Aku liat Mas Ahmad mulai melirik ke arah Mbak Rina dengan tatapan tak suka. Mungkin saja Mas Ahmad ingin memberitahu Mbak Rina jika apa yang telah dilakukan perempuan itu tak benar. Mbak Rina memang tak pernah bisa bikin kedamaian. Tindakannya selalu saja memicu suasana keruh dan kacau. Kalau dipikir-pikir aku lebih suka jika dia enyah saja dari rumah ini. Tapi entahlah, karena tak tahu malu Mbak Rina masih saja kekeuh untuk tetap tinggal di rumah ini. Aku menghela nafas."Mas, nggak usah marahin Mbak Rina, ya! Walau gimanapun aku udah maafin dia," aku tersenyum menatap Mas Ahmad.Mas Ahmad menghembus nafas kasar. "Beruntung kamu punya adik madu seperti Fika! Kalau nggak, aku nggak tahu apa yang akan terjadi!" suara Mas Ahmad terdengar agak kesal.Mas Ahmad memang selalu lengket padaku. Terhitung sudah 3 bulan kami menikah, selama itu pula tak pernah dia bisa memarahiku. Dia bilang aku istri pilihan terbaik yang pernah ia miliki. Bangga memang bisa menjadi kebanggaan seorang suami.
Aku menghampiri Mas Ahmad. Eh, di depan kamar aku kembali berpapasan dengan wanita buntalan lemak ini. Wangi semerbak menembus hidung. Apa sekarang dia sudah mulai mengenal parfum? Wiih, ada kemajuan apa ini? Apa dia mau mencoba menjadi sepertiku?"Mbak, mau kemana?" Spontan aku bertanya ketus."Kenapa?" Dia malah bertanya balik. Aneh bin ajaib, itulah wanita ini. Kenapa dia selalu terlihat santai begitu? Apa dia sudah lupa kalau tadi baru saja bertengkar denganku. "Mbak, kalo mau keluar rumah nggak usah pake parfum. Dosa hukumnya!" Tegurku. Sengaja aku menaikkan sedikit volume suaraku. Supaya Mas Ahmad mendengar apa yang aku katakan. "Oh, begitu ya? Terimakasih ya, atas wejangannya. Jangan lupa, terapin juga untuk diri sendiri," Ih, j*jik aku mendengar jawabannya. Apalagi dia berucap seperti itu sambil tersenyum pula. Terlihat seperti dia sedang menghinaku. Aku tahu, ucapan terimakasih yang dia katakan hanyalah salah satu cara yang ia lakukan agar bisa menarik perhatian Mas Ahmad
Aku benar-benar terkejut. Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya jika Mbak Rina akan mendengar perkataanku. Aduh jangan-jangan dia juga mendengar ketika tadi aku menyarankan Mas Ahmad untuk memulangkannya ke rumah ibunya? Untungnya sepertinya Mas Ahmad paham akan kegelisahanku. Aku lihat laki-laki tersebut dengan cepat menghampiri Mbak Rina, dan menarik perempuan tersebut menjauh dariku. Rupanya Mas Ahmad membawa Mbak Rina ke kamarnya. Aku tidak tahu apa yang akan Mas Ahmad lakukan terhadap Mbak Rina, tapi kali ini alangkah lebih baiknya jika aku membiarkannya terlebih dahulu. Aku tahu Mas Ahmad akan menenangkan perempuan tersebut, suamiku tidak akan membuatku menjadi sasaran kemarahan istri pertamanya itu.***Di kamar yang tidak terlalu besar, Ahmad mengajak Rina untuk bicara dengan cara yang hati-hati. Laki-laki itu tahu bahwa istri pertamanya tersebut tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia juga tahu jika apa yang telah diucapkan oleh Fika tadi telah menyakiti hati Rina. Ol
"Nggak, Mas! Aku nggak akan ngeluarin uang lagi untuk kebutuhan rumah tangga kita dalam bentuk apapun."Ahmad terdiam, teramat susah baginya untuk membujuk Rina. "Kalau emang keputusan kamu sudah bulat, ya aku mau bilang apa. Sebenarnya ya aku juga kasihan sama Fika, dia capek urusin semua pekerjaan rumah. Rumah tangga ideal harusnya saling bekerjasama. Tadinya aku pikir kamu juga akan berpikir begitu," ujar Ahmad pelan."Mas, sebelumnya aku juga mengerjakan semuanya sendiri. Bahkan aku juga myambi cari uang juga buat nafkahi keluar kita. Jadi kurasa tak apalah kalau Fika mengerjakan semua pekerjaan rumah. Toh dia hanya mengerjakan itu. Aku juga nggak maksain dia untuk ikut cari nafkah." Ahmad kembali tak bisa berkata apa-apa untuk menanggapi ucapan Rina. Sedangkan Rina tak terlalu ambil pusing dengan reaksi Ahmad. Dalam benaknya masih ternganga luka yang di sebabkan itu pria itu. Ahmad yang menikahi Fika secara diam-diam yang telah menoreh luka tersebut. Sebelum semuanya terkuak d
