Selina kecil terus menangis saat itu seolah memberikan sinyal yang buruk tentang ibunya.
“Ummi, kenapa anak ini menangis terus sih?” tanya Ustaz Bashor.
“Ya kepengen nyusu Abah,” jawab Ummi Sarah sembari menimang-nimang bayi itu dalam pangkuannya. Dia sebetulnya kesal dengan sikap Ustaz Bashor yang tiba-tiba menerima tamu tengah malam tapi mau tidak mau rasa iba mengabaikannya. Dia kasihan melihat bayi itu.
“Kok lama amat sih Dewi. Apa dia nyasar?” gumam Ustaz Bashor.
“Abah, susul coba ini bayi malah terus menangis, kasihan. Mana Hawa dan Adam lagi tidur pulas lagi nanti mereka ikut bangun, Ummi yang kewalahan,” cerocos Ummi Sarah.
“Iya, Ummi, maafin Abah. Abah mau nyusul dulu Dewi,” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Ustaz Bashor langsung keluar mencari Dewi ke arah masjid, ke toiletnya.
“Dewi!” panggilnya di luar toilet masjid.
Ustaz Bashor pun berjalan menyisiri seluruh bagian toilet karena pintu-pintu toilet semua terbuka berati tidak ada orang di dalam. Kobong-kobong para santri pun terlihat gelap pertanda mereka telah istirahat. Tak menyerah Ustaz Bashor pun memutari seluruh bagian pondok mencari Dewi.
“Dewi kamu kemana?” ucap Ustaz Bashor dengan menyerah. “Apa jangan-jangan dia pergi ke apotek untuk membeli obat buat bayinya? Emang ada apotek buka dua puluh empat jam di sekitar sini?”
Ustaz Bashor pun kembali menuju rumahnya yang sederhana yang berada di tengah pondok diapit masjid dan kobong para santri.
“Mana ibunya? Ini anak gak bisa diam. Ummi jadi pusing,” keluh Ummi Sarah.
“Gak ketemu Ummi,”
“Gak ketemu gimana Abah?”
“Dewi ibu anak itu gak ada di toilet masjid. Dia juga gak ada di sekitar pondok. Sepertinya dia pergi …”
“Pergi? Abah kalau ngomong yang jelas … pergi kemana?”
“Dia bilang mau beli obat buat penurun panas buat bayi ini, ojeg yang dia tumpangi mogok pas di dekat lapang jadi dia kebetulan lewat pesantren nitip bayi ini pas lihat aku datang. Dia bilang nitip sebentar. Ya Abah bilang dulu ke Ummi minta izin biar dia ngomong langsung ke Ummi terus dia bilang mau ke toilet dulu dan paksa Abah buat gendong bayi ini …”
“Abah, apa jangan-jangan dia sengaja ninggalin bayi ini? Bayi ini gak demam Abah. Coba Abah pegang!”
Ustaz Bashor menyentuh kening dan kaki bayi itu. Memang benar bayi ini tidak sedang demam. Dewi berdusta hanya demi meninggalkan anaknya.
“Astagfirullah, iya Ummi, sepertinya dia sengaja meninggalkan bayi tanpa dosa ini …”
“Ummi, sepertinya Dewi sedang punya masalah sehingga di kalut dan dengan mudah menitipkan bayi ini pada kita. Soalnya tindakannya mencurigakan. Ummi, apakah Ummi bisa menyusuinya? Ummi masih punya ASI, kasihan dia nangis terus …”
“Bisa saja si Bah, tapi nanti bayi ini dan Adam akan jadi saudara sepersusuan, gak apa-apa?”
“Ya gimana lagi. Apa Ummi punya solusi lain?”
“Sufor?”
“Sufor?”
“Susu formula …”
“Iya bisa coba sufor,”
“Enggak ada, Adam full ASI, enggak pernah minum sufor. ASI Ummi melimpah ngapain beli sufor yang mahal,” cerocos Ummi Sarah.
Mau tidak mau Ummi Sarah pun terpaksa menyusui Selina kecil. Setelah kejadian malam itu, Dewi tak pernah datang lagi ke pondok untuk mengambil bayinya. Beberapa hari kemudian sepucuk surat datang melalui santri, surat dari Dewi Rahma yang dengan tegas menitipkan bayinya di bawah asuhan Ustaz Bashor dan istrinya. Dia mempersilakan Ustaz Bashor untuk mengadopsinya secara sah sehingga dalam kartu keluarga pun Selina menjadi anak Ustaz Bashor dan istrinya.
