai, bisa berkesempatan memelihara anak yatim," hiburnya. Dia mengelus bahu Naila.
"Kamu tidak perlu takut yang berlebihan, Nai. Yakinlah, semua akan baik-baik saja."
"Kamu itu cantik lo, Nai. Hanya saja kamu tidak menyadarinya. Buktinya banyak yang suka sama kamu. Banyak juga yang akhirnya mundur teratur karena ternyata kamu menganggap mereka sebagai teman saja."
"Nai kan nggak enak, Bu. Mereka yang mendekati Naila, kebanyakan sudah berkeluarga. Punya istri dan anak. Masa Naila mau merusak rumah tangga orang?"
"Jadinya ya, Nai anggap mereka teman saja." Naila menghela nafas panjang.
"Ammad itu suka padamu, Nai. Dia juga mau berteman dengan anakmu. Ibu lihat, Nayra juga menyukai Ammad. Mengapa Kamu tidak memberikan kesempatan kepada laki-laki itu?" bujuk wanita setengah tua itu.
"Bang Ammad itu juga sudah berkeluarga. Anaknya saja ada tiga. Dia bilang, cuma mau berteman dengan Nai. Tak lebih,"
Ibu Diana menghela nafas panjang. Dia tak tahu harus berkata apa lagi untuk membujuk wanita muda yang bahkan sudah di anggap seperti putrinya ini.
❣️❣️❣️Perempuan bernama ibu Diana itu sebenarnya bukan orang lain bagi Naila. Beliau masih kerabat ibunya. Orang yang begitu baik dan perhatian dengan keluarganya. Untuk itulah, Naila merasa nyaman ikut bekerja di warungnya.Bahkan seringkali dia pulang ke rumah dengan membawa sisa makanan yang tak terjual di warung. Ya, lumayan tidak perlu beli lauk dan sayur lagi.
Hidupnya memang sangat prihatin. Sejak kecil hidup apa adanya dengan kedua orang tuanya. Menikah di umur 19 tahun, lalu menjadi janda di umur 20 tahun.
Sedih? Itu pasti.
Kehilangan sosok penopang dalam hidupnya, orang yang sangat dicintainya, tentu meninggalkan perih yang tak bisa di lukiskan. Cobaan datang bertubi-tubi setelah itu. Ayahnya pun meninggalkan untuk selamanya tepat ketika Nayra, putrinya berusia dua tahun.
Dalam hidupnya sekarang, dia hanya punya Nayra dan ibunya. Sosok tua itu sudah tak sanggup lagi bekerja. Sehari-hari ibunya hanya menemani Nayra di rumah.
Wanita muda itu harus menjadi orang tua tunggal untuk putri semata wayangnya, Nayra. Dia pun juga harus bertanggung jawab dengan menjadi tulang punggung keluarga. Almarhum suami dan ayahnya, bahkan tak meninggalkan secuil apapun sebagai bekal hidup mereka selanjutnya.
Hufff..
Naila meraih sepeda lantas mengayuhnya, hingga tak terasa dia telah menyusuri jalanan menuju rumahnya.
"Naila." Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Kak Syifa," ucapnya. Naila turun dari sepedanya.
Perempuan berumur sekitar 35 tahunan itu terlihat bergegas mendekat.
"Ada apa, Kak?"
"Eh, Naila, kemarin malam kamu jalan sama sama laki-laki ya?"
Naila menganggukkan kepala.
"Iya Kak. Teman baru Naila mengajak jalan," ucapnya jujur.
"Wah, gampangan sekali kamu, Naila. Mentang-mentang janda ya, mau aja di ajak jalan malam-malam sama laki-laki."
Naila tersenyum kecut mendengar ucapan wanita itu.
"Naila tidak jalan berdua, Kak, karena Nayra juga ikut. Kami hanya makan malam di warung. Sesudah itu pulang," ucapnya.
"Alah, sama aja, Nai. Itu mah cuma modus kamu biar mendapat simpati dari laki-laki itu. Biar nanti akhirnya dia mau nikahin kamu. Secara kan kamu udah lama menjanda," sahutnya sinis.
"Tidak, Kak. Naila gak modus kok. Bang Ammad bilang, Naila boleh mengajak Nayra ikut," ucap Naila.
"Ohh jadi nama cowok itu, Ammad ya?"
"Iya Kak." Naila mengangguk.
"Orang mana?"
"Asli Medan, Kak. Dia baru dua bulan tinggal disini."
"Ohh ya?"
"Hati-hati lo, Nai. Dia mendekatimu paling cuma modus, biar kamu mau menjadi istri sementara selama dia bekerja di sini."
Naila menggelengkan kepala.
