Fika"Mas, mas tahu enggak, tuh si Rina ternyata udah asik-asikan main belakang sama pria lain. Makanya ya, Mas nggak usah terlalu mengingat-ngingetin wanita itu lagi!" Aku memberi laporan. Ya iyalah wajar aku marah, sebab aku ingat betul Mas Ahmad terus saja menyebut nama Rina akhir-akhir ini. Harusnya tuh perhatian Mas Ahmad bukan sama Rina tapi sama aku yang lagi hamil anaknya. Harusnya dia manja-manjain aku. Ini buru-buru manjain, menyentuh aku aja semingguan ini kagak. Jadi aku akan membuat perhitungan padanya. Aku akan memberitahu apa yang sudah kulihat tadi biar dia tahu bagaimana perilaku buruk mantan istrinya.Mendengar perkataanku taKekecewaanku sama Mas Ahmad semakin bertambah saja.di spontan Mas Ahmad menoleh."Apa? Rina jalan sama pria? Yang bener aja?" Dia menatapku tajam."Ya iyalah, masa aku bohong! Aku melihat pakai mata kepala aku sendiri! Makanya aku kasih tahu Mas, wanita itu bener-bener nggak punya harga diri, Mas! Lihat belum lama kok kalian bercerai, dia udah
"Assalamualaikum"Aku menenggak ludah ketika laki-laki itu benar-benar datang. Bastian, dia benar-benar laki-laki yang nekat. Semula aku akan menyangka dia hanya akan datang seorang diri. Ternyata tidak.Sebab di belakangnya turut serta pula kedua orang tuanya dan. Laki-laki ini benar-benar nekat menemui kedua orang tua dan keluargaku. Semula Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini. Ini benar-benar di luar dugaanku.Dengan sedikit canggung aku mempersilahkan mereka untuk masuk. Sebenarnya aku tak enak dengan keluarganya yang jelas-jelas adalah orang-orang berada. Sedangkan aku adalah seorang perempuan biasa yang kukira tak punya kelebihan yang mencolok. Terlebih dengan statusku, jadi sedikit membuatku malu. Syukurlah kedua orang tuaku cukup baik dalam meladeni pembicaraan mereka. Kedua orang tuaku sama sekali tidak terlihat sanggup, jadi aku tak perlu bicara terlalu banyak. Hanya sesekali saja ketika itu memang diperlukan. Hingga tibalah saatnya mereka berbicara ke topik utama.
Melihat nama yang tertera pada papan bunga tersebut, membuat duniaku seakan-akan runtuh. Ini seperti mimpi. Aku mencoba mencubit tanganku."Awww!" Ini sakit. Artinya aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata.Aku tidak pernah membayangkan jika Rina bersanding dengan pria lain. Jelas-jelas aku tidak bisa terima itu. Rina milikku, aku tidak rela melihatnya jatuh ke pelukan laki-laki lain. Lagi pula ini baru beberapa bulan saja, Rina! Kita baru saja berpisah. Tapi meskipun kami sudah berpisah, tahukah kamu kalau sesungguhnya dalam hatiku masih sangat mencintaimu Rina!Tapi aku belum bisa percaya. Aku akan memastikan terlebih dahulu, apakah yang sedang melangsingkan acara pernikahan ini benar-benar dia, atau ada Rina yang lain. Setidaknya aku harus mengecek kebenarannya dengan mata kepalaku sendiri terlebih dahulu.,Dengan serta merta aku berjalan menyusuri jalanan yang sudah disediakan. Aku pedulikan lagi arahan para petugas yang sedang berjaga. Aku berjalan menerobos dengan ce
"Mas, aku mau sholat dulu, ya!" Aku bicara pada Mas Ahmad dalam balutan mukena yang melekat manja di tubuh langsingku ini."Oh iya, tuh bilang sama Mbak Rina, jangan malas sholat. Ntar berdosa," sambungku lagi."Kamu tahu sendiri, Dek, si Rina itu paling gak bisa dibilangi. Nggak kayak kamu yang alim, rajin solat. Rina itu kebalikannya," jawab Mas Ahmad. "Itulah sebabnya Mas lebih percaya sama kamu yang ngedidik anak-anak, Dek. Kalo Rina mah nggak bakalan bisa kasih pendidikan yang layak sama anak,"Aku meringis tipis mendengarnya."Iya, Mas. Tadi aku udah mandiin anak-anak. Mereka udah rapi dan tertidur sekarang," jawabku."Makasih, Sayang!"Sebenarnya, mengurus Ririn dan Aldi, dua anak Mas Ahmad dan Mbak Rina adalah aktivitas yang membosankan. Tapi tak apa, demi mengambil hati suami, aku rela. Aku bisa tunjukkan kalau aku adalah ibu yang baik untuk anak-anak.Sesaat setelah kami bicara, Mbak Rina lewat di depanku. Ih bikin ilfil aku aja. Makhluk gemuk, bulat, berlemak itu membuatk