Flashback off
Ustaz Bashor menghela nafas panjang. Dia menceritakan secara singkat soal peristiwa itu tentu dia tidak menceritakan bahwa sebelumnya Dewi Rahma adalah gadis yang disukainya. Dia hanya mengisahkan saat Dewi menitipkan bayinya saja. Mendengar hal itu Selina menangis.
“Kalau memang wanita yang diduga ibuku itu punya masalah kenapa sampai hati membuangku. Bukankah kehadiran sang anak bisa memotivasi hidupnya? Penyemangat baginya? Bukan berlari dari masalah,” sela Selina.
“Ibumu punya masalah besar Nak. Dia sudah diusir oleh keluarganya paman dan bibinya karena pulang kerja dalam kondisi hamil tak bersuami. Kami tentu mencari keberadaan keluarganya dulu, tapi paman dan bibinya sudah keburu pergi dari kampung karena merasa malu,” papar Ustaz Bashor.
“Oh, begitu? Pantas saja diusir soalnya kelakuannya memalukan, hamil di luar nikah, astagfirullah,”
Selina tak henti mengusap wajahnya dan beristigfar.
“Abah tidak sependapat, Selina. Kamu hanya tahu cerita sebagian bukan keseluruhan. Abah kenal ibumu, sangat mengenalnya …”
“Bukan alasan yang tepat jika dia membuangku seenaknya meskipun dia punya seribu masalah sekalipun. Itu tidak dibenarkan Abah,” sela Selina dengan nafas yang memburu.
“Kamu masih mau mendengarkan?” tanya Ustaz Bashor merasa kesal karena Selina sedikit-sedikit menentangnya.
“Dengarkanlah Abah, Selin,” lirih Hawa yang berada dekat dengannya.
“Ibumu, dia sudah yatim piatu sejak kecil. Dia diurus oleh bibi yang sangat menyayanginya. Tapi tidak pamannya, tanpa sepengetahuan bibinya, pamannya telah melakukam pelecehan padanya. Bibinya sibuk kerja di tetangga sedangkan pamannya pengangguran. Dewi mengalami nasib malang sedari kecil. Bibinya tak percaya. Lantas mereka mengirim Dewi untuk bekerja di kota katanya pamannya punya kenalan di sana. Dewi bekerja menjadi pelayan di sebuah bar menurut cerita yang beranak pinak. Kamu tahu kehidupan malam seperti apa? Abah kira Dewi terjebak di sana …”
Ustaz Bashor membuang nafas kasar.
“Lalu siapa yang menghamilinya?” tanya Selina.
“Abah tidak tahu …”
“Di mana dia sekarang?”
“Ibumu? Sudah Abah bilang, Abah sudah kehilangan kontak dengannya. Mungkin dia kembali ke dunia itu karena tak ada pilihan …”
“Aku ingin bertemu dengannya …”
Perkataan Selina membuat kaget seluruh anggota keluarga.