"Kata Abang, dia cuma mau berteman sama Nai, tidak lebih," bantahnya.
Syifa tertawa lepas dengan nada mengejek.
"Mana ada cowok yang begitu, Nai. Makanya jadi wanita jangan murahan. Mau saja di ajak jalan malam-malam sama laki-laki baru di kenal. Suami orang pula! Dasar janda kegatelan!"
Naila tak sanggup lagi mendengar ucapan pedas perempuan itu. Dengan tangan dan kaki gemetar, dikayuhnya sepedanya terus melanjutkan perjalanan menuju rumahnya yang terletak tidak jauh dari tempat itu.
"Ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu, Nak? Mama lihat kamu sudah begitu dekat dan Nayra pun begitu menyukainya." "Tidak ada hubungan apa-apa, Mama," *Mama lihat Ammad menyukaimu," bantah ibunya. "Naila hanya menganggapnya sebatas teman dan saudara, Ma. Buat Naila, bang Ammad hanya sebatas abang yang baik dan perhatian kepada Naila dan Nayra." "Hubungan kalian sudah terlalu dekat, Sayang. Mama bisa melihat, bagaimana sorot mata laki-laki itu memandangmu. Mama ini juga pernah muda, Nak." Naila menghela nafas panjang, seolah ingin membuang segala rasa di dalam dadanya. Matanya kosong menatap langit-langit kamar. Ibunya masih setia memperhatikan dari sisinya. "Naila juga bukan anak kecil lagi, Mama. Naila pun mengerti arti dan sikap seorang laki-laki, tapi Naila tidak mau gegabah. Karena boleh jadi, perhatian dan sikap bang Ammad selama ini hanya sekedar untuk mengekspresikan rasa sayangnya kepada Naila dan Nayra. Mungkin dia merasa
"Abang minta maaf karena kemarin tidak main ke sini. Kebetulan Abang sedang ada urusan di Banjarmasin. Ade tidak apa-apa, kan?" ujarnya ketika perempuan itu menaruh satu porsi nila goreng lengkap dengan sambal kesukaannya. "Tidak apa-apa, Bang. Lagian juga buat apa Abang minta maaf. Abang tidak punya salah apa pun," sahut Naila. "Terima kasih ya, De. Oh, ya, besok hari minggu. Ade dan Nayra mau nggak Abang ajak jalan-jalan lagi?" Naila hanya membalas dengan sebuah senyuman. "Ade tanya Nayra dulu ya." "Ya Allah ... semuanya tergantung dengan Nayra." Laki-laki itu tertawa kecil. Dia memulai ritual makan siangnya. Lembut dan gurih daging ikan nila goreng berpadu dengan sambal yang terasa pas di lidahnya. "Habis mau gimana lagi? Nayra itu putri Ade satu-satunya dan Ade tidak mau jalan bersama dengan seorang laki-laki yang tidak disukai oleh Nayra." "Iya
Pagi ini begitu cerah. Hanya sedikit awan yang memenuhi biru warna langit. Matahari bersinar, membiaskan rasa hangat hingga sampai ke hati. Naila sudah siap dengan gamis biru kesayangannya dengan di padu jilbab warna senada. Demikian juga Nayra. Sejak tadi ia sibuk berceloteh dan bertanya pada Naila, kapan om Ammad datang menjemput mereka. Sebuah mobil berhenti tepat di halaman rumah. Naila menengok ke depan. "Om ...!" pekik Nayra. Gadis kecil itu berlari menghampiri Ammad. Laki-laki itu mencondongkan badannya untuk merangkul tubuh mungil Nayra. "Apa kabar, gadis kecil Om?" tanyanya. Ia mengusap pipi "Baik, Om. Nayra kangen dengan Om. Udah beberapa hari tidak ke sini," ucapnya polos. Ammad tertawa. Dia mencubit hidung Nayra dengan gemas. "Om juga kangen Nayra. Sudah beberapa hari ini Om banyak pekerjaan,"" sahutnya.
Drrrt.. Naila menguap berkali-kali sebelum akhirnya membaca doa bangun tidur. Alhamdulillahil ladzii ahyaanaa ba'damaa amaatana wa ilaihin nusyuur.. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami sesudah mati (membangunkan kami dari tidur) dan hanya kepadaNya kami menyembah.. Sembari menyibak helai rambut yang menutupi wajahnya, Naila meraih ponsel. Sebuah nama yang sangat di kenalnya menghias layar ponsel. Naila mengerutkan dahi. [Sudah subuh, Ade. Bangun yuk] Ah, saat subuh seperti ini dia sudah memberikan perhatian. Benar-benar laki-laki yang baik! [Sudah bangun, Abang. Ade mau shalat subuh dulu ya] Naila meletakkan kembali ponsel ke samping bantalnya. Dia bergegas bangkit dan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berwudhu, dia kembali ke kamar. "Nayra."