"Mas mau tidur di kamar Mbak Rina?" Aku beratanya untuk memastikan bahwa apa yang dia katakan barusan tidak salah.Tapi jawabannya sungguh di luar ekspektasi."Iya, Sayang. Satu malam ini aja. Kamu nggak marah, kan?"Hampir saja aku menangis dibuatnya. Sampai hati Mas Ahmad ingin membiarkan aku tidur sendiri. Sedangkan dia mau mesra-mesraan sama Mbak Rina. Ya Rabb, apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?"Sayang, kamu kenapa diam aja? Kamu nggak apa-apa, kan?" dia mengelus pipiku.Aku sebenarnya ingin terisak. Air mata ini mulai ingin jatuh dari persembunyiannya. Tapi aku tidak ingin membuat Mas Ahmad kehilangan simpati hanya karena tingkah cengengku. Demi itu, aku membendung air mataku sekuat mungkin."Mas sungguh mau tidur sama dia? Bagaimana kalau Mbak Rina masih marah? Dia kan baru aja marah sama kita," pelan-pelan aku berucap. Aku tidak ingin membuatnya menilaiku buruk hanya karena aku tak menyetujui kehendaknya. "Kamu nggak usah terlalu khawatir. Insyaallah mas bisa men
Bab 8Pov Rina Tak bisa aku menahan tawa ketika melihat reaksi Fika. Terlihat sekali dia cemburu akibat perkataanku barusan. Meskipun dia mengatakan tak ada kecemburuan, aku tahu itu hanya satu kebohongan.Mungkin dia pikir aku tak mendengar kata-kata yang ia ucapkan ketika sendirian tadi. Padahal aku tahu semua tindak-tanduknya, karena sejak tadi aku ada di sini dan melihat tingkahnya yang menangis tergugu bak anak kecil, hanya karena Mas Ahmad mau tidur bersamaku. Ha ha... Ini sangat lucu. Ia cemburu padaku yang notabene merupakan istri pertama si Ahmad. Padahal aku tidak meminta Mas Ahmad untuk datang, sama sekali aku tak mengharapkannya. Tapi Ahmad sendirilah yang tiba-tiba datang padaku.Tapi, ketika melihat tingkah Fika, terbersit juga rasanya untuk membuat Fika lebih tersiksa lagi karena sakit hatinya. Apalagi ketika aku mengatakan jika Ahmad berencana mengajakku ke puncak, kulihat raut mukanya merah padam. Fika, Fika, aku mau liat, gimana lagi cara yang akan dia lakuin unt
Bab 9Fika Dengan perasaan jijik aku mengelap semua kotoran yang tadi sempat berceceran di lantai. Ini sangat bau, ya ampun. Aku berkali-kali hampir muntah di buatnya.Sial*n, ini semua gara-gara Mbak Rina. Kenapa tadi nggak dia saja yang kemari, bukan aku! Rasanya kesal sampai ke ubun-ubun. Bisa-bisanya dia bersantai ria terlelap di kamarnya, sedangkan aku berjuang mengurus wanita tua bangka ini sendirian.Seandainya kalau dia masih mempunyai pikiran yang baik, tak apa kalau dia tidak mau mengurus mertuanya, tapi setidaknya dia mau membantuku sedikit saja, tapi ini tidak, dia benar-benar egois. Bisa dikatakan semalaman ini aku tak bisa tidur karena menjaga ibu mertua. Mataku terasa berat sekali. Mas Ahmad hanya sesekali membantuku, ambil air minum misalnya. Selain itu aku juga tidak terlalu menuntutnya untuk membantu terlalu jauh. Sebab meskipun ini berat, ini merupakan salah satu caraku untuk menunjukkan kepada ibu mertua bahwa aku adalah wanita yang pantas untuk menggantikan Mbak
Bab 10Mau tidak mau aku harus mengerjakan bejibun pekerjaan di rumah mertuaku. Piring kotor bertumpuk di westafel, cucian juga menggunung di samping mesin cuci. Ini sungguh bukan pemandangan yang menarik. Haduh, memandangnya saja bisa membuatku lelah, apalagi harus mengerjakan semuanya. Apalagi semalaman aku tidak merasakan tidur yang cukup. Bisa sakit aku kalau terus menerus begini. Tapi aku sama sekali tak punya pilihan lain selain dari menyelesaikan semua pekerjaan menyebalkan tersebut."Sayang, kamu udah beres-beres rupanya, ternyata istri cantikku emang ini rajin banget. Tapi sayang, jangan terlalu capek ya. Jaga kesehatan. Sini, mas bantu kamu buat jemur bajunya," Mas Ahmad menawarkan bantuan.Ketika mendengar penawaran tersebut, seketika rasa lelah yang kurasakan berkurang. Mas Ahmad memang menaruh perhatian lebih padaku. Padahal sejauh yang aku tahu, laki-laki ini tidak pernah membantu istri pertamanya dalam hal-hal seperti ini. Aku memang spesial buat dia.Ini sebagai sala