NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Matahari terlihat mulai meninggi. Sinarnya perlahan mendekati bagian luar jendela—menjauhi ruang besar ini. Si pengajar untuk kelas berikutnya mungkin akan terlambat datang. Sebagai hukuman untuknya, aku akan mengagetkannya di pintu masuk! “Iris,” panggil paman. “Aku akan kembali bekerja, jaga sikapmu agar Nyonya Freesia tidak kerepotan.” Aku mengangkat bahu sebagai jawaban. “Saya juga masih harus melakukan beberapa hal lainnya, Lady Iris,” kata Freesia yang berjalan di belakang paman. “Sampai jumpa nanti.” Mereka berdua berjalan menuruni tangga setengah spiral yang menghubungkan dua lantai rumah ini sambil melakukan percakapan. Mereka memiliki jarak umur yang nggak beda jauh—Freesia yang lebih tua. Mereka juga dua manusia dewasa yang nggak memiliki pasangan. Kupikir mereka akan cocok untuk satu sama lain. Kulihat paman berjalan menuju ruang baca Ayah—yang sekarang menjadi miliknya, dan tidak terlihat lagi. Sedangkan Freesia memanggil
NARASI VISCARIA I “Bangunlah tukang tidur!” perintah suara seseorang yang telah lama sering Vis dengar. Vis masih ingin tidur. Tolong segera pergilah. “Bagaimana jika hari ini kita ke taman?” tanya suara seseorang yang sangat menenangkan. “Vis mau tidur lagi.” Vis belum mau membuka mata. Pergilah. “Oh, yang benar saja. Ayo keluar dan bermain!” Suara langkah kaki seseorang itu mendekat dan seseorang itu segera menggoyang-goyangkan tubuh Vis yang belum mau diajak bergerak. “Hentikan, Zee. Vis mohon,” pinta Vis dengan suara yang bergetar karena tubuhnya digerakkan secara paksa. Zee terkadang sangat mengganggu waktu tidur Vis. Itu sangat menyebalkan. Jam tidur Vis nggak sama dengan manusia biasa. Vis spesial. Vis adalah seorang putri. Dirinya butuh waktu tidur yang lebih lama dari kebanyakan orang. “Kau sudah tidur sejak kemarin sore. Tidurmu jelas-jelas berlebihan!” “Vis ingin seperti koala.” “Oh, kau ingin menjadi seperti koala.” “Benar sekali.” Zee seperti sedang berjalan
NARASI VISCARIA Jumat, 19 Desember 1986/8 Tahun Vis terbangun dari tidur panjangnya. Air mata membasahi pipi Vis. Rasanya seperti Vis melihat beberapa kenangan masa lalunya dengan Zee, kakak yang selalu dicintainya. Vis nggak mau kehilangan Zee. Semuanya akan Vis berikan selama Zee bisa bahagia dan nggak lagi merasakan sakit yang selama ini dirasakannya sendirian. Vis membuka matanya dan melihat sekitar. “Nggak ada seorangpun di sini,” kata Vis kecewa. “Dan apa-apaan mimpi barusan? Itu sangat melelahkan, berat dan menyedihkan.” Kamar ini terlihat begitu besar tanpa Zee di dalamnya. Zee selalu membangunkan Vis. Jadi, hari ini pastilah Zee belum kembali sejak semalam. Pagi ini terasa sangat hangat, sangat berbeda dari biasanya. Bulan Desember selalu menghadirkan nuansa dingin yang mengerikan. Tapi, pagi ini terasa sangat nyaman. Vis mencoba menyingkirkan selimut dan mencoba berdiri. Kaki Vis nggak bertenaga sama sekali. Kaki-kaki kecilnya menolak untuk menopang tubuh kurus Vis. “
NARASI VISCARIA Jumat, 19 Desember 1986/8 Tahun Kepala Zee pasti sedang dipenuhi tanda tanya semalam. “Dia siapa?” “IRIS!” Paman menatap Zee dengan sangat tajam. Dia terlihat melotot. Vis pikir matanya akan melompat keluar. “Whanitha… wanita dengan gaungh… mewah. Gaun biru berenda!” Jadi itu nama gadis yang nggak punya kesempatan menang itu? Vis merasa kasihan padanya. Gadis itu terjebak dalam situasi yang sangat nggak menguntungkan. Zee seharusnya bisa menolongnya. Tapi Vis nggak ngerti kenapa Zee nggak mau langsung menolongnya saat itu juga. Tubuh Vis masih gemetaran. Vis nggak sanggup menghadapi keramaian ini secara mendadak. Ini terlalu berlebihan. Vis nggak bisa menahannya. Suara-suara keras dan teriakan seseorang tadi membuat Vis berharap jika dirinya nggak bisa mendengar suara apapun. “Tolong hentikan. Tolong lindungi Vis.” Vis menutup telinganya dan berbicara dengan sangat pelan sampai-sampai Zee nggak mendengarnya. “Paman tenanglah. Paman istirahatlah di sini. Vis, t