Sesampainya di warung tempat kerjanya, Naila buru-buru melangkah masuk ke dalam warung. Suasana masih sepi. Hanya ibu Diana dan Kak Imah yang nampak sedang sibuk mengolah bahan mentah menjadi berbagai macam masakan untuk di jual nantinya. Warung ibu Diana buka dari pukul 09.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. "Nai," panggil ibu Diana. "Dari tadi ibu perhatikan, muka kamu cemberut saja. Ada apa, Nai? Apakah Nayra minta ayah baru lagi?" tanyanya sembari mengedipkan mata. Naila menggelengkan kepala. "Bukan, Bu. Naila cuma kesal dengan omongan orang. Padahal Nai nggak ngapa-ngapain dengan bang Ammad. Kalau lagi jalan, ya biasa aja. Bahkan jalannya juga sama Nayra. Kenapa orang-orang pada mikir yang enggak-enggak?" Dia menghembuskan nafasnya. "Ya wajar saja, Nai. Kamu kan janda. Jadi kalau kamu kelihatan dekat dengan laki-laki, orang-orang mikirnya ke situ. Ada hubunga
"Nai, apa sebaiknya kamu menikah saja dengan Ammad? Mama tidak enak nih dengan omongan para tetangga," ucap ibu. Naila menggelengkan kepala. "Tidak akan, Mama. Di samping Nai udah anggap dia saudara, bang Ammad itu statusnya suami orang." "Lagi pula, Bang Ammad juga nggak pernah bilang apa-apa sama Nai. Nggak ngasih kode-kode gitu." Naila tersenyum manis. "Tidak usah di ambil hati itu omongan tetangga," ucap Naila. Ibunya menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan kamu hidup sendiri, Nai?" Ucapan ibunya lebih mirip sebuah keluhan. "Sampai Allah mempertemukan Nai dengan jodoh Nai, karena jodoh itu tidak bisa di paksa, Mama." Naila benar-benar tidak habis pikir, kenapa semua orang di dekatnya menyuruh untuk segera menikah. Seakan pilihannya untuk hidup sendiri merupakan sebuah aib. [Abang] Naila mengetik pesan dengan netra yang basah [Ya, kenapa, Dek sayang?] [Kenapa semua orang sa
Tawa Naila pun berderai. "Habis mau bagaimana lagi, coba? Walaupun di jelaskan, mereka juga gak akan mengerti. Seperti orang-orang di sekeliling Ade juga. Kemarin saat kita ziarah ke makam abahnya si Nayra, malah ada yang mengira kita akan menikah. Kan sebel." "Setiap kali Abang berkunjung ke rumah, ada-ada saja komentar tetangga. Ya maklumlah Bang, Ade kan janda. Meskipun bukan keinginan Ade untuk menjadi janda." "Tidak seperti itu, Ade. Abang tak pernah menganggap Ade serendah itu." "Itu, Abang. Bagaimana dengan lainnya? Apakah mereka bisa mengerti? Dulu sebelum kenal Abang, banyak laki-laki yang mau dekat dengan Ade. Seringkali Ade tolak dengan cara halus. Bahkan ada beberapa yang sampai sakit hati karena di tolak Ade. Ujung-ujungnya malah menghina. Katanya, Ade terlalu pemilih lah, sok jual mahal lah, macam-macam itu, Bang," ucap Naila. "Tidak usah di dengarkan apa kata orang, sel
Sebuah getaran yang berasal dari ponsel sontak membangunkan tidurnya. Naila membuka mata, mengumpulkan segenap kesadaran yang masih tersisa. "Bang Ammad?" desah Naila. Ia termangu di atas tempat tidur dengan ponsel di dalam genggamannya. [Bangun, Ade. Udah mau subuh nih] [Iya, Ade sudah bangun, Bang] sahutnya. [Pagi ini Abang jadi berangkat ke Medan?] [Jadi dong.. Ade baik-baik di sini ya] [Iya. Abang ke bandara nanti sama siapa?] tanya Naila. [Abang di antar teman. Nanti sekalian dia bawa mobil Abang pulang ke proyek] [Oke Abang. Hati-hati di jalan ya] Naila menaruh ponselnya kembali ke atas bantal. Kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke luar kamar. Sementara sayup-sayup terdengar suara ayat-ayat Al Qur'an dari kejauhan, pertanda waktu subuh sebentar lagi akan tiba. Maha suci Dzat yang me