bersambung,
Ummi Sarah kaget minta ampun tatkala mendengar perkataan Selina yang mencengangkan soal dia akan mencari ibu kandungnya.“Bukan ide bagus …” timpal Adam sembari mendelik pada Ummi Sarah.“Kenapa?” tanya Hawa yang lebih terlihat santai.“Gak usah, Selin. Lupakan soal dia, kamu jangan coba-coba pergi ke sana. Dunia malam sangat berbahaya. Jangan sampai kita menginjakan kaki di tempat laknat itu …” sergah Adam yang jelas-jelas menolak permintaan Selina.“Jika ibu kandungku terpaksa menjalani kehidupan gelap di sana karena paman dan bibi mereka, maka aku akan membawanya kembali pada kehidupan normal. Aku akan membawa ibu bersamaku …”Selina menyeka air matanya dan berkata dengan mantap.“Tapi Selin … kami tidak tahu di mana dia berada …” ucap Ummi Sarah.“Jika ibuku terjebak dalam dunia kelam, aku sebagai anak sudah sepatutnya untuk mengembalikannya pada jalan yang benar. Aku ingin seperti nabi Ibrahim yang berusaha keras mengingatkan ayahnya agar tidak menyembah berhala. Aku pun akan me
“Iya, kamu! Siapa lagi? Kenapa kamu datang terlambat? Ini sudah telat hampir setengah jam. Kamu dari mana saja?” kata Selina bernada geram. Dia lupa kalau dia sedang berpuasa sunnah senin-kamis hari itu.“Macet,” ucap murid itu singkat.“PR-mu? Taruh di atas meja!”“Lupa, gak kebawa,” jawabnya lagi singkat sembari melengos begitu saja menuju bangku kosong miliknya.‘Murid tidak sopan’ batin Selina.Semua murid pun saling pandang. Mereka mengira jika Selina akan memarahi murid lelaki yang bernama Ruri itu. Namun dugaan mereka keliru, guru mereka yang dikira akan marah malah memilih diam dan melanjutkan pelajaran. Selina hanya mendengus kesal dan langsung meraih buku paket miliknya.“Jadi apa yang dimaksud Frasa?” tanya Selina kembali.“Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang menjadi satu kesatuan,” jawab murid lelaki yang duduk di sebelah Ruri.“Betul. Semua jawaban kalian betul. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan tapi tidak membentuk arti bar
“Kamu tak tahu siapa Ruri?” gertak kepala sekolah bernama Wijaya bernada geram. Beberapa helai kumis tipisnya tampak bergetar. Saking geram dia memanggil Selina bukan lagi dengan panggilan ‘Ibu’ sebagaimana panggilan pada seorang guru tapi ‘kamu’. Di sanalah tampak kesombongan itu hadir, ketika adab dan ilmu tak berimbang. Seharusnya kepala sekolah mampu mengendalikan emosinya. Tak sepatutnya dia memperlakukan Selina seperti itu. Meskipun Selina masih muda dan seumuran anaknya tetap saja dia adalah seorang guru yang harus dihormati. “Maaf, maksud Bapak apa ya?”Selina tak terima mendengar ucapan Wijaya yang tidak tahu apa-apa tapi bersikap seolah tahu apa yang terjadi sebenarnya.“Ruri adalah cucu kakak saya yang berarti cucu saya. Kakak saya orang berpengaruh di dinas pendidikan,” ucap Wijaya dengan bangga.“Terus apa hubungannya dengan izin cuti saya dan urusan Ruri?” tanya Selina kesal. Rasanya dia ingin mengamuk pada kepala sekolah yang terkenal arogan itu, mencakar wajahnya deng
Tok, tok, tok,Shiza mengetuk daun pintu ruang kerja Aqsa yang berada di lantai dua tak jauh dari kamarnya.“Masuk!”Terdengar Aqsa menyuruh Shiza masuk. Shiza pun menjentikkan jari telunjuknya untuk mendorong daun pintu yang memang sedikit terbuka.“Aku ganggu gak Mas?” tanya Shiza mengedarkan pandangannya. “Nggak, sini masuklah! Ada apa?”Aqsa menoleh ke arah adiknya yang sedikit ragu. Shiza pun memberanikan diri mendekati sang kakak. Aqsa yang tengah sibuk berada di depan layar laptop langsung memutar kursi kerjanya dan menatap adiknya yang lebih memilih duduk di kursi berbahan linen lain berhadapan dengannya.“Mas Aqsa, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa setelah Mas Aqsa datang ke rumah Selina, Selina bahkan tak menjawab teleponku? Apa kalian baik-baik saja? Aku hanya merasa aneh saja, Selina hanya menjawabku via pesan singkat ‘Shiza, aku sibuk jadi aku gak bisa nerima telpon dulu dari siapapun’. Pesannya itu terdengar aneh!” Shiza mencerca sang kakak dengan beberapa pertanyaan
