Malam menjelang, Selina masih belum keluar juga untuk makan malam. Ummi Sarah mencoba memberanikan diri memanggilnya sementara itu Ustaz Bashor sedang mengajar Alquran di masjid.
“Selina! Makan malam dulu Sayang!”
Ummi Sarah mengetuk pintu kamar berbahan kayu jati Jepara dengan pelan. Namun Selina masih tak merespon.
“Duh, Selina jangan kayak gitu …” batin Ummi Sarah.
“Assalamualaikum!” sapa Ustaz Bashor tatkala masuk rumah.
“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Ummi Sarah.
“Bagaimana Selina sekarang?” tanya Ustaz Bashor melirik pintu kamar Selina yang menutup dari sore.
“Ya, seperti yang Abah lihat, belum dibuka, Selina juga gak nyahut dipanggil. Ya Allah, anak ini keras kepala … bagaimana mau menjelaskan duduk perkara, berbicara saja tidak mau,” gerutu Ummi Sarah.
“Sudahlah, Ummi biarin dulu dia sendiri, mungkin dia butuh waktu buat nenangin diri. Mudah-mudahan rasa kecewanya takkan lama dan dia pasti akan bertanya. Kalau perlu Abah akan panggil psikolog atau psikiater buat Selina agar dia bisa mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Abah ngerti ini situasi yang sulit baginya,”
Ustaz Bashor menghela nafas panjang. Dalam hati dia sangat mengkhawatirkan Selina saat ini. Namun, seperti biasa dia pandai menutupinya di depan sang istri khawatir cemburu karena dia lebih menyayangi Selina daripada anaknya yang lain. Alasannya karena Selina telah mengalami nasib malang dalam hidupnya.
“Tapi dia jadi gak makan malam. Sekarang pasti lapar. Ummi gak mau sampe dia kelaparan terus dibawa ke rumah sakit lagi,” tukas Ummi Sarah.
“Kalau lapar pasti dia pergi ke dapur, Ummi. Manusia bisa tahan gak makan sampe berminggu-minggu. Asalkan jangan sampe gak minum aja,”
“Ada dispenser sih di kamarnya,”
“Ya udah kalau gitu, jadi jangan terlalu khawatir. Tenang Ummi, pasti semua akan kembali normal lagi seperti sedia kala,”
“Ya udah, Abah aja yang makan dulu,” ucap Ummi
Sarah.
“Adam?”
“Adam belum pulang Abah,” sahut Ummi Sarah.
Ustaz Bashor dan Ummi Sarah pun makan makanan yang sudah disajikan oleh ART di atas meja. Meskipun menu makan malam ini lezat, sate madura dengan saus kacang yang kental tapi bagi lidah mereka terasa hambar mengingat mereka senantiasa menikmati makan malam bersama. Dan malam ini Selina tidak ikut makan bersama.
Tak lama kemudian terdengar suara motor sport Adam yang meraung di halaman rumah.
“Bah, Adam udah pulang … Ummi kok jadi deg-degan,” ucap Ummi Sarah menaruh bekas tusukan sate ke atas piring. Dari tadi dia hanya mampu memakan dua tusuk sate tanpa nasi, itupun sembari sedikit melamun seperti seorang anak kecil yang kehilangan nafsu makannya.
“Tenang aja Ummi, Adam sekarang sudah jauh lebih baik, dia cukup bisa mengendalikan emosinya,” kata Ustaz Bashor menenangkan.
“Enak ya kalau jadi lelaki. Lelaki selalu mengedepankan logika sedangkan perempuan selalu saja pake perasaan,” desis Ummi Sarah.
“Gak gitu juga Ummi, menjadi lelaki dan perempuan bukanlah perbandingan dan pilihan. Keduanya sama, gak ada yang lebih enak satu sama lain,”
“Assalamualaikum …” ucap Adam sembari menguak daun pintu rumah. Dia menaruh helm fullface ke atas meja dan lantas berjalan menuju ruang makan di mana Ustaz Bashor dan Ummi Sarah berada sembari menenteng sebuah kantong kresek hitam.
“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Ustaz Bashor dan Ummi Sarah serempak. Adam langsung mengecup punggung tangan kedua orangtuanya dengan takzim.
“Mana Selin?” tanya Adam.
“Masih di kamar mengurung diri,” jawab Ummi Sarah. Adam pun langsung berjalan menuju kamar Selina dan mengetuk pintu kamarnya.
“Selina, Aa bawa martabak bangka kesukaanmu, makan yuk!” kata Adam di depan pintu kamar Selina. Adam rupanya berusaha membujuk sang adik.
Selina tidak tidur, dia menyimak perbincangan yang terjadi di luar kamarnya. Dia juga mendengar suara Adam. Namun hatinya masih sangat bersedih sehingga membuatnya merasa benar-benar terpuruk. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya kali ini. Dunia seolah tak berpihak padanya. Selama ini dia menjalani kehidupan normal dan penuh dengan corak kebahagiaan. Namun tiba-tiba sebuah hantaman besar datang mendera, memporak-porandakannya seketika. Saking merasa terpuruk dia tak sanggup berkata apa-apa.
“Adam, biarin Selina istirahat dulu,” ucap Ummi Sarah menepuk bahu Adam dari arah belakang.
“Tapi sampai kapan? Ummi, aku hanya takut kalau Selina tidak mau makan sama sekali, nanti dia bisa sakit,”
“Emang dia tidak makan, tapi insyaallah dia tidak apa-apa, nanti juga keluar kamar,” kata Ummi Sarah menenangkan. Padahal dalam hatinya dia juga tak kalah khawatir.
Adam pun kembali ke ruang makan untuk menyantap makan malam.
“Martabak buat Abah dan Ummi aja. Aku kira dia bisa dibujuk makan martabak,” ucap Adam enteng.
“Iya, niatmu sudah bagus. Tapi jika kamu yang mengalami kejadian seperti Selina, tentu kamu juga seperti dia, boro-boro mikirin makan, ah bahkan kamu mungkin lebih reaksioner,” timpal Ustaz Bashor sembari menarik kantong kresek berisi martabak.
“Gimana tadi sudah ketemu dengan Aqsa?” telisik Ummi Sarah.
“Udah, Ummi. Awalnya sih aku kecewa sama Aqsa, Ummi. Tapi ternyata bukan salah dia tidak melanjutkan taaruf. Kedua orangtuanya butuh waktu menerima Selina. Mungkin, ya, menurutku mereka berharap jika Selina itu anak kalian, tapi ternyata anak adopsi. Wajar sih mereka kaget,” papar Adam sembari menyendok nasi dalam piring berbahan melamin. Ummi Sarah dan Ustaz Bashor hanya sesekali saling melempar pandang. Mereka berharap Adam tidak mengetahui siapa jati diri ibundanya Selina. Mungkin Aqsa bersikap bijak tidak menceritakan hal tersebut.
“Makanya, jangan asal marah-marah! Nanti malah jadi salah paham. La taghdob walakal Jannah (janganlah marah maka bagimu surga). Kata Rasul, jangan marah-marah … kamu tidak bertanya dulu pada kami,” nasehat Ustaz Bashor.
“Benar apa kata Abah, Adam. Marah adalah luapan emosi yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Kamu belum apa-apa udah emosian, suudzon lagi …” timpal Ummi Sarah mendorong piring berisi lalapan ke dekat Adam.
“Iya, Abah, Ummi, aku ngerti kok. Alhamdulillah, Allah menjaga emosiku. Kalau tidak mungkin aku sudah menghajar si Aqsa sampe babak belur,”
“Hus! Kalau ngomong jangan sembarangan … kayak preman aja, kalau santri Abah dengar malu-maluin,” sergah Ummi Sarah.
“Apa yang kamu lakukan saat marah Adam? Apakah kamu masih ingat apa yang Abah ajarkan?” ucap Ustaz Bashor.
“Masih ingat Abah, baca ta’awudz, berwudhu ...” jawab Adam.
“Baguslah kamu masih ingat,
Rasulullah bersabda: "Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta'awudz: A-'uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).”
“Ya mulai lagi deh ceramah,” batin Adam.
“Kadang teori sama praktik sulit Abah. Abah kayak nggak pernah merasa muda aja. Anak muda wajar emosian Abah,” cerocos Adam.
“Tidak ada pembenaran untuk itu Adam. Mau muda atau tua dianjurkan untuk menahan emosi. Bukan berarti tidak boleh marah tapi kita sebaiknya mengendalikan amarah kita dengan benar, jangan sampai amarah kita yang mengendalikan logika kita sehingga menyebabkan melakukan tindakan konyol,” papar Ustaz Bashor berusaha bijak.
“Terus jadi kelanjutannya apa?” tanya Ummi Sarah mengganti topik.
“Aqsa meminta waktu agar dia bisa memberi pengertian pada kedua orangtuanya …”
“Memberi waktu apa?” telisik Ummi Sarah.
“Sebentar …”
Glek, glek, glek
Adam meminum air putih.
“Aqsa tetap ingin menikahi Selina. Saat ini dia meminta waktu saja agar bisa memberi pengertian pada kedua orangtuanya agar mau menerima Selina sebagai calon menantunya. Ummi dan Abah tahu? Bahkan Aqsa sudah mempersiapkan segalanya …”
“Segalanya?” cicit Ummi Sarah.
“Iya, Aqsa sudah menyiapkan mahar berlian dan sudah membangun rumah mewah buat Selina … sebagai bentuk keseriusannya. Bagaimana menurut kalian?”
“Abah masih belum yakin Nak. Buat sementara Abah tidak mau ambil pusing soal jodoh, saat ini Abah hanya ingin berfokus pada persoalan Selina,”
“Ummi juga setuju dengan Abah, kita tunda dulu soal jodoh. Jodoh sudah ditentukan di lauhul mahfudz oleh Allah. Kita fokus pada apa yang dialami dan dirasakan Selina saat ini,” timpal Ummi Sarah.
“Baiklah, Ummi dan Abah, benar apa kata kalian. Tapi setidaknya, aku yakin jika Selina tahu soal ini maka dia akan sedikit terhibur. Selina menyukai Aqsa,” jelas Adam.
“Sepertinya kita harus hubungi Hawa, Abah. Mudah-mudahan Hawa bisa membujuk Selina. Ya, karena mereka sangat dekat dan sama-sama wanita,” ucap Ummi Sarah saat melirik ke dinding di hadapannya. Ada sebuah frame raksasa yang menampilkan foto keluarga besar Ustaz Bashor.
“Nah, itu dia. Benar apa kata Ummi, Abah. Aku akan segera menghubungi Teh Hawa,”
“Jangan!” kata Ustaz Bashor.
“Lah kok jangan?” sergah Ummi Sarah heran. Kalau bukan Hawa siapa lagi yang bisa membujuknya. Selina sudah terlanjur kecewa pada mereka.
Bersambung,
“Kamu jangan menelpon Teh Hawa. Kamu harus menelpon suaminya,” sahut Ustaz Bashor."Benar yang dikatakan Abah, Adam," ucap Ummi Sarah. Dia lupa jika Fadel suami Hawa begitu posesif sehingga untuk meminta izin keluar saja, ke rumah orang tuanya harus memintanya dengan merajuk.“Teh Hawa nanti pasti minta ijin suaminya Abah,” kata Adam."Baiklah, Abah yang telepon," tukas Ustaz Bashor.Perbincangan soal Selina terus dilakukan. Adam diminta untuk menjemput Hawa agar bisa membujuk dan menasehati Selina.Sementara itu Selina bangun dari tempat tidur dan duduk dengan memeluk kedua tangannya. Tubuhnya lemah seiring dengan tangisannya yang mengering. Beberapa kali Shiza menelponnya tapi dia tidak mengangkatnya. Selina seolah lupa akan perasaannya pada Aqsa. Yang dia pikirkan ialah mengapa Tuhan menakdirkannya untuk terlahir ke dunia ini dari rahim seorang wanita malam yang benar-benar jauh dari pikirannya selama ini. Dia pun akhirnya ketiduran karena lelah setelah menangis terus menerus hingg
“Mau ketemu siapa Mas?” tanya seorang bidan junior yang masih magang.“Bilangin aja Adam datang,” ucap Adam super singkat pada bidan yang masih sangat muda itu. Di hadapan wanita dia begitu terlihat ketus dan sangar. Namun sikapnya yang seperti itu malah menjadi magnet tersendiri yang menarik para gadis. Bidan itu malah salah tingkah melihat Adam yang mempesona.“Keluarga pasien Mas?”“Bukan, adiknya Bu Hawa …” jawab Adam kesal.“Adiknya Bu Hawa? Maaf aku kira keluarga pasien,” ucap bidan itu sembari terus tersenyum. Adam masih memasang wajah datar dan malah kesal mendengar ocehan bidan itu.“Mas Adam, kenapa gak langsung naik ke atas aja?” tawar bidan itu sembari memainkan jemari tangannya, tak bisa diam.“Nggak, aku nunggu di sini,” balas Adam langsung duduk di ruang tunggu bergabung dengan para keluarga pasien yang baru saja melahirkan.“Istrinya lahiran juga?” tanya pria seumuran Adam di sebelahnya.Dahi Adam langsung berkerut. “Enggak,” jawabnya singkat.Bidan itu pun langsung be
Akhirnya Selina keluar dari kamarnya setelah mendengar panggilan Hawa. Dia langsung menghambur memeluk Hawa dan Hawa pun langsung membalas pelukannya. Baik Adam dan Hawa, keduanya menyayangi Selina seperti menyayangi adik kandung sendiri meskipun mereka tahu jika Selina anak adopsi.‘Menangislah adikku! Menangislah jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Lepaskanlah beban itu! Kamu harus yakin bahwa tak ada beban tanpa pundak!”Hawa mengajak Selina berbincang di kamarnya. Dia meminta Selina untuk menceritakan perasaannya saat ini.Mereka berdua duduk di tepi ranjang dan saling menatap penuh sendu.“Maaf, Teh, aku benar-benar syok mendengar semua ini. Rasanya ada sebuah batu meteor yang menghantam kepalaku. Rasanya sakit, sakit sekali …”Selina mengadu, mencoba mengungkapkan apa yang dirasakannya sembari terisak.“Iya, Selin, Teteh ngerti apa yang kamu rasakan …” kata Hawa penuh penekanan tapi keibuan.“Jadi … Teteh sudah tahu? Aa Adam juga sudah tahu? Cuma aku yang tidak tahu?”Sel
Selina kecil terus menangis saat itu seolah memberikan sinyal yang buruk tentang ibunya.“Ummi, kenapa anak ini menangis terus sih?” tanya Ustaz Bashor.“Ya kepengen nyusu Abah,” jawab Ummi Sarah sembari menimang-nimang bayi itu dalam pangkuannya. Dia sebetulnya kesal dengan sikap Ustaz Bashor yang tiba-tiba menerima tamu tengah malam tapi mau tidak mau rasa iba mengabaikannya. Dia kasihan melihat bayi itu.“Kok lama amat sih Dewi. Apa dia nyasar?” gumam Ustaz Bashor.“Abah, susul coba ini bayi malah terus menangis, kasihan. Mana Hawa dan Adam lagi tidur pulas lagi nanti mereka ikut bangun, Ummi yang kewalahan,” cerocos Ummi Sarah.“Iya, Ummi, maafin Abah. Abah mau nyusul dulu Dewi,” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Ustaz Bashor langsung keluar mencari Dewi ke arah masjid, ke toiletnya.“Dewi!” panggilnya di luar toilet masjid.Ustaz Bashor pun berjalan menyisiri seluruh bagian toilet karena pintu-pintu toilet semua terbuka berati tidak ada orang di dalam. Kobong-kobong p
Ummi Sarah kaget minta ampun tatkala mendengar perkataan Selina yang mencengangkan soal dia akan mencari ibu kandungnya.“Bukan ide bagus …” timpal Adam sembari mendelik pada Ummi Sarah.“Kenapa?” tanya Hawa yang lebih terlihat santai.“Gak usah, Selin. Lupakan soal dia, kamu jangan coba-coba pergi ke sana. Dunia malam sangat berbahaya. Jangan sampai kita menginjakan kaki di tempat laknat itu …” sergah Adam yang jelas-jelas menolak permintaan Selina.“Jika ibu kandungku terpaksa menjalani kehidupan gelap di sana karena paman dan bibi mereka, maka aku akan membawanya kembali pada kehidupan normal. Aku akan membawa ibu bersamaku …”Selina menyeka air matanya dan berkata dengan mantap.“Tapi Selin … kami tidak tahu di mana dia berada …” ucap Ummi Sarah.“Jika ibuku terjebak dalam dunia kelam, aku sebagai anak sudah sepatutnya untuk mengembalikannya pada jalan yang benar. Aku ingin seperti nabi Ibrahim yang berusaha keras mengingatkan ayahnya agar tidak menyembah berhala. Aku pun akan me
“Iya, kamu! Siapa lagi? Kenapa kamu datang terlambat? Ini sudah telat hampir setengah jam. Kamu dari mana saja?” kata Selina bernada geram. Dia lupa kalau dia sedang berpuasa sunnah senin-kamis hari itu.“Macet,” ucap murid itu singkat.“PR-mu? Taruh di atas meja!”“Lupa, gak kebawa,” jawabnya lagi singkat sembari melengos begitu saja menuju bangku kosong miliknya.‘Murid tidak sopan’ batin Selina.Semua murid pun saling pandang. Mereka mengira jika Selina akan memarahi murid lelaki yang bernama Ruri itu. Namun dugaan mereka keliru, guru mereka yang dikira akan marah malah memilih diam dan melanjutkan pelajaran. Selina hanya mendengus kesal dan langsung meraih buku paket miliknya.“Jadi apa yang dimaksud Frasa?” tanya Selina kembali.“Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang menjadi satu kesatuan,” jawab murid lelaki yang duduk di sebelah Ruri.“Betul. Semua jawaban kalian betul. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan tapi tidak membentuk arti bar
“Kamu tak tahu siapa Ruri?” gertak kepala sekolah bernama Wijaya bernada geram. Beberapa helai kumis tipisnya tampak bergetar. Saking geram dia memanggil Selina bukan lagi dengan panggilan ‘Ibu’ sebagaimana panggilan pada seorang guru tapi ‘kamu’. Di sanalah tampak kesombongan itu hadir, ketika adab dan ilmu tak berimbang. Seharusnya kepala sekolah mampu mengendalikan emosinya. Tak sepatutnya dia memperlakukan Selina seperti itu. Meskipun Selina masih muda dan seumuran anaknya tetap saja dia adalah seorang guru yang harus dihormati. “Maaf, maksud Bapak apa ya?”Selina tak terima mendengar ucapan Wijaya yang tidak tahu apa-apa tapi bersikap seolah tahu apa yang terjadi sebenarnya.“Ruri adalah cucu kakak saya yang berarti cucu saya. Kakak saya orang berpengaruh di dinas pendidikan,” ucap Wijaya dengan bangga.“Terus apa hubungannya dengan izin cuti saya dan urusan Ruri?” tanya Selina kesal. Rasanya dia ingin mengamuk pada kepala sekolah yang terkenal arogan itu, mencakar wajahnya deng
Tok, tok, tok,Shiza mengetuk daun pintu ruang kerja Aqsa yang berada di lantai dua tak jauh dari kamarnya.“Masuk!”Terdengar Aqsa menyuruh Shiza masuk. Shiza pun menjentikkan jari telunjuknya untuk mendorong daun pintu yang memang sedikit terbuka.“Aku ganggu gak Mas?” tanya Shiza mengedarkan pandangannya. “Nggak, sini masuklah! Ada apa?”Aqsa menoleh ke arah adiknya yang sedikit ragu. Shiza pun memberanikan diri mendekati sang kakak. Aqsa yang tengah sibuk berada di depan layar laptop langsung memutar kursi kerjanya dan menatap adiknya yang lebih memilih duduk di kursi berbahan linen lain berhadapan dengannya.“Mas Aqsa, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa setelah Mas Aqsa datang ke rumah Selina, Selina bahkan tak menjawab teleponku? Apa kalian baik-baik saja? Aku hanya merasa aneh saja, Selina hanya menjawabku via pesan singkat ‘Shiza, aku sibuk jadi aku gak bisa nerima telpon dulu dari siapapun’. Pesannya itu terdengar aneh!” Shiza mencerca sang kakak dengan beberapa pertanyaan