"Rina, kenapa kamu harus bicara begitu sama Fika. Bersikap baiklah sama dia, liat, Fika udah bela-belain ngurusin anak kita, Harusnya kamu berterima kasih sama dia!" Mas Ahmad membelaku. Memang benar apa yang dikatakan oleh Mas Ahmad. Mengurus 2 anak mereka bukanlah hal yang mudah. Seharusnya Mbak Rina memang bersyukur punya adik madu sebaik aku. Atau mungkin dia cemburu ya melihat kedekatanku sama Mas Ahmad? Ha ha... Tubuhnya yang bontel mirip karung goni itu tidak akan bisa berbuat banyak untuk menarik perhatian Mas Ahmad."Mbak, aku kan bawa Mas Ahmad ke kamar kamu, jadi nggak permisi juga nggak masalah," aku mengelak. Kan emang aku nggak salah toh. Lagi pula nggak ada barang yang berharga-berharga amat di kamarnya yang sempit ini. Jadi apa yang ingin ia sombongkan? Aku saja yang kamarku lebih luas dan bagus tidak sesombong itu sampai harus minta izin segala macam. Halah lagi-lagi tak apa lah dia mau bersikap begitu, toh pada kenyataannya Mas Ahmad jauh lebih mencintaiku dari pa
Aku liat Mas Ahmad mulai melirik ke arah Mbak Rina dengan tatapan tak suka. Mungkin saja Mas Ahmad ingin memberitahu Mbak Rina jika apa yang telah dilakukan perempuan itu tak benar. Mbak Rina memang tak pernah bisa bikin kedamaian. Tindakannya selalu saja memicu suasana keruh dan kacau. Kalau dipikir-pikir aku lebih suka jika dia enyah saja dari rumah ini. Tapi entahlah, karena tak tahu malu Mbak Rina masih saja kekeuh untuk tetap tinggal di rumah ini. Aku menghela nafas."Mas, nggak usah marahin Mbak Rina, ya! Walau gimanapun aku udah maafin dia," aku tersenyum menatap Mas Ahmad.Mas Ahmad menghembus nafas kasar. "Beruntung kamu punya adik madu seperti Fika! Kalau nggak, aku nggak tahu apa yang akan terjadi!" suara Mas Ahmad terdengar agak kesal.Mas Ahmad memang selalu lengket padaku. Terhitung sudah 3 bulan kami menikah, selama itu pula tak pernah dia bisa memarahiku. Dia bilang aku istri pilihan terbaik yang pernah ia miliki. Bangga memang bisa menjadi kebanggaan seorang suami.
Aku menghampiri Mas Ahmad. Eh, di depan kamar aku kembali berpapasan dengan wanita buntalan lemak ini. Wangi semerbak menembus hidung. Apa sekarang dia sudah mulai mengenal parfum? Wiih, ada kemajuan apa ini? Apa dia mau mencoba menjadi sepertiku?"Mbak, mau kemana?" Spontan aku bertanya ketus."Kenapa?" Dia malah bertanya balik. Aneh bin ajaib, itulah wanita ini. Kenapa dia selalu terlihat santai begitu? Apa dia sudah lupa kalau tadi baru saja bertengkar denganku. "Mbak, kalo mau keluar rumah nggak usah pake parfum. Dosa hukumnya!" Tegurku. Sengaja aku menaikkan sedikit volume suaraku. Supaya Mas Ahmad mendengar apa yang aku katakan. "Oh, begitu ya? Terimakasih ya, atas wejangannya. Jangan lupa, terapin juga untuk diri sendiri," Ih, j*jik aku mendengar jawabannya. Apalagi dia berucap seperti itu sambil tersenyum pula. Terlihat seperti dia sedang menghinaku. Aku tahu, ucapan terimakasih yang dia katakan hanyalah salah satu cara yang ia lakukan agar bisa menarik perhatian Mas Ahmad
Aku benar-benar terkejut. Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya jika Mbak Rina akan mendengar perkataanku. Aduh jangan-jangan dia juga mendengar ketika tadi aku menyarankan Mas Ahmad untuk memulangkannya ke rumah ibunya? Untungnya sepertinya Mas Ahmad paham akan kegelisahanku. Aku lihat laki-laki tersebut dengan cepat menghampiri Mbak Rina, dan menarik perempuan tersebut menjauh dariku. Rupanya Mas Ahmad membawa Mbak Rina ke kamarnya. Aku tidak tahu apa yang akan Mas Ahmad lakukan terhadap Mbak Rina, tapi kali ini alangkah lebih baiknya jika aku membiarkannya terlebih dahulu. Aku tahu Mas Ahmad akan menenangkan perempuan tersebut, suamiku tidak akan membuatku menjadi sasaran kemarahan istri pertamanya itu.***Di kamar yang tidak terlalu besar, Ahmad mengajak Rina untuk bicara dengan cara yang hati-hati. Laki-laki itu tahu bahwa istri pertamanya tersebut tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia juga tahu jika apa yang telah diucapkan oleh Fika tadi telah menyakiti hati Rina. Ol