“Selin! Selin! Para guru bukan gak mau bertindak pada anak itu selama masih ada kepsek yang arogan itu. Masalah segede semut aja bisa jadi kayak gajah. Pak Nando dulu juga gitu nasibnya keluar dari sekolah ini dan dipindahkan ke daerah Cibinong … Gara-gara tuh bocah,” jelas Zahrana dengan serius.Selina teringat terus perbincangannya dengan Zahrana. Dia harus segera menuntaskan masalahnya agar tidak sampai berlarut-larut. Meskipun demikian Selina tetap mengajar hingga jam terakhir sekolah. Dia kecewa dengan sikap Wijaya yang tidak memberinya izin cuti mengajar.Selina memutar otak bagaimana caranya agar mendapat izin cuti karena mencari keberadaan sang ibu tentu tidak mudah dan tak cukup waktu dua belas jam. Pasti membutuhkan waktu berhari-hari.Selina sudah merapikan meja kerjanya karena akan pulang. Dia memasukan laptop dan modul mengajarnya seperti biasa ke dalam tas selempang.Seorang guru menghampiri Selina.“Bu Selina, ada yang nyari,” ucap guru itu.“Siapa?”“Duh, apa itu pria
“Maaf, saat ini aku belum bisa memikirkan taaruf, Za. Aku masih belum terima kabar ini, kabar bahwa ternyata Abah dan Ummi bukan orang tua kandungku,” jelas Selina sedikit terisak. Namun dia berusaha untuk mengontrol air matanya khawatir para guru ataupun murid melihatnya.“Selina, apakah kamu baru tahu hal itu sekarang?” tanya Shiza dengan dahi yang berkerut.Selina mengangguk. “Bahkan aku mengetahui kebenaran itu tak sengaja saat mendengar percakapan yang terjadi antara Abah dan kedua orang tuamu,”“Apa? Astagfirullah. Aku ngerti perasaanmu Selina, pasti kamu syok. Jika aku kamu, aku pun pasti … mungkin lebih syok lagi dari kamu. Sabar ya sahabatku!”Shiza langsung memeluk Selina.“Ini berat Za. Kenapa Abah dan Ummi merahasiakan ini semua sudah lama dan baru dibuka pada keluargamu …” ucap Selina dengan tatapan kosong.Shiza merasa sakit mendengarnya apalagi kedua orang tuanya ialah orang yang pertama tahu soal jati diri Selina sebenarnya. Kesimpulan kedua orang tua Selina percaya pa
Di perjalanan pulang Aqsa dan Shiza tiba-tiba terkesiap karena melihat ada kerumunan di depannya. "Mas, ada apa ya di depan?" tanya Shiza. “Gak tahu, lihat di sana ada kerumunan orang, apa ada kecelakaan?” jawab Aqsa menepikan mobilnya. “Iya kayaknya ada kecelakaan,” sahut Shiza. Beberapa detik kerumunan pun usai, jalanan pun lancar dan terlihat seorang gadis berjalan terpincang-pincang memegangi kakinya yang terlihat merah karena terluka. Darah merembes dari celana bahan yang dipakainya. “Mas, dia sepertinya Zahrana, dia terluka. Ayo tolong dia!” pekik Shiza yang panik melihat Zahrana yang terluka. Dia kesulitan berjalan hendak menyeberang jalan dan mencari kendaraan umum. Orang-orang yang melihatnya bahkan tak memperdulikannya. “Siapa Zahrana?” tanya Aqsa. “Mas lupa ya, Zahra atau Zahrana itu temanku waktu kuliah bareng Selina juga, beda jurusan. Selina ngambil Bahasa Indonesia, dia ngambil Sastra Inggris. Ya, aku memang kurang dekat sih, tapi dia teman baik Selina,” “Kamu m
‘Cinta adalah bunga yang tumbuh tanpa bantuan musim’.Selina menggumamkan sebuah syair cinta dari penyair Lebanon, Kahlil Gibran. Dia memejamkan matanya dan mengasah intuisi yang menganak sungai di pikirannya. Pikirannya yang kalut justru menjadi sebuah jembatan untuknya mengelola emosi dan mengekspresikannya melalui sebuah tulisan, prosa. Lalu dia meraih sebuah buku kecil dan pena. Jemarinya menari-nari di atas lembaran kosong untuk membuat sebuah sajak-sajak indah.Seseorang tiba-tiba mengusiknya.“Ngapain Bu di sini? Kesal ya soalnya izin cutinya gak di-ACC? Ya ampun sampe nangis berdarah-darah,”Ruri menghampiri Selina yang semenjak kepergian Shiza dan Aqsa masih duduk di bangku taman sembari menulis sebuah sajak.“Ada apa Ruri?” sahut Selina lebih tenang. Dia langsung merapikan buku kecilnya yang selalu dia bawa kemana-mana. Lalu dia masukan ke dalam saku bajunya.“Telinga Ibu bermasalah ya sampai gak bisa denger aku ngomong?”“Tidak, telinga Ibu sehat. Bahkan Ibu rajin memeriksa