NARASI IRIS 15 Desember 1986 “Iris, sayangku, apa kau yakin?” tanya Freesia di suatu malam saat aku secara diam-diam berusaha meninggalkan rumah. “Aku telah lama memikirkannya. Kau juga telah menyiapkan segala hal yang kuperlukan. Aku pasti akan baik-baik saja. Aku pastikan untuk kembali sebelum paman pulang. Yah, kupikir dalam tiga hari kedepan aku akan melihat banyak hal di luar sana. Jadi, tunggulah aku, Freesia.” Sudah puluhan kali aku pergi keluar secara diam-diam. Paman selalu melakukan perjalanan bisnis atau sIbuk dengan pekerjaan detektifnya setiap dua bulan sekali. Biasanya, paman akan pergi selama satu minggu untuk perjalanan bisnisnya dan hampir satu bulan penuh saat paman sedang menangani kasus besar. Minimnya angka kriminalitas di kota ini membuat tidak ada kasus besar yang memerlukan bantuan paman. Namun, beda ceritanya jika itu menyangkut kasus di luar kota. Karena itulah, paman bisa menghabiskan satu a
NARASI IRIS Kamis, 18 Desember 1986/11:07 Malam Aku terus berlari di sepanjang jalan bebatuan malam kota Rosemary. Malam yang dingin, sedikit gerimis. Jalan bebatuan ini cukup basah dan licin. Aku terpeleset beberapa kali. Tangan, kaki, dan wajahku kotor. Gaun yang kukenakan juga kotor dan sebagian kecil dibagian bawah gaunku sedikit robek. Aku menangis. Aku telah salah dalam bertindak. Aku masih tidak percaya jika aku mendatangi bar itu dan bertemu dengan mereka. Mereka berencana untuk memberitahukan segala informasi yang mereka ketahui jika aku dapat mengalahkan mereka dalam sebuah perjudian. Aku tidak membawa banyak uang hari ini karena memang aku tidak biasanya melakukan hal-hal seperti itu. Jadi, aku hanya membawa uang secukupnya. Mereka mengatakan jika apa yang dipertaruhkan tidak harus berupa uang. Selama teruhan itu disetujui oleh kedua belah pihak, perjudian bisa dilakukan. Mereka menantangku dengan
NARASI IRIS Kamis, 18 Desember 1986/11:17 Malam Aku mendengar suara hujan. Suaranya terdengar cukup jauh dan tinggi. Sesuatu mengahalangi hujan turun ke bawah. Aku merasakan embusan angin yang membawa bau amis ke sekitarku. Aku tidak tahu sedang berada di mana. Semuanya gelap. Aku masih belum berani membuka mata. Tanganku terasa seperti sedang diikat. Kedua kakiku juga sepertinya terikat oleh sesuatu yang cukup kuat. “Hei.” Suara seseorang, suara ditengah berisiknya suara hujan. “Hei. Apa kau sudah sadar?” Suara itu sangat menenangkan. Aku tahu jika itu bukan suara yang harus kuwaspadai. Aku membuka mata dengan perlahan. Tidak banyak yang bisa kulihat. Pandanganku sepertinya miring. Aku sedang berbaring. Aku berbaring pada sesuatu. “Oh, syukurlah kau masih hidup,” kata si pemuda yang menolongku tadi. Aku terkejut dan buru-buru bangkit. Kepalaku menyundul kepalanya yang berada di atas kepalaku. “Agh!” “Oh, maaf. Aku tidak sengaja,” kataku cepat-cepat. “Astaga, itu tadi kuat sek
NARASI IRIS 18 Desember 1986/11:53 Malam Kupikir aku tertidur untuk beberapa lama. Aku sudah tidak begitu mendengar suara hujan. Lilin yang tadi cukup tinggi, sekarang sudah menjadi lebih pendek. Salah satu dari tiga lilin itu sudah mati. Salah satunya terjatuh dan juga mati. Meinggalkan satu lilin degan nyala api yang kecil. Aku kedinginan di sini. Angin berembus pelan dari arah kiriku, tempat pintu keluar berada. Seseorang pastilah sedang membukanya. Ini sungguh kesempatan yang bagus jika saja aku tidak terikat seperti ini. Ingatanku sedikit kabur, tapi aku masih dengan jelas mengingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku pingsan. Kulihat tubuh pemuda di samping kiriku yang sepertinya belum banyak berubah sejak terakhir aku melihatnya. Dia tidak bergerak. Aku tidak ingin memikirkannya, tapi mungkinkah dia sudah mati? Menerima siksaan seperti itu pastilah sangat menyakitkan. Aku tidak berpikir akan ada manusia yang bisa selamat dari hal itu. Jika memang Zee sudah tiada, apa